Webfic
Open the Webfic App to read more wonderful content

Bab 2

Wajah Arvin tampak dingin. Telapak tangannya yang hangat membelai lembut leher ramping Nadine, seperti sentuhan lembut seorang kekasih, tapi juga seperti peringatan berbahaya dari pemburu pada mangsanya. Seolah kalau Nadine berani melawan, Arvin akan langsung mencekik lehernya sampai putus! "Dulu yang mau menikah itu kamu, sekarang yang mau cerai juga kamu ...." Arvin mendekat, berbisik di telinganya dengan nada ambigu dan berbahaya, "Kenapa? Sudah ada pacar baru?" Nadine merasa bahaya mengintai. Dia menahan diri agar tidak menyusutkan lehernya dan berusaha tetap tenang, "Bukan pacar baru, aku sudah lama menyukainya." Nada suara Arvin langsung menjadi lebih dingin. Tatapannya melintas di wajah cantik wanita itu dan bertanya penuh rasa ingin, "Oh? Siapa?" "Kamu nggak kenal." "Coba sebutkan namanya." Nada suaranya datar, sama sekali tidak menunjukkan ketertarikan, malah seperti ingin membunuh orang di tempat. "Kakak tingkat." Nadine merasa membicarakan pacar baru dengan suaminya sendiri terasa aneh, apalagi pacar baru itu sebenarnya tidak ada. Arvin malah seperti mendengar lelucon, "Nadine, kamu dari kecil nggak pernah konsisten, hari ini suka yang ini, besok suka yang itu. Pria itu bisa kamu suka berapa lama?" Dari kecil tidak pernah konsisten? Padahal dari kecil orang yang Nadine sukai hanya dia! Tapi di mata Arvin, Nadine malah dianggap mudah berubah! Nadine malas berdebat. Dia menunduk dan berkata, "Talia sudah kembali dari luar negeri. Aku sadar diri dan akan memberikan tempat untuknya. Kamu seharusnya senang." "Jadi aku harus memujimu perhatian, Nyonya Nadine?" Arvin yang tingginya lebih dari seratus delapan puluh sentimeter berdiri tegak, bayangannya hampir menutupi seluruh tubuh Nadine. Karena melawan cahaya, Nadine tidak bisa melihat ekspresinya dengan jelas. Meskipun nada bicaranya terdengar tetap lembut, tapi tekanan di sekelilingnya terasa berat. Panggilan Nyonya Nadine jelas mengejeknya! Nadine baru mau bicara, tapi Arvin tiba-tiba menerima panggilan telepon. Di ujung sana seseorang berbicara dan dia hanya sesekali menjawab ya. Dia membuang dokumen perjanjian cerai di meja, menelepon sambil naik ke lantai atas. Beberapa menit kemudian dia turun lagi, membawa jas di tangan, bersiap keluar. Nadine mengambil kembali surat perjanjian cerai itu dan mengejarnya ke pintu dengan kaki telanjang, "Bagaimana kalau kamu tanda tangan dulu saja?" Arvin menahan amarah di dadanya dan menatap sekilas dokumen itu. Karena tidak ada pembagian harta, Nadine dengan jelas menyatakan akan keluar tanpa membawa apa pun. Jadi isi dokumen itu sangat sederhana, jadi sepintas saja Arvin langsung paham semua. "Keluar tanpa membawa apa pun? Nyonya Nadine, bahkan bisnis rugi juga nggak seperti ini." Dia seolah sedang menasihatinya. "Uang bisa dicari lagi, tapi orang nggak akan menunggu." Nadine asal menjawab. Dia hanya ingin segera mengakhiri hubungan yang salah ini, biar dirinya masih bisa punya sedikit harga diri. Tapi kata-kata itu malah membuat amarah Arvin semakin memuncak, "Kamu begitu menyukainya?" Nadine asal mengangguk dan mengiakan, sambil mendesaknya segera tanda tangan. "Nyonya Nadine, kamu mahasiswa hukum berprestasi. Aku yang awam ini mana berani asal tanda tangan perjanjian sama kamu?" Belum selesai bicara, dia sudah melangkah pergi dengan cepat. "Arvin!" Nadine menatap punggungnya dan tiba-tiba memanggilnya, "Percaya atau nggak, tiga tahun lalu aku nggak pernah berniat menjebakmu supaya kamu menikah denganku!" "Oh, ya?" Suara pria itu ringan, hanya dua kata, lalu hilang dari pandangan. Nadine tahu Arvin percaya. Bagaimanapun juga, semua orang merasa, menikah dengan Arvin itu adalah keberuntungan besar buat sosialita malang sepertinya yang tidak disayang orang tuanya ini! Tapi, Nadine yang sudah diam-diam menyukai Arvin selama bertahun-tahun, mana mungkin tega memaksa Arvin menikah dengannya? ... Nadine berasal dari Kota Gastro, usia 16 tahun sudah cukup umur buat pernikahan yang sah. Dia lalu menjadi istri Arvin pada umur 18 tahun. Sekarang, umurnya 21 tahun dan siap bercerai. Dia adalah mahasiswa hukum tingkat akhir di Universitas Trevora. Begitu masuk libur semester, Nadine pindah dari Vila Morance ke apartemen dekat kampus. Dua hari kemudian, saat senja, dia menerima satu pesan singkat. [Nadine, besok jam dua siang bisa ketemu? Ada hal penting yang harus kubicarakan denganmu.] Di bawahnya disertai alamat. ... Kedai teh kelas atas di Kota Trevora. Talia duduk di dekat jendela, memakai gaun hitam tanpa lengan dari Canella. Rambutnya lurus sebahu, wajahnya lembut dan berwibawa. Tangan kirinya dibalut pelindung hitam yang menutupi dari telapak sampai pergelangan, luka parah beberapa tahun lalu masih meninggalkan rasa nyeri tiap kali berada di ruangan yang memakai AC. Nadine memaksa dirinya mengalihkan pandangan dari tangan itu, agar tidak muncul rasa bersalah. "Nadine, aku pikir kamu nggak akan datang." Talia berdiri dengan senyum lembut dan tenang. Semua orang di kalangan elite Kota Trevora tahu kalau Talia adalah kakak yang baik. Dulu Nadine juga berpikir begitu. "Aku tadinya memang nggak mau datang." Nadine duduk di hadapannya. "Soalnya kamu kirim pesan yang langsung menentukan waktu dan tempat, itu nggak sopan." Kalau bukan karena Nadine takut Talia akan datang ke kampus mencarinya, dia tidak akan datang hari ini! Talia sempat kaget, lalu tersenyum lagi, seolah memuji, "Bagus, setelah menikah dengan Arvin, cara bicaramu jadi lebih berani. Dulu kamu mana berani ngomong begitu sama aku." Nadine dulu bukan tidak berani, tapi karena dirinya bodoh dan menganggapnya sebagai kakak yang patut dihormati. "Ada urusan apa?" "Ayah dan Ibu suruh aku tanya, apakah kamu sudah mengatakan soal Owen pada Arvin? Minggu depan Owen sidang, nggak ada waktu lagi." "Owen sengaja melukai orang. Bukti sudah jelas, siapa pun nggak bisa membantunya." Setelah ibu Nadine meninggal, ayahnya buru-buru menikah lagi dengan ibu Talia. Talia dua tahun lebih tua darinya. Talia berganti marga menjadi Wenusa setelah itu dan langsung jadi anak kesayangan ayahnya. Dari ayah dan ibu tiri itu lahirlah anak laki-laki yang bernama Owen. Adik itu dimanja sejak kecil, sampai tidak tahu batas. Baru umur delapan belas tahun, tapi bulan lalu dia berkelahi dengan tuan muda Keluarga Zarlen gara-gara rebutan pacar dan membuat mata lawannya buta. Sekarang Keluarga Zarlen mau Owen dipenjara. "Nadine, kamu seorang pengacara dan tahu masih ada banyak cara untuk mengurus masalah ini. Keluarga Zarlen hanya anjing peliharaan Keluarga Gupta, jadi masalah ini mudah diatasi." "Talia, satu teleponmu saja bisa memanggil Arvin dari ranjangku, aku rasa, lebih berguna kalau kamu yang minta langsung. Lagi pula ...." Nadine berhenti sejenak, menopang dagu dengan satu tangan dan memperlihatkan senyum lega, "Sekarang aku sudah nggak punya posisi untuk memintanya membantu Keluarga Wenusa. Aku dan Arvin akan bercerai!" "Kalian ... mau cerai?" Talia terkejut, matanya melebar dengan tidak percaya. Nadine malah senang. Mata bulatnya yang indah penuh senyuman dan bercahaya seolah menemukan hal yang menarik. "Ternyata Arvin nggak bilang ke kamu, ya?" Dia memutar ujung rambut dengan jarinya, mendekat sedikit dan pura-pura berkata kaget. "Ya ampun, Kakak, kamu harus hati-hati, jangan-jangan dia sudah punya anjing lain di luar sana, sampai kabar sepenting ini saja dia nggak bilang ke kamu!" Talia seolah tidak mendengar ejekan yang jelas-jelas menyebutnya anjing. "Nadine, aku dan Arvin hanya teman baik." Talia tidak percaya kalau Nadine akan cerai dan menatapnya. "Dulu kamu berusaha keras naik ke ranjang Arvin dan memakai segala cara untuk menjadi istrinya, harusnya kamu pertahankan dia." Nadine menghela napas kesal dan menggeleng pelan, "Tapi aku sudah nggak kuat lagi!"

© Webfic, All rights reserved

DIANZHONG TECHNOLOGY SINGAPORE PTE. LTD.