Bab 3
Aku duduk tegak di tepi tempat tidur sambil mengepalkan tangan dengan gugup.
Julia yang melihat keadaanku seperti ini, langsung berkata sambil bercanda, "Aku nggak menyangka kalau Nona Agita yang selalu tenang dalam menghadapi segala situasi juga bisa merona malu seperti ini saat melihat mempelai prianya."
Aku tersenyum simpul, lalu menundukkan kepala.
Aku sama sekali tidak merasa malu, tetapi takut. Aku takut Daniel akan membongkar identitasku di tempat.
"Agita, gaun pengantin ini dirancang oleh desainer internasional terkenal Lilian, 'kan? Aku dengar jadwal Lilian sangat padat. Sepertinya Pak Daniel benar-benar sudah berusaha keras mendapatkannya."
Julia memperhatikan gaun pengantinku dari atas ke bawah, tidak bisa menahan kekagumannya.
Aku menundukkan kepala, menatap gaun pengantin yang aku kenakan.
Gaun pengantin ini disiapkan oleh Keluarga Frans, baru dikirim kemarin. Saat Agita membuka kemasannya, aku harus mengakui bahwa aku yang tidak ingin menikah pun terpesona oleh gaun pengantin ini.
Desain gaun pengantin ini tidak rumit. Renda buatan tangan dan rok ekor ikan yang panjang menyatu dengan sempurna. Desain yang mengikuti lekuk tubuh ini menampilkan garis tubuhku yang indah dan pesona yang memikat.
Sebenarnya, aku juga merasa aneh saat mengenakan gaun pengantin ini. Meskipun aku dan Agita terlihat persis sama, bentuk tubuh kami tetap memiliki sedikit perbedaan.
Namun, ukuran gaun pengantin ini sangat pas, seolah-olah dibuat khusus sesuai dengan ukuran tubuhku.
Hanya saja, bagaimana mungkin gaun pengantin ini dibuat sesuai dengan ukuran tubuhku? Mungkin ini hanya kesalahan pengukuran saja.
Suara riuh terdengar makin mendekat. Aku bisa merasakan Daniel sudah menunggu di luar pintu.
Jantungku berdebar kencang, bahkan jari-jariku tidak bisa berhenti bergetar.
Beberapa pendamping pengantin hanya menghalangi pintu secara simbolis beberapa kali, lalu membiarkan Daniel masuk. Bagaimanapun juga, dia adalah Daniel Frans. Siapa yang berani menghalanginya?
Ketika Daniel melihatku, tatapannya menjadi dalam.
Aku sangat terkejut. Tidak heran mata Daniel terlihat begitu cerah. Sekarang setelah melihatnya dari dekat, aku baru menyadari bahwa tidak ada masalah dengan matanya.
Di tengah keterkejutanku, seorang pendamping pengantin juga berteriak kaget, "Pak Daniel, matamu ...."
Daniel melirik dingin ke arahnya, membuat pendamping pengantin itu langsung terdiam ketakutan.
Orang-orang lain saling berpandangan, tidak ada yang berani mengatakan apa pun.
Daniel sama sekali tidak peduli dengan ekspresi terkejut orang lain. Dia hanya menatapku dengan tajam.
Aku tidak bisa tidak menahan napas, takut dia akan membongkar identitasku di tempat.
Setelah beberapa saat, sudut bibirnya sedikit terangkat, menampilkan senyuman yang sangat kecil. "Kenapa menatapku dengan tatapan kosong seperti itu? Apa kamu nggak mengenaliku lagi?"
Aku buru-buru menundukkan kepala, tidak berani menatap mata Daniel.
Ketika melihat suasana yang canggung, Lucas tersenyum sambil berkata, "Kakak Ipar memang hebat. Kak Daniel sedang dalam suasana hati yang buruk seharian. Dia akhirnya tersenyum setelah melihat Kakak Ipar."
Berbicara dengan Lucas membuatku tidak terlalu gugup. Dia adalah teman SMA Daniel, serta cukup akrab denganku juga.
Dulu saat Daniel menangkapku, Lucas selalu membelaku di sampingnya. Meskipun tidak pernah berhasil, aku sangat berterima kasih kepadanya.
Selain Lucas, tidak ada orang lain di tempat ini yang berani bercanda dengan Daniel. Mereka hanya bisa tersenyum kaku.
"Sudah selesai? Kalau begitu, kami akan membawa pengantinnya pergi."
Setelah Lucas mengatakan ini, barulah beberapa pendamping pengantin tersadar, Mereka mengeluarkan alat peraga yang sudah disiapkan, lalu mulai mempersiapkan permainan.
Ketika melihat para pendamping pria bermain sampai berkeringat, aku tidak bisa menahan senyumanku. Saat mengangkat mata, pandanganku bertemu dengan mata Daniel.
Aku langsung menarik kembali senyumku, lalu menundukkan kepala.
Setelah permainan selesai, Daniel menggendongku bagai seorang putri, lalu membawaku keluar.
Saat hendak turun tangga, Daniel tiba-tiba mendekatkan diri padaku, lalu berkata, "Kita akan turun tangga, pegangan erat-erat."
Aku menjawab dengan pelan, lalu memeluknya dengan erat.
Di lantai bawah, orang tuaku sedang menunggu kami.
Ayah dan Ibu juga tampak terkejut ketika melihat mata Daniel ternyata baik-baik saja. Namun, Ayah yang sudah berpengalaman menghadapi berbagai situasi, tidak menunjukkan apa-apa di wajahnya meski terkejut.
Namun, Ibu tidak bisa menahan pikirannya. Dia menatap Daniel dengan cermat. Sampai akhirnya Ayah mendorongnya pelan, barulah dia tersadar.
Ibu mengeluarkan saputangan, mengelap air mata yang tidak ada di sudut matanya, lalu dengan suara lembut mengingatkanku untuk mengikuti aturan Keluarga Frans setelah sampai di sana.
Aku tahu bahwa ini adalah cara Ibu untuk mengingatkanku agar tidak ketahuan. Jadi, aku mengangguk sambil mengatakan bahwa aku mengerti.
Setelah naik mobil, aku menjadi makin gugup. Telapak tanganku sampai mengeluarkan lapisan keringat tipis.
Daniel mengeluarkan sapu tangan, dengan hati-hati membersihkan kedua tanganku, lalu berkata dengan suara lembut, "Jangan gugup, aku akan selalu berdiri di sampingmu."
Astaga! Aku justru takut karena dia selalu berada di sampingku.
Ibu mengetuk kaca dengan pelan, lalu sopir menurunkan jendela mobil. Aku berpikir masih ada yang ingin disampaikan oleh Ibu, jadi aku mendekat padanya.
"Putri kesayangan Ibu akan segera menikah, Ibu benar-benar nggak rela melepaskanmu."
Hatiku terasa hangat, ingin merespons Ibu.
Tanpa diduga, Ibu tiba-tiba memelukku dengan erat, lalu berbisik di telingaku, "Beraktinglah dengan baik. Kalau sampai ketahuan, aku akan mematahkan kakimu."
Senyum di wajahku membeku. Ibu masih memainkan peran sebagai Ibu yang penyayang, mengusap kepalaku pelan, lalu memberi isyarat pada sopir untuk berangkat.
Sepanjang perjalanan, aku hanya diam.
Di satu sisi, aku merasa takut ketahuan jika mengatakan hal yang salah. Di sisi lain, sikap Ibu benar-benar membuat hatiku dingin.
Aku tidak bisa tidak mengkhawatirkan nasibku. Aku berhasil menipu Daniel yang tidak terlalu mengenalku, tetapi bisakah aku menipu Bu Camela, ibunya Daniel yang mengenal Agita dengan baik?
Meskipun aku berhasil menipu semua orang di keluarga besar ini, bagaimana aku harus mengatasi situasi ini?
Ketika memikirkan ini, aku tidak bisa menahan diri untuk melirik Daniel diam-diam.
Meskipun dia sekarang tidak bisa berhubungan intim, membayangkan kami akan tidur di tempat tidur yang sama malam ini membuatku gelisah.
"Kenapa kamu begitu gugup?"
Setelah mendengar kata-kata Daniel, aku menjadi makin gugup. Aku menjawab dengan terbata-bata, "Nggak .... Aku nggak gugup."
Daniel tertawa pelan, menarik tanganku yang agak dingin, lalu menggenggamnya dengan erat.
Aku tanpa sadar ingin menarik tanganku, tetapi tiba-tiba gerakanku berhenti.
Setelah sampai di tujuan, Daniel turun dari mobil lebih dulu, sebelum mengulurkan tangan ke arahku.
Aku menarik napas dalam-dalam, meletakkan tanganku di tangannya, lalu mengikutinya turun dari mobil.
Di luar sudah sangat ramai, banyak orang ingin melihat penampilan menantu baru Keluarga Frans. Ditatap oleh begitu banyak mata, aku menjadi makin gugup.
"Jangan takut, aku akan menuntunmu."
Kata-kata Daniel seolah memiliki kekuatan magis, membuatku perlahan-lahan menjadi lebih tenang.
Dalam upacara selanjutnya, aku selalu mempertahankan senyum yang tenang, hingga mendapat pujian dari banyak orang.
"Putri sulung Keluarga Winston memang hebat. Setiap gerak-geriknya begitu elegan. Memiliki anak perempuan seperti ini adalah sebuah kebanggaan. Jika ingin menikah, nikahilah seorang istri seperti Agita."
"Pria tampan dan wanita cantik, mereka benar-benar serasi. Hei, kenapa aku nggak melihat putri kedua Keluarga Winston di sini?"
"Kata Bu Veronica, dia pergi bermain entah ke mana. Di hari seperti ini dia masih saja pergi bermain-main, benar-benar nggak tahu aturan."
Entah siapa di kerumunan yang mengalihkan topik ke diriku. Kemudian, semua orang mulai membandingkan diriku dengan kakakku.
Meskipun sudah mendengar semuanya berkali-kali, hatiku masih merasa tidak nyaman ketika mendengarnya lagi.
"Apa kamu lapar? Bagaimana kalau kita makan sesuatu?"
Suara Daniel tiba-tiba terdengar, dia tersenyum menatapku.
Dari semalam sampai sekarang, aku belum makan apa-apa selain satu pangsit setengah matang. Sekarang, aku memang kelaparan.
"Tapi para tamu masih ada di sini. Bukannya nggak baik kalau kita pergi makan?"
Daniel tertawa pelan, langsung menarikku pergi. "Kenapa harus peduli dengan mereka?"
Daniel membawaku ke sudut yang sepi, menyuruhku menunggu di sini.
Aku menunggu dengan bosan, tetapi Daniel masih belum kembali juga setelah waktu yang lama.
Sekarang selain lapar, aku lebih merasa lelah.
Aku jarang memakai sepatu hak tinggi. Selain itu, sepatu ini juga masih baru, hingga membuat kakiku terasa sangat sakit.
Saat melihat sekeliling, aku tidak melihat ada orang. Jadi, aku melepaskan sepatuku, menginjak lantai dengan kaki telanjang.
Aku membuang sepatu hak tinggiku dengan asal. Baru saja aku hendak duduk untuk beristirahat dengan baik, tetapi Daniel sudah datang membawa sepiring makanan ringan yang cantik.
Ketika melihat sepatu hak tinggi yang berantakan, dia menaikkan alisnya.
Aku langsung bangkit berdiri. "Uh .... Kamu sudah kembali?"
Aku bertanya-tanya dalam hati mengapa dia kembali di saat yang tidak tepat seperti ini.
Daniel tertawa pelan sambil berjalan mendekat.
Aku berusaha keras menyembunyikan kakiku di bawah gaun, berharap dia tidak memperhatikan hal ini.
Namun, Daniel mengulurkan tangan untuk mengangkat kakiku dengan tepat. Aku ingin menghindar, tetapi tangan Daniel tidak membiarkanku melakukannya.
Sebuah plester luka ditempelkan dengan lembut di kakiku. Kemudian, entah dari mana dia mengeluarkan sepasang sandal dengan bahan yang lembut.
"Coba lihat apakah ukurannya pas atau nggak."
Ternyata dia pergi begitu lama tidak hanya untuk mengambil makanan. Aku merasa sedikit malu sampai wajahku memerah.
Daniel membantu membereskan sepatu hak tinggiku, mengetuk dahiku, lalu berujar, "Lain kali kalau kamu merasa nggak nyaman, beri tahu aku lebih awal."
Sambil berkata demikian, pria itu menyuapkan makanan ke mulutku.
Aku mengucapkan terima kasih dengan suara pelan, tetapi Daniel menggelengkan kepala. "Di antara kita nggak perlu mengucapkan kata-kata itu."
Aku mengunyah kue yang harum dan lembut itu dengan hati penuh pertanyaan.
Apa Daniel sudah berubah? Dulu dia jelas-jelas adalah orang yang dingin dan tidak bisa didekati siapa pun.
Kenapa sekarang dia begitu perhatian pada orang lain? Bicaranya juga jauh lebih lembut.
Sepertinya pria yang sudah menikah memang berbeda. Jika saja dia bisa terus selembut ini, menikah dengannya juga tidak masalah.
Setelah kenyang, Daniel membawaku keluar lagi.
Setelah mengganti sepatu dengan sandal yang lembut, aku merasa jauh lebih nyaman. Bahkan senyum di wajahku juga tampak lebih tulus.
Setelah sibuk seharian, acara pernikahan akhirnya selesai. Dengan senyum Ayah dan Ibu Daniel, kami kembali ke vila Daniel.