Bab 2
Di rumah sakit, Ornello sudah berada di ambang kematian.
Sistem imunnya bermasalah, membuat demamnya tak kunjung reda. Jadi waktu sadarnya pun semakin berkurang.
"Kak ...."
Meski begitu, saat melihat sosok Olivia, dia tetap berusaha tersenyum, tidak ingin membuat kakaknya cemas.
"Kamu harus terus bertahan, sebentar lagi kita bisa melakukan transplantasi! Ornello, aku percaya kamu pasti bisa!"
Olivia tidak mau menangis di depan adiknya, jadi begitu matanya memerah, dia buru-buru memalingkan wajah dan mengusap ujung matanya.
"Jangan ... jangan demi aku, membuatmu memohon pada bibi ... dia minta enam belas miliar itu jelas-jelas karena nggak mau donor. Jangan melakukan hal bodoh ... demi uang."
Dulu, saat mengajukan syarat itu, bibi sengaja mengatakannya di kamar rumah sakit di depan Ornello.
Tujuannya supaya kakak beradik itu berhenti berharap!
"Aku tahu apa yang kulakukan! Kamu hanya perlu ingat, aku hanya punya kamu, jadi kamu harus hidup. Dengar nggak?"
Olivia masih ingin menyemangati adiknya lagi, tapi Ornello sudah kehilangan kesadaran lagi.
Dia keluar dari rumah sakit dengan hati remuk, pulang ke kontrakan sederhana untuk mandi dan ganti baju, lalu naik kereta ke Grup Furan.
Kerasnya hidup orang dewasa adalah meski beban di pundak menekan hingga tidak bisa bernapas, tetap saja harus terdorong realitas untuk terus melangkah.
"Bu Olivia, ini hasil perhitungan dan saran investasi dari tim proyek atas nama Grup Gemilang sebagai pihak pendanaan. Mohon perlihatkan pada Pak Marcello. Kalau nggak ada masalah, bisa langsung ditandatangani."
"Baik."
Olivia menerima berkas itu, lalu mengambil jadwal kegiatan atasan hari ini dari mejanya dan berjalan menuju pintu kantor CEO. Dia mengetuk pelan.
"Pak Marcello, ini aku."
Dia memaksa dirinya untuk tidak memikirkan kejadian semalam, pura-pura tidak terjadi apa pun, menutupi dengan sikap kerja seperti biasa.
Namun, dari dalam hanya terdengar suara singkat Marcello, "Masuk."
Di benak Olivia, seketika terngiang suara erangan pria itu. Dalam dan serak, seperti bulu lembut yang menyapu telinganya, membuatnya merinding.
Olivia merasa malu dan berdeham pelan.
Dia membuka pintu, bahkan tidak berani mengangkat kepala, "Semua ini dokumen yang perlu Anda lihat dan tandatangani. Materi rapat pemegang saham jam tiga sore juga sudah aku siapkan untuk Anda."
Setelah bicara tanpa jeda, Olivia hanya ingin segera pergi.
Namun detik berikutnya, Marcello tiba-tiba bicara.
"Mana sarapannya?"
"..." Olivia tertegun. "Ha ... hari ini nggak beli."
Selama setengah tahun jadi sekretarisnya, Olivia selalu perhatian dan telaten. Setiap pagi dia selalu membelikan menu sarapan yang bervariasi agar perut Marcello tidak kosong dan sakit maagnya tidak kambuh. Ketika mengetahui Marcello suka kopi seduh manual, Olivia sampai ikut kursus khusus untuk belajar. Sikapnya selalu rajin dan hati-hati.
Hari ini, untuk pertama kalinya, dia tidak membelikan sarapan!
Melihat rona kesal di mata Marcello semakin dalam, Olivia buru-buru berkata, "Aku pergi beli sekarang."
"Nggak perlu."
Kalimat dingin itu dilontarkan, lalu dia langsung bangkit dan meninggalkan kantor.
Olivia mengerucutkan bibir dan menarik napas dalam-dalam, tapi tetap melangkah ke toko sarapan langganan. Lalu ....
Membeli dua porsi sarapan.
Karena target sudah berganti dan waktu yang semakin sempit, dia harus segera mencari celah untuk mencuri benih dari Marco!
Ketika kembali ke kantor, Olivia tidak langsung ke kantor CEO untuk mengantar sarapan, melainkan berbelok menuju departemen proyek khusus.
Dia sudah mencari tahu, Marco yang baru pulang dari luar negeri tidak langsung menjabat posisi wakil CEO. Dia sendiri yang mengajukan mulai bekerja dari bawah selama beberapa tahun untuk mendapatkan pengalaman.
"Bu Olivia? Kenapa kamu ada di sini?"
Benar-benar berjodoh, begitu keluar dari lift, Olivia langsung melihat sosok Marco!
Olivia segera menghampiri sambil tersenyum, "Aku datang mencarimu."
"Cari aku?" Marco mengangkat alisnya, sorot matanya hangat. "Ada perlu?"
"Ya! Untuk berterima kasih karena kamu sudah menolongku, ini ... aku sengaja belikan sarapan. Semoga kamu nggak keberatan."
Mata hitamnya melirik sebentar, lalu tersenyum tipis, "Bakpao dari Jalan Merdeka, ini favoritku. Mana mungkin aku keberatan? Terima kasih ya!"
Olivia baru saja mau memanfaatkan suasana untuk mendekatkan hubungan, tapi dari sudut matanya tiba-tiba terlihat ....
Marcello entah sejak kapan sudah berdiri di belakang Marco.
Namun pandangan Marcello bukan pada Marco.
Melainkan pada kotak bakpao di tangan Marco, juga satu porsi lainnya yang ada di tangan Olivia.
"Pak Marcello, ini untuk Anda!"
Olivia mengira dia ingin makan, maka buru-buru menyodorkannya. Tapi Marcello mengabaikan tangannya yang terulur di udara dan langsung melangkah pergi.
Olivia buru-buru berpamitan pada Marco, lalu berlari kecil untuk menyusul Marcello masuk ke lift.
"Pak Marcello, bakpao ini nggak bisa lama-lama, nanti dingin. Bagaimana kalau ... makan dulu baru kerja?"
Pria itu tidak menjawab. Wajah tampannya tetap tegang, alis dan matanya penuh bayangan kelam.
Olivia sadar meski sekarang targetnya sudah berganti menjadi Marco, tapi syarat pertama untuk bisa mendekati Marco adalah tetap berada di Grup Furan. Jadi dia tidak bisa menyinggung Marcello, memilih diam, dan mengikutinya.
Setelah kembali ke kantor CEO, begitu pintu ditutup, tinggal mereka berdua saja.
Seluruh tubuh Olivia terasa kaku seperti dilapisi gips, sendinya saja serasa tidak bisa digerakkan.
Akhirnya, Marcello memecah kesunyian. Suaranya rendah dan dingin.
"Jelaskan kejadian semalam."
"..." Olivia meremas telapak tangannya, lalu berkata, "Pak Marcello, itu murni kecelakaan! Anda mabuk, aku juga mabuk! Tapi tenang saja, hal ini nggak akan bocor keluar, aku sumpah."
Mata hitamnya mendadak menyipit, menancap di wajah mungil Olivia.
Kenangan semalam kembali dia susun dan Marcello mendapatkan kesimpulannya dengan mudah, "Kamu mau hamil anakku."
"Bukan!" Olivia menjawab cepat, bahkan untuk membuktikan, dia segera menambahkan, "Memang kita ... nggak pakai pengaman, tapi pagi-pagi aku sudah beli pil kontrasepsi darurat! Lihat, ini kotaknya. Kalau Anda masih nggak percaya, aku bisa minum lagi di depan Anda!"
Dari tasnya, dia mengeluarkan kotak obat yang sudah kosong.
"Pak Marcello, tolong jangan pecat aku gara-gara hal ini. Aku benar-benar suka bekerja di Grup Furan!" Olivia menunduk. "Kalau Anda memang nggak suka. Anda bisa ... memindahkanku ke departemen proyek jadi asisten."
Tentu saja, kalau bisa, dia ingin dipindahkan ke departemen proyek tempat Marco bekerja.
Rangkaian ucapannya membuat Marcello sedikit ragu.
Apa mungkin ....
Penilaiannya salah?
Tapi kenyataannya mereka memang sudah berhubungan. Olivia jelas masih perawan. Walau dia orangnya dingin dan pendiam, tapi rasa tanggung jawabnya tetap ada.
Tatapan bingungnya perlahan hilang. Setelah lama terdiam, dia berkata.
"Aku akan tanggung jawab."
"Kamu mau uang atau mau status?"
Olivia terkejut, lalu buru-buru menggeleng, "Aku nggak mau apa-apa!"
Kalau boleh, dia ingin dipindahkan dan menjadi asisten Marco.
Tentu kalimat itu tidak dia ucapkan.
Aksinya terlalu jelas. Marcello orang yang cerdas, bagaimana kalau bisa menebaknya?
Kalau paman dan keponakan itu bekerja sama, dirinya yang merupakan orang luar akan binasa.
Sekarang Olivia hanya ingin cepat menyelesaikan kontrak dan hamil anak Marco, menukar sepuluh bulan dengan nyawa adiknya. Lalu lenyap dari Kota Mitan, tidak pernah berhubungan dengan Keluarga Furan lagi.
Ditolak mentah-mentah begitu saja, Marcello merasa Olivia tidak paham maksudnya.
"Aku bilang, status juga bisa."
Meski dia tidak punya perasaan khusus pada Olivia, tapi wanita lain pun sama saja. Lagi pula sudah tidur bersama, jadi punya ikatan itu dan ....
Marcello harus mengakui, dia menyukai kenikmatan semalam.
Jadi, dia bisa mencoba menjalin hubungan dengan Olivia.
"Pak Marcello, aku mengerti maksudnya! Tapi Anda benar-benar nggak perlu memaksa diri bertanggung jawab padaku. Anggap saja semalam nggak pernah terjadi apa-apa. Aku yang rela, nggak ada hubungannya dengan Anda!"
"..."
"Kalau nggak ada urusan lain, aku kembali kerja dulu."