Webfic
Open the Webfic App to read more wonderful content

Bab 10 Apa Kamu Sedang Marah?

Setelah keluar dari rumah sakit, pulang ke Vila Permata Sari untuk tidur sepertinya tidak mungkin. Jadi, aku langsung pergi ke kantor. Aku awalnya berencana untuk bekerja, tetapi karena tidak tidur semalaman, aku hanya pindah tempat untuk istirahat. Aku tidur seharian di kantor. Sampai sore hari, aku diseret Jessy pergi belanja. Jessy adalah gadis dari keluarga kelas menengah. Sebelumnya, Jessy bekerja sebagai wartawan di stasiun TV lokal. Beberapa waktu lalu, Jessy bertugas di luar. Kerja keras selama setengah tahun menuai hasil yang bagus, maka stasiun TV memberinya waktu istirahat setengah bulan. Jessy suka mendatangiku ke Grup Carter saat tidak ada kesibukan, mengajakku jalan-jalan tanpa tujuan. "Sofia, habis makan, kita pergi perawatan kecantikan, lalu tonton film. Bagaimana?" Jessy adalah orang yang periang. Dia menggandengku sambil terus mengatur rencana kegiatan selanjutnya. Aku mengangguk, tidak merasa keberatan. Suasana hatiku sangat buruk dalam dua hari ini, tidak ada salahnya juga pergi jalan-jalan. Dengan demikian, aku dan Jessy sibuk jalan-jalan dan menyantap kuliner. Saat menerima panggilan dari Varrel, kami baru saja selesai memeriksa tiket dan bersiap masuk ke ruang bioskop. Melihat nama yang muncul di layar ponsel, aku mengernyit dan menjawab panggilan. "Ada apa?" Mungkin karena mendengar suara berisik di latar belakang, suara Varrel di seberang telepon terdengar dingin dan rendah, "Kamu di mana?" "Tonton film di bioskop," jawabku sambil mencari tempat yang agak sepi di dekat pintu ruang bioskop untuk berbicara. Di seberang telepon, setelah terdiam setengah menit, terdengar suara Varrel yang agak dingin, "Kamu sedang menonton film?" Aku mengangguk, lalu menyadari Varrel tidak bisa melihat gerakanku, maka aku mengiakan di telepon. Kemudian, aku bertanya, "Ada keperluan apa, Pak Varrel?" Varrel sepertinya sedang menahan emosi. "Sofia, aku sedang di rumah sakit." Hawa dingin dalam nada bicaranya terdengar sangat jelas. "Aku tahu." Akulah yang bertanda tangan. Di seberang telepon, Varrel terdiam. Lama kemudian, dia tiba-tiba berkata, "Aku lapar." Aku terkejut dan mengernyit. "Yovie nggak menemanimu?" Varrel seakan-akan tidak mendengar perkataanku. Dia berucap, "Kalau kamu sedang sibuk, aku minta Paman Rino ke sini." Aku, "..." Di antara begitu banyak orang, mengapa harus Paman Rino? Bukankah itu sama dengan memberi tahu Keluarga Desta bahwa aku, Sofia Carter, meninggalkan suamiku yang lumpuh dan pergi menonton film di bioskop? Aku menarik napas dan berusaha menahan emosi. Aku bertanya, "Mau makan apa?" Aku sebenarnya tidak takut pada orang-orang Keluarga Desta, hanya saja kalau hal ini sampai diketahui oleh mereka, orang tuaku pasti juga akan mengetahuinya. Mengingat sifat Kyle, dia pasti akan menganggapku lagi-lagi bertingkah dan tidak mengerti keadaan. "Apa saja boleh," jawab Varrel singkat. Setelah mengakhiri panggilan, aku menoleh pada Jessy. Jessy sepertinya bisa menebak. Dia bertanya dengan cemberut, "Jangan-jangan kamu diperintah oleh pria itu?" Aku mengangguk. Jessy mencibir, lalu mengibaskan tangan padaku. Dia menggerutu dengan jengkel, "Pergilah. Aku tahu walau aku bisa menahan ragamu, hatimu nggak akan bisa kutahan. Biarlah aku menyendiri." Melihat aktingnya hampir sampai menitikkan air mata, aku tersenyum. Aku memeluk Jessy dan berkata, "Aku tebus lain kali." Usai berpamitan, aku keluar dari bioskop. Varrel sepertinya baru saja selesai operasi. Selain bubur polos, aku tidak bisa memikirkan apa lagi yang bisa dia makan. Aku kembali ke Vila Permata Sari untuk memasak bubur, lalu langsung menuju rumah sakit. Di rumah sakit. Di dalam ruang perawatan, Varrel terbaring di tempat tidur, sedangkan Tora berdiri di sampingnya dengan sikap hormat sambil memegang dokumen. Sepertinya mereka sedang membicarakan urusan perusahaan. Aku tidak buru-buru masuk, melainkan bersandar di pintu dan menunggu mereka selesai bicara. Namun, Varrel sepertinya melihatku. Dia menghentikan pembicaraan dan menyuruh Tora pergi. Begitu Tora pergi, aku masuk dan meletakkan bubur di samping tempat tidur. Melihat Varrel yang berbaring di tempat tidur dan tidak bisa bergerak leluasa, aku berkata dengan nada datar, "Dokter bilang kamu nggak bisa makan yang lain, makan ini dulu." Setelah berkata demikian, aku duduk di kursi di sampingnya. Sambil menopang dagu dengan tangan, aku berpikir apakah sebaiknya aku pergi setelah mengantarkan barang. Varrel mengernyit saat melihat bubur yang kubawa. Beberapa saat kemudian, dia menatapku dan tiba-tiba berkata, "Situasinya darurat saat itu, aku nggak sempat berpikir banyak." Aku bingung sejenak, baru tersadar bahwa Varrel sedang membicarakan kecelakaan saat menyelamatkan Yovie. Aku mengangguk dan menggumamkan hhmm dengan nada datar. "Hmm?" Alis Varrel berkerut. Mata hitamnya menatap lurus padaku. Aku tidak ingin membahas soal aksi heroiknya. Aku menatapnya dengan cuek dan berkata, "Buburnya sudah dingin." Sepertinya reaksiku membuat Varrel agak tidak senang. Mata hitamnya berubah muram saat menatapku. "Sofia, apa kamu sedang marah?" "Nggak," jawabku. Tanpa menunggu respons darinya, aku langsung berdiri dan melanjutkan, "Pak Varrel selalu bertindak dengan pertimbangan matang. Kalau kamu bilang situasinya darurat, pasti kamu sudah punya perhitungan sendiri. Pernikahan kita juga hanya pernikahan bisnis. Aku nggak berhak untuk marah, entah kamu perhatian atau suka wanita mana pun di belakangku." "Perhatian? Suka?" Varrel memicingkan matanya seraya menatapku. Wajahnya lebih muram lagi. "Nggak nyangka kamu sepertinya lebih memahami diriku daripada aku sendiri."

© Webfic, All rights reserved

DIANZHONG TECHNOLOGY SINGAPORE PTE. LTD.