Webfic
Open the Webfic App to read more wonderful content

Bab 2

Dulu, Rani memilih tetap tinggal di Kota Seranda dan menjadi istri Arman dengan sepenuh hati. Dia bahkan bersumpah kepada keluarganya bahwa dia tak akan pernah menyesal. Namun kini, penyesalan mulai merayap di hatinya. Pertama kali dia melihat Mitha adalah di hari pernikahannya dengan Arman. Mitha mengenakan gaun panjang berenda putih dengan riasan yang begitu sempurna, hingga terlihat lebih seperti pengantin daripada dirinya sendiri. Saat itu juga, Rani merasa wanita itu datang bukan untuk merayakan, tapi untuk merusak segalanya. Dan kenyataannya ... memang seperti itu. Belum sempat Rani mengucapkan janji suci dengan Arman, suara tangis Mitha yang tertahan mulai terdengar samar-samar. Di tengah tatapan tajam penuh kecaman dari para tamu, Mitha terisak pelan dan berkata dengan suara gemetar, "Maaf ... aku nggak bermaksud mengganggu. Aku hanya ... tiba-tiba teringat, aku dan Seno ... belum sempat menggelar pernikahan." "Mungkin aku memang nggak akan pernah punya pesta pernikahan dalam hidupku." "Ayah, Ibu ... aku cuma merasa iri karena Kak Rani bisa merasakan pernikahan yang lengkap. Aku nggak bermaksud apa-apa. Kalau saja aku juga bisa ... " Saat itulah Rani baru tahu ternyata Arman pernah punya seorang adik laki-laki yang meninggal karena kanker. Mitha, tunangan Seno yang setia menemaninya hingga akhir hayat, langsung menjadi sosok paling penting bagi keluarga mereka saat Seno meninggal dunia. Ayah dan ibu Arman memeluk Mitha sambil menangis pilu, lalu memaksa Rani turun dari pelaminan dan menyuruh Mitha menggantikannya. Mereka bahkan meminta Arman berpura-pura menjadi Seno demi menebus penyesalan Mitha. Rani menolaknya. Saat itu, Arman berdiri teguh di sisinya, bersama-sama menghadapi tekanan dari orang tuanya. Akhirnya, Mitha pingsan karena terlalu larut dalam tangis di tengah pesta. Orang tua Arman pun membawanya pulang ke vila. Pernikahan yang telah lama Rani impikan dan susun dengan sepenuh hati, justru berubah menjadi luka yang tak kunjung sembuh. Sejak hari itu, Mitha menjadi duri yang tertanam dalam hatinya. Untungnya, Arman berada di sisinya tanpa goyah. Namun Rani tidak menyangka, seminggu setelah pernikahan mereka, di tempat yang sama, Arman dan Mitha mengadakan pernikahan yang lebih megah. Sebelum pernikahan, Arman memberi Rani obat tidur dosis tinggi. "Rani, tidurlah. Saat kamu bangun, semuanya akan berlalu." "Anggap saja ini pernikahan adikku. Ini adalah utang keluargaku kepada Mitha. Kami bersalah padanya." Rani tidak ingin mendengar penjelasan yang tidak masuk akal ini. Dia hanya berteriak dalam hati, "Jangan pergi, jangan pergi!" Namun, efek obat itu terlalu kuat. Sebelum sempat mengatakan apa-apa, Rani sudah tertidur lelap. Dia hanya mendengar suara Arman yang agak menyesal di telinganya. "Rani, hatiku hanya untukmu. Aku terpaksa pergi ke pernikahan itu karena aku nggak punya pilihan. Aku nggak mau jadi anak durhaka. Bagaimanapun, aku adalah kakak kandung Seno ... " Ketika Rani terbangun, hatinya sangat sakit. Namun di tengah rasa sakit itu, dia masih merasa lega karena Arman telah memberinya obat tidur. Setidaknya, dia tak perlu menyaksikan langsung adegan-adegan kejam itu. Namun suara yang menyambutnya justru suara yang paling tak ingin dia dengar. Sambil mengenakan gaun pengantin bernilai miliaran, Mitha berseru dengan nada penuh kegembiraan begitu melihat Rani terbangun, "Kak Rani, akhirnya kamu bangun!" "Agar kamu bisa datang ke pernikahan ini, kami mengubah waktunya menjadi malam hari." "Kita semua satu keluarga, dan kamu adalah kakak iparku. Bagaimana mungkin kamu nggak hadir di pernikahan kami?" Arman memang memberinya obat tidur. Tapi karena ucapan Mitha "keluarga harus lengkap dan rukun", dia tanpa ragu meminta dokter menyuntikkan obat penyadar pada Rani. Akhirnya, Rani menyaksikan pernikahan suaminya dengan orang lain dengan mata kepalanya sendiri. Mereka mengucapkan janji, berciuman, dan menerima doa dari semua orang. Dan sekarang, hanya karena Mitha mengatakan ingin punya anak, Arman merampas bayi yang Rani kandung selama sembilan bulan dan lahirkan dengan susah payah. Tapi apa haknya melakukan itu? Ini adalah utang Keluarga Pratama kepada Mitha, mengapa harus dibayar dengan anaknya? Dengan penuh amarah, Rani mencabut paksa alat penghilang rasa sakit dari tubuhnya dan mengikuti Arman. Dia ingin tahu di mana anaknya berada. Arman berjalan dengan sangat cepat. Rani yang baru saja menjalani operasi Caesar, terjatuh karena lukanya kembali terbuka. Dia memanggil nama Arman dengan suara penuh luka. Namun Arman tidak menoleh sedikit pun. Dia tahu ini sangat menyakitkan bagi Rani, tapi dia tidak punya pilihan. Dia sudah berjanji untuk menyerahkan anak itu kepada adiknya dan Mitha. Dia tidak bisa mengingkari janji. Ini hanya seorang anak, dia dan Rani masih bisa punya banyak anak di masa depan. Arman berpikir, Rani hanya sedang emosional. Dia yakin, begitu Rani hamil lagi, semua amarah dan keributan ini akan mereda. Ketika terdengar kegaduhan di belakangnya, Arman mengabaikannya begitu saja. Dia mengira itu hanya cara Rani untuk menarik perhatiannya. Namun kenyataannya ... lantai sudah dipenuhi darah, dan Rani nyaris kehilangan nyawanya. Saat dia tersadar di ruang perawatan, tak ada siapa pun di sana selain seorang perawat. Dengan senyum getir, Rani meminta sang perawat mengambil tas dari koper miliknya. Dia mengeluarkan ponsel, mengisi daya, lalu menyalakannya. Ratusan pesan singkat tiba-tiba membanjiri ponselnya. Rani tidak membacanya dan langsung menghubungi nomor yang dikenalnya namun terasa asing itu. "Kakak, aku menyesal. Apa aku masih boleh pulang?" Suasana hening yang lama membuat jantung Rani berdebar begitu kencang hingga rasanya ingin meloncat keluar dari dadanya. [Pulanglah. Tapi apa kamu rela melepaskan semua yang ada di sana, Rani?]

© Webfic, All rights reserved

DIANZHONG TECHNOLOGY SINGAPORE PTE. LTD.