Webfic
Open the Webfic App to read more wonderful content

Bab 16 Dia Gila

Varrel marah, aku juga tidak kalah kesal. Rasa sedih yang sudah lama kupendam kini ingin sekali kuluapkan sepenuhnya. Dengan mata memerah, aku menatap Varrel dan berkata, "Varrel, apa kamu nggak paham kenapa aku ingin bercerai? Yovie hamil, kamu mau aku bagaimana? Terus pura-pura nggak tahu dan bermain sandiwara denganmu atau tunggu sampai diusir oleh kalian dan mempermalukan Keluarga Carter?" Kata-kata ini kuteriakkan padanya. Dadaku sakit sekali. Ya, aku memang jatuh cinta pada Varrel, jatuh cinta dalam keseharian dua tahun bersamanya. Sekarang ketika harus melepaskan Varrel, hanya aku yang tahu betapa pedihnya itu. Varrel termangu dan mengernyit. "Yovie hamil?" Matanya menunjukkan keterkejutan dan keheranan. Dia terbengong untuk waktu yang lama. Varrel tidak tahu bahwa Yovie hamil? Namun, Varrel hanya terkejut sebentar. Cepat atau lambat, Yovie akan memberitahukannya pada Varrel soal ini. Aku juga tidak terlalu terkejut. Aku tidak berminat mengorek perasaan Varrel, maka aku berbalik dan bersiap pergi. Akan tetapi, Varrel menahan pergelangan tanganku. "Kamu mengajukan perceraian denganku karena Yovie hamil?" Aku menoleh sambil mengerutkan alis dan berusaha mengentakkan tangan Varrel. Aku bertanya balik, "Apa alasan ini nggak cukup untuk bercerai?" "Nggak cukup!" Varrel merengkuhku ke dalam pelukan. Mata hitamnya melekat padaku. Dia berkata dengan suara rendah dan kalem, "Kalau karena ini, Sofia, dengarkan baik-baik, aku nggak akan setuju untuk bercerai. Urusannya akan kutangani dengan baik dan aku akan memberimu penjelasan yang masuk akal." "Tangani bagaimana?" Aku melemparkan tatapan mengejek pada Varrel. "Suruh Yovie aborsi atau kalian bangun keluarga kecil di luar dan hidup sembunyi-sembunyi?" Varrel mengernyit. "Sofia, apa kita nggak bisa bicara baik-baik?" Aku mendorong pria itu. Varrel tidak menyangkal bahwa anak itu bukan miliknya, itu sudah cukup membuktikan bahwa kami tidak perlu melanjutkan pernikahan ini. Setelah menarik napas dalam-dalam, aku menatap Varrel sembari berkata dengan lebih tegas, "Varrel, aku pasti akan bercerai. Aku punya misofobia dan benci kotor. Yovie sangat menyayangimu, maka aku melepasmu. Semoga kalian bahagia dan cepat punya anak!" "Sofia!" bentak Varrel sambil menggenggam tanganku. Suaranya begitu dingin sampai membuat orang merinding. "Apa aku terlalu memanjakanmu selama dua tahun ini?" Pergelangan tanganku sakit karena digenggamnya. Dadaku juga sesak dan sulit bernapas. Saat bertemu dengan sorot matanya yang dingin, aku menyeringai sinis. "Memanjakan? Berani sekali Pak Varrel bicara begitu. Kita dari awal hanya pura-pura jadi suami-istri. Hanya tidur bersama beberapa kali saja, Pak Varrel benar-benar merasa jadi suami? Konyol sekali!" Ekspresi wajah Varrel tampak makin gelap dan muram di bawah sinar bulan. Aku tahu dia sedang menahan amarahnya, tetapi apa lagi yang bisa kulakukan? Aku tidak peduli. Aku mengentakkan tangan Varrel dan hanya ingin turun gunung saat ini. Namun, aku terlalu menganggap remeh betapa gila dan tidak rasionalnya saat seorang pria tersulut amarah. Malam di gunung begitu dingin, sekaligus menakutkan. Aku tidak bisa menggambarkan kegilaan Varrel, tetapi yang lebih menyedihkan adalah kenyataan bahwa aku tidak pernah tahu Varrel adalah orang seperti ini. Keesokannya! Ketika aku sadar kembali, hari sudah pagi. Bajuku sudah terpakai, dan tubuhku diselimuti jas hitam Varrel yang dikenakannya kemarin malam. Aku melirik sekeliling, hanya ada dinding batu dan gua. Tumpukan api di depan masih menyala dengan redup. Tempat ini terlindung dari angin dan ada api, jadi cukup hangat. Tak tampak bayangan Varrel. Aku bangun dan keluar gua. Matahari terbit di balik gunung telah menembus kabut di antara pegunungan tinggi dan perlahan memancarkan sinar keemasan yang menguningkan separuh langit. Pemandangannya indah sampai terasa tidak nyata. Varrel duduk di batu karang di puncak gunung, dengan puntung rokok yang masih berapi di jari telunjuknya. Varrel tidak mengisapnya, hanya membiarkan puntung rokok itu terbakar hingga menjadi abu. Mungkin merasakan tatapanku, Varrel menoleh memandangku. Wajahnya yang tampan dan berwibawa sulit ditebak seperti biasa. Varrel menepuk tempat di sampingnya dan berkata, "Maaf."

© Webfic, All rights reserved

DIANZHONG TECHNOLOGY SINGAPORE PTE. LTD.