Webfic
Open the Webfic App to read more wonderful content

Bab 12 Kita Perlu Bicara!

Ketika melihat Rino berdiri di samping mobil sambil menjinjing kotak makanan, aku tertegun sejenak, lalu buru-buru menghampirinya. "Paman Rino, kenapa nggak tekan bel begitu sampai? Di luar dingin." Rino tersenyum sembari menyodorkan kotak makanan padaku dan berkata, "Nenek Frida suruh orang buatkan pagi ini. Katanya kamu mungkin akan ke rumah sakit hari ini untuk merawat Tuan Muda Varrel, jadi tolong sekalian bawakan. Ini juga menghemat waktumu untuk menyiapkan sarapan." Aku mengatupkan bibir. Nenek Frida mengirimkan sarapan untuk cucunya dengan cara berbelit-belit. Nenek Frida jelas sudah tahu tentang aksi heroik Varrel, tetapi khawatir aku tidak mau mengurus Varrel, maka dia menyuruhku mengunjungi Varrel di rumah sakit dengan alasan membawakan sarapan. Aku menghela napas dalam hati, menghargai niat baik Nenek Frida. Kuambil kotak makanan itu sambil berkata pada Rino, "Maaf sudah merepotkan Paman Rino datang jauh-jauh." Rino tersenyum sembari menatapku dan berujar, "Kondisi Nenek Frida belakangan ini kurang baik. Tolong Nona Sofia rawat Tuan Muda Varrel di rumah sakit. Nenek Frida titip pesan agar kalian pulang ke kediaman besar untuk menemaninya setelah Tuan Muda Varrel boleh keluar dari rumah sakit." Aku mengangguk dan mengiakan sambil tersenyum, "Ya, baik. Kami akan pulang setelah Varrel keluar dari rumah sakit." Begitu melihat Rino pergi, aku menatap kotak makanan di tanganku dan menghela napas dalam hati. Ada Yovie yang merawat Varrel di rumah sakit, kehadiranku di sana jelas tidak diperlukan. Namun, sekarang Nenek Frida sudah meminta, tidak baik jika aku tidak pergi. Setelah ragu sejenak, aku akhirnya pergi ke rumah sakit. Di rumah sakit. Di dalam bangsal, Yovie duduk di tepi tempat tidur dengan semangkuk bubur di tangannya. Dia berbicara dengan suara lembut pada Varrel yang bersandar di tempat tidur, "Varrel, bubur ini kubuat pagi-pagi. Coba rasakan." Sambil berkata demikian, Yovie bersiap menyuapi Varrel. Varrel memalingkan muka menghindari bubur yang disuapkan Yovie, lalu berkata padanya, "Aku belum lapar." Melihat itu, Yovie tidak memaksanya. Dia menaruh bubur ke samping dengan ekspresi penuh perhatian. "Lukanya masih sakit?" Varrel menggeleng. "Ini luka ringan, nggak masalah. Kamu sudah begadang semalaman, pulanglah dan istirahat." Yovie menggelengkan kepala dengan mata berkaca-kaca. "Kamu masih terbaring di sini, aku nggak bisa tidur dengan tenang. Biarlah aku tinggal di sini." Hatiku pun mati rasa karena terlalu sering melihat pemandangan seperti ini. Aku berniat bersandar di bingkai pintu, merenungkan apakah sebaiknya meminta perawat mengantarkan kotak makanan ini ke dalam. Namun, sebelum sempat bersandar, tatapan tajam Varrel sudah menangkapku. Matanya memancarkan hawa dingin, juga ada sedikit kecuekan. "Mau berdiri di sana sampai kapan?" Ketika Varrel menatapku, aku berdiri tegak dan langsung masuk ke dalam bangsal. Aku menaruh kotak makanan di lemari di samping sambil berkata padanya, "Maaf datang di waktu yang nggak tepat." Setelah itu, aku membuka kotak makanan dan mengeluarkan sarapan bergizi yang disiapkan Nenek. Aku menarik sebuah kursi dan duduk, lalu memandang Varrel dan Yovie. "Nenek suruh aku antarkan ini. Silakan lanjutkan, aku nggak akan mengganggu." Varrel mengernyit. Dia menoleh pada Yovie dan berkata, "Kamu pulang dulu dan istirahat yang baik." Yovie memandangi Varrel dengan mata penuh kekhawatiran. "Varrel, aku nggak tenang meninggalkanmu sendirian." "Pulang!" seru Varrel dengan nada marah dan jengkel yang terasa dengan jelas. Yovie cukup tahu diri. Meski dengan berat hati, dia akhirnya berdiri dan meninggalkan bangsal. Setelah Yovie pergi, mata Varrel beralih ke aku dan kotak makanan. Dia bertanya, "Kenapa nggak dibuka?" Aku mengernyit dan menahan diri untuk tidak menggerutu. Tangannya tidak patah, memangnya tidak bisa buka sendiri? Namun, aku menahan gerutuanku dan membukakan kotak makanan itu. Saat mengambil sendok, aku melihat bubur buatan Yovie yang sungguh merusak pemandangan. Aku langsung membuangnya ke dalam tempat sampah. Varrel menatapku tanpa berbicara. Wajahnya yang tampan sama sekali tidak memperlihatkan emosi apa pun. Aku menyodorkan sendok pada Varrel dan menyindir dengan wajah tak berekspresi, "Kalau kamu nggak rela, aku pungut lagi?" Varrel memalingkan mata dan mendengkus. "Sofia, tempat sampah benar-benar kamu manfaatkan sepenuhnya." Ucapan itu jelas adalah sindiran. Aku menekan bibir dan kembali duduk di kursi. Aku berujar dengan nada datar, "Terima kasih atas pujian Pak Varrel." Varrel melirikku sekilas, lalu tidak berbicara lagi. Dia hanya makan dengan elegan. Masakan Keluarga Desta selalu disesuaikan dengan selera Varrel, tentu saja dia menikmatinya. Mungkin karena puas makannya, Varrel meletakkan sendok makan. Mata hitamnya tertuju padaku saat dia berkata, "Sofia, kita perlu bicara." Aku menenangkan pikiran dan menatapnya. "Bicara tentang apa?" "Tentang aku dan Yovie," ucap Varrel dengan suara datar. Ekspresinya juga datar, tetap mempertahankan sikap khas anak orang kaya.

© Webfic, All rights reserved

DIANZHONG TECHNOLOGY SINGAPORE PTE. LTD.