Webfic
Open the Webfic App to read more wonderful content

Bab 8 Mengalami Kecelakaan

Aku membeku sesaat, baru sadar setelah sudut mulutku tergigit sampai perih. Aku mendorong Varrel dengan sekuat tenaga, tetapi kekuatan pria dan wanita berbeda. Usahaku sama sekali tidak berefek padanya. "Varrel, apa kamu nggak merasa jijik?" Usaha perlawanan membuat suaraku menjadi serak. Sepertinya ucapanku berpengaruh sehingga Varrel berhenti. Bibirnya sedikit bengkak, terlihat seksi dan menggoda. Matanya yang hitam menatapku tanpa berkedip, tidak mengucapkan sepatah kata pun. Aku menatapnya balik, lalu menarik napas dan berkata, "Saat kamu bersama Yovie, apakah kamu juga memperlakukannya seperti ini? Langsung paksa kalah dalam argumen?" "Jijik?" Varrel menatapku dengan wajah yang muram dan menakutkan. Tanpa mengindahkan rasa tidak nyamanku, Varrel mengangkat ujung bajuku dan menyelipkan telapak tangannya yang besar ke perutku. Ujung jari yang kasar mengusap bekas luka mengerikan di perutku. Varrel menatapku dengan ekspresi mata sinis dan berkata dengan sarkas, "Ya, cukup menjijikkan." Aku membeku di tempat, seperti disambar petir. Seketika itu, dadaku terasa sakit dan sesak. Ada beberapa orang yang bisa melukai seseorang habis-habisan hanya dengan satu kalimat. Varrel tahu di mana kelemahanku sehingga serangannya tepat mengenai sasaran. Benar, dulu aku juga pernah sangat jijik dengan bekas luka mengerikan di perutku. Bekas luka ini terus mengingatkanku betapa bodoh dan naifnya aku di usia delapan belas tahun. "Cih ...." Aku ingin tertawa, tetapi tidak bisa. Sambil menatap pria dingin di depanku, aku membuka mulut, tetapi tidak ada yang bisa kuucapkan. Aku terlalu lelah untuk menatapnya, dan tidak punya ketabahan untuk terus mendengar ejekannya. Aku langsung mendorong Varrel dan pergi. Melihatku hendak pergi, Varrel mencoba meraihku, tetapi kuhindari. Entah apakah ini hanya perasaanku, Varrel tampak agak panik dan berkata, "Aku ...." Kata-kata selanjutnya tidak kudengar karena aku sudah kabur dari ruang kerja. Di dalam kamar tidur. Aku berbaring di tempat tidur. Kepalaku agak pusing, seolah-olah seluruh tubuhku kehilangan tenaga. Bagaimana aku melewati setengah tahun di perbatasan itu? Pembunuhan, kenajisan, kekejaman .... Tidak, kenangan masa lalu bahkan memiliki daya rusak yang mematikan saat diingat. Aku bangun dan pergi ke kamar mandi. Aku menyalakan pancuran, membiarkan air dingin membasahi tubuhku yang mati rasa, sedikit demi sedikit memulihkan akal sehat dan kesadaranku. Malam ini, mimpi buruk datang silih berganti. Keesokan harinya, aku terbangun oleh bel pintu di lantai bawah. Kepalaku terasa sangat sakit karena tidak bisa tidur nyenyak tadi malam. Dengan limbung aku pergi membuka pintu dan melihat orang yang berdiri di luar dengan panik, Tora. Melihat Tora tergesa-gesa dan ada beberapa noda darah di tubuhnya, aku mengernyit. "Ada apa?" Mungkin karena panik, suara Tora sampai gemetar, "Pak Varrel mengalami kecelakaan mobil, dan sekarang sedang di UGD. Nyonya, cepat ikut aku." Begitu selesai bicara, tanpa menunggu jawabanku, Tora langsung menarikku keluar halaman dan masuk ke dalam mobil. Melihat Tora buru-buru menyalakan mobil, aku tak tahan bertanya, "Apa yang terjadi sebenarnya?" Kenapa tiba-tiba bisa kecelakaan? Tora menyetir sambil memperhatikan jalan dan menjelaskan, "Pagi ini, Pak Varrel menemani Nona Yovie berdoa ke Kuil Linggara. Dalam perjalanan pulang, entah bagaimana tiba-tiba terjadi kecelakaan. Pak Varrel baru saja dibawa ke UGD." Berdoa ke Kuil Linggara? Aku melihat jam, sekarang baru pukul tujuh pagi. Perjalanan ke Kuil Linggara saja butuh lebih dari satu jam sekali jalan. Apakah mereka berdua sudah berangkat sebelum matahari terbit? Cih, mereka pergi berdoa atau berkencan? Tora menyetir dengan sangat cepat. Tak lama kemudian, kami tiba di rumah sakit. Aku mengikuti Tora sampai ke pintu ruang gawat darurat. Yovie berjongkok di koridor sambil menangis tersedu-sedu. Masih ada noda darah di tubuhnya. Baru saja aku sampai, anggota Keluarga Desta datang menyusul. Yang datang adalah kepala pelayan Keluarga Desta, Rino. Melihat Yovie menangis tersedu-sedu, Rino ragu sejenak, lalu menatapku dan bertanya, "Nyonya Sofia, apa yang terjadi? Kenapa tiba-tiba bisa kecelakaan?" Aku mengalihkan tatapan ke Yovie sambil mengangkat alis, menyilangkan tangan dan bersandar di dinding. Aku berkata dengan cuek, "Paman Rino, kamu salah orang." Rino terdiam sejenak. Kemudian, dia menoleh pada Yovie.." Yovie justru proaktif. Sebelum Rino sempat bicara, dia sudah berkata sambil tersedu-sedu, "Ini semua salahku, aku yang membuat Varrel terluka. Kalau bukan karena melindungiku, Varrel nggak akan terluka. Ini salahku." Penampilannya yang memelas ini sungguh membuat mataku sakit. Mendengar Yovie terus mengatakan bahwa Varrel terluka demi melindunginya, Rino menoleh padaku dengan ekspresi canggung. Untungnya, pintu ruang gawat darurat terbuka. Seorang dokter berbaju putih berjalan keluar. Melihat ini, Yovie langsung berlari mendekat. Dia menarik dokter itu dan bertanya, "Dokter, bagaimana kondisi Varrel? Apakah dia sudah sadar?" Dokter itu memandang Yovie dan menenangkannya, "Pasien sudah sadar, tapi saraf di kaki kanannya terluka. Kami perlu segera melakukan operasi, tolong keluarga tanda tangani persetujuannya." "Aku tanda tangan, aku tanda tangan." Sebelum dokter selesai bicara, Yovie sudah buru-buru mengambil pena dan menandatanganinya. Dokter itu bertanya padanya, "Apa hubunganmu dengan pasien?"

© Webfic, All rights reserved

DIANZHONG TECHNOLOGY SINGAPORE PTE. LTD.