Bab 2 Aku yang Lapor Polisi
Dua jam kemudian, di kantor polisi.
"Sofia, aku dan Varrel benar-benar nggak melakukan apa-apa. Aku nggak enak badan, jadi minta tolong dia antarkan obat. Aku juga nggak tahu kenapa polisi tiba-tiba masuk dan membawa kami ke kantor polisi." Yovie menatapku dengan wajah memelas yang sangat menyentuh hati.
Aku memandangi Yovie dan mengangguk sambil tersenyum. "Nggak apa-apa. Karena ini hanya salah paham, Kakak cepatlah pulang dan istirahat. Aku sudah panggilkan taksi untukmu. Sudah terlalu malam, jadi Varrel dan aku nggak antar."
Melihat aku sama sekali tidak terlihat marah, Yovie menoleh pada Varrel dengan tatapan membara. Akan tetapi, suasana hati pria itu tampak agak dingin. Melihat ini, Yovie tidak berkata apa-apa lagi dan pergi.
Aku datang dengan menyetir sendiri. Setelah Yovie pergi, aku langsung masuk ke dalam mobil dan duduk di kursi penumpang tanpa menunggu pria di sampingku. Sudah pukul empat pagi. Rasa kantuk menyerang, jadi aku berniat tidur sebentar di mobil.
Namun, belum lama setelahnya, Varrel yang sudah duduk di kursi pengemudi bertanya, "Kamu yang lapor polisi?"
Suara Varrel rendah dan agak dingin.
"Betul," jawabku. Aku terlalu mengantuk untuk melihatnya.
"Kenapa?" Varrel tidak menyalakan mobil, sepertinya tidak berencana untuk pergi.
Aku mengusap pelipisku. Rasa kantuk sedikit berkurang. Aku membuka mata dan menoleh ke arah Varrel, dengan perasaan sedikit kesal. "Kalian mengganggu tidurku di tengah malam. Kalau diam saja, hati nuraniku nggak akan terima."
Alis Varrel berkerut. Dia menatapku sembari mengangkat alisnya. "Mengganggu tidurmu?"
Ekspresi bingung di wajah Varrel membuatku bingung. Sepertinya Varrel tidak tahu tentang panggilan yang ditujukan padaku itu.
Aku tidak memberi penjelasan lebih lanjut. Aku memejamkan mata untuk tidur.
Ada beberapa hal yang cukup diungkapkan sekadarnya saja.
Varrel juga tidak terus bertanya. Dia langsung menyalakan mobil.
Keesokan hari.
Oleh karena tidak tidur semalaman, aku mengambil cuti untuk tidur di rumah dan baru bangun saat senja.
Di dalam vila, aku tidak melihat Varrel. Aku mencari makanan untuk mengisi perut, lalu menyalakan ponsel yang sengaja kumatikan. Ada pemberitahuan beberapa panggilan tak terjawab.
Selain urusan pekerjaan, sisanya adalah panggilan dari Yovie.
Tepat ketika aku ingin menelepon balik, ponselku bergetar. Yovie menelepon.
Aku menjawab panggilan, tetapi tidak langsung bicara.
Dari seberang langsung, terdengar suara Yovie, "Sofia, ada waktu nggak? Bisakah kita bertemu?"
"Nggak ada," jawabku sambil berbaring lemas di sofa.
Yovie terdiam.
"Aku ke Vila Permata Sari cari kamu." Yovie segera mengakhiri panggilan seperti takut aku akan menolak.
Lima belas menit kemudian.
Yovie yang berpakaian gaun panjang hijau berdiri di luar pintu. Postur tubuhnya anggun, wajahnya cantik dan bersih, sama sekali tidak terlihat seperti sudah berusia lebih dari tiga puluh tahun.
Aku menatapnya sambil mengangkat alis. "Cepat sekali kamu sampai."
Yovie tersenyum. "Varrel bilang Perumahan Jimbaren terlalu sempit, jadi dia belikan vila untukku di sebelah rumah kalian. Nggak jauh dari sini." Sambil berkata demikian, Yovie masuk ke dalam ruang tamu dan memandang sekeliling.
Kemudian, Yovie kembali menoleh padaku. "Rumah ini dibeli Varrel tiga tahun lalu. Saat itu dia bilang akan dijadikan sebagai rumah pernikahan kami, jadi gaya dan dekorasinya semua diatur sesuai kesukaanku. Nggak nyangka masih dipertahankan sampai sekarang."
Aku bersandar di sofa, mengangguk dengan ekspresi tenang dan berkata dengan nada datar, "Selera Kakak selalu bagus. Tapi karena aku sudah tinggal di sini dua tahun, agak bosan juga melihatnya. Aku berencana merenovasi ulang beberapa waktu lagi."
Yovie mengalihkan pandangannya dari rumah ke arahku. Sorot matanya sedikit muram. Yovie mengubah topik pembicaraan, "Sofia, aku dan Varrel sudah bersama sejak lima tahun lalu."
Sambil memainkan ponsel, aku menatapnya dan mengangkat alis. "Jadi? Apa hubungannya denganku?"
"Kamu ...." Ekspresi wajah Yovie yang biasanya terkendali mulai goyah. "Jadi, kamulah orang ketiga. Varrel nggak cinta kamu, hubungan kalian semata-mata karena kebutuhan pernikahan antara Keluarga Carter dan Desta. Sekarang aku sudah kembali, sudah saatnya posisimu sebagai menantu Keluarga Desta dikembalikan padaku."
Aku menyandarkan tubuh ke belakang, menatapnya sambil tersenyum tipis. "Ya, aku tahu."
Yovie mengernyit. Sikapku yang acuh tak acuh membuat emosinya mulai tak terbendung. Dia menatapku sembari berkata, "Sofia, apa kamu nggak mengerti? Varrel nggak mencintaimu, kenapa kamu terus mempertahankan pernikahan ini, terus memisahkan aku dan Varrel?"
"Cih." Aku duduk tegak dengan kesal, menopang dagu sambil menatapnya. "Kamu sudah bicara panjang, intinya kamu datang untuk membujukku bercerai dengan Varrel?"
Yovie cukup jujur. Dia mengangguk dan berkata, "Betul. Asalkan kamu bercerai dengan Varrel, aku akan membujuknya untuk memberimu lebih banyak harta, nggak akan membuatmu dirugikan."
Aku tersenyum tipis seraya mengangguk. Lalu, aku dengan santai mengambil ponsel yang masih tersambung dan berkata ke seberang telepon, "Pak Varrel, apa ini juga maksudmu?"