Bab 692
"Ini rumahku, dan sandi pintunya juga pakai tanggal lahirku. Menurutmu, gimana caranya aku bisa masuk?" tanya Nindi.
Nindi lantas menatap wartawan perempuan itu. "Aku putri kandung di keluarga Lesmana, sedangkan wanita itu cuma anak angkat, seorang penipu."
Sania sangat marah hingga menggertakkan giginya, tetapi dia tidak dapat langsung mencaci maki, demi menjaga citra baiknya.
Witan segera membela Sania dan membentak Nindi. "Cukup! Dari dulu sampai sekarang, kamu suka sekali menindas Sania. Sekarang, dia itu calon Kakak Iparmu! Kalau kamu berani macam-macam, aku nggak akan tinggal diam!"
Sania seketika terisak sambil menyandarkan diri di dada Witan, berakting seolah-olah lemah dan tidak berdaya.
Wartawan perempuan itu dengan antusias memotret dari arah samping. "Duh, pasangan ini gemesin banget."
Nindi pun menoleh. "Kayaknya kamu beneran lapar banget, ya. Sampai mengidolakan sembarangan orang, awas nanti malah kena batunya, loh!"
Saat wartawan perempuan itu bersiap untuk menyanggah, Sania dengan sigap menenangkannya dan mengantar para wartawan untuk meninggalkan tempat itu.
Nindi yang berada di samping hanya dapat menyaksikan, Sania memang piawai memainkan peran.
Witan dengan angkuh berkata, "Nindi, kamu lihat seberapa populernya kita hari ini, 'kan? Bahkan proyek Kak Darren juga kebanjiran investor yang mau lanjut untuk berinvestasi."
"Kalau para investor tahu semua produk kalian itu cuma hasil plagiat dan kualitasnya jelek, memangnya mereka masih mau buat investasi?" ujar Nindi.
Witan dengan acuh berkata, "Lagian itu juga uang investor, ya tinggal pakai saja."
Asalkan dapat membuat Nindi hancur sepenuhnya, mengeluarkan uang sebanyak ini pun terasa setimpal.
Saat itu, Sania melangkah mendekat. "Nindi, ada urusan apa kamu ke sini? Jangan bilang keluarga Julian sudah membuangmu, jadinya kamu memutuskan buat balik ke keluarga Lesmana, ya?"
Sania merasa sangat jengkel sepanjang malam, sehingga dia sulit untuk terlelap.
Mengapa perempuan murahan seperti Nindi bisa mengenal pewaris keluarga yang berpengaruh di komunitas konglomerat?!
Nindi menyeringai sinis. "Oh iya, hampir saja lupa, Kak Darren yang minta aku buat pulang, katanya mau bahas soal perdamaian."
Setelah selesai berbicara, Nindi segera berbalik dan masuk ke dalam rumah, dia enggan meladeni perdebatan di luar.
Ekspresi Sania dan Witan seketika berubah drastis.
Sania tampak sedikit khawatir. "Kak Witan, menurutmu Kak Darren beneran bakal damai sama Nindi, ya? Jelas-jelas aku jauh lebih unggul. Nyonya Martha juga sudah janji bakal bantu kita buat beresin keluarga Julian. Jadi, nanti Nindi nggak punya siapa-siapa lagi, nggak perlu deh takut sama dia."
"Kamu bener. Bisa jadi Nindi sendiri yang nekat buat pulang tanpa tahu malu, Kak Darren nggak mungkin ngomong begitu. Nanti kalau Kak Darren sudah pulang, dia pasti bakal bongkar kebohongan Nindi," ucap Witan.
Sania tersenyum samar dan berkata, "Bener juga. Aku bakal langsung kirim pesan ke Kak Darren. Kalau dia tahu Nindi pulang ke rumah dan malah bikin onar, dia pasti marah besar."
Terlepas dari apa pun, wartawan perempuan tadi adalah orang yang diatur oleh Darren. Jika dia mengetahui Nindi kembali ke rumah dan membuat keributan, dia pasti akan sangat marah.
Nindi terduduk seorang diri di sofa sembari menikmati hidangan.
Witan menghampiri dengan angkuh dan berkata, "Nindi, semua makanan enak ini buat Sania. Siapa yang suruh kamu makan?"
Nindi menyapu seluruh makanan di atas meja hingga jatuh berserakan di lantai.
Ekspresi Witan berubah karena sangat marah. "Kamu ngapain, hah?!"
"Ini kediaman keluarga Lesmana! Aku putri satu-satunya di sini, masa aku nggak boleh makan? Kalau aku nggak makan, ya kalian juga nggak boleh makan dong!" ucap Nindi.
Saat ini, dia sama sekali tidak berniat untuk mengalah. Jika dirinya harus merasa tidak nyaman, maka orang lain pun tidak perlu berharap untuk merasa nyaman.
"Kak Darren, jangan marahin Nindi, ya. Aku tahu dia cuma lagi cari alasan buat bikin masalah. Aku nggak masalah kok," ucap Sania.
Sania menyambut kedatangan Darren di pintu masuk dan dengan sengaja memperkeruh suasana dengan menambahkan narasi yang dilebihkan.
Usai mendengar perkataan itu, Darren langsung mengernyitkan dahinya, tampak jelas ingin meluapkan amarahnya. Namun, ketika melihat ekspresi Nindi yang tampak garang dan sulit dihadapi, dia pun segera menahan diri dan berkata, "Witan, itu 'kan cuma makanan, perlu banget diributin, ya?"
Witan tampak terkejut. "Kak Darren, seriusan kamu nyalahin aku? Ini 'kan jelas-jelas salahnya Nindi!"
"Sebagai seorang Kakak, harusnya kamu lebih toleran dong," ucap Darren.
Darren menghampiri Nindi dan menatapnya. "Kupikir kamu sudah nggak mau pulang lagi?"
"Aku pulang cuma buat kasih peringatan. Besok, pernyataan resmi tentang plagiarisme kalian bakalan dirilis. Jadi, kisah cinta yang kalian karang hari ini bisa jadi cerita murahan tentang plagiator nggak tahu diri," ucap Nindi.
Ekspresi Sania seketika berubah karena marah. "Nindi, kok kamu bisa sejahat itu sih?"
"Sania, kamu tuh kelewat baik! Pukul saja Nindi, biar dia kapok!" ujar Witan.
Witan melangkah maju dengan maksud menyerang Nindi, tetapi Nindi justru menendang kaki palsunya. Kaki palsu itu seketika terlepas dan melayang di udara sebelum akhirnya terkena wajah Sania.
Seketika, Sania menjerit kesakitan.