Bab 2 Nomor WhatsApp Yansen
Menjelang dini hari, Kirana terbangun. Di sampingnya, pria itu masih terlelap, lengan kokohnya memeluk penuh tubuhnya. Napas Yansen yang teratur menimbulkan rasa geli di leher Kirana.
Seiring hilangnya rasa mabuk itu, kesadarannya pun berangsur pulih.
Apa yang sudah dia lakukan?
Dia benar-benar tidur dengan sang presiden direktur!
Kirana sontak menahan napas. Dia berusaha melepaskan diri dari pelukan itu, lalu dengan tergesa-gesa turun dari ranjang, mengenakan pakaiannya, merapikan barang bawaannya, dan kabur seakan menyelamatkan diri. Dia keluar dari kamar 1501, berlari ke resepsionis hotel, lalu membuka satu kamar lagi.
Saat hendak membayar dengan ponsel, barulah dia tersadar bahwa yang dia hubungi semalam bukan nomornya Janna.
Jelas-jelas itu adalah nomor WhatsApp Yansen!
Bertahun-tahun lalu, ketika reuni SMP, ketua kelas membuat grup WhatsApp agar semua bisa saling menyimpan nomor teman. Kirana masih ingat dengan jelas, saat itu justru Yansen yang lebih dulu menyapanya. Hanya saja, setelah itu, tidak pernah ada percakapan pribadi di antara mereka, dan dia hanya sempat menyimpan nama kontak pria itu.
Siapa sangka akhirnya malah jadi begini!
Duduk di kamar barunya, dia menenangkan diri cukup lama, lalu mengambil ponsel dan keluar dari grup SMP itu. Dia pun mengganti nama WhatsApp-nya dari "Kirana" menjadi "Lily," serta mencari foto seorang gadis di internet untuk dijadikan foto profil.
Dengan begitu, Yansen tidak akan tahu siapa dirinya!
Kalau langsung memblokir namanya dari kontak, malah tampak terlalu mencurigakan. Lagi pula kamar 1501 itu dipesan perusahaan, jadi mustahil bisa dilacak.
Setelah serangkaian tindakan itu, akhirnya dia menarik selimut dan terlelap.
Keesokan paginya, alarm berbunyi nyaring. Hari ini Kirana harus ikut bersama manajer pergi untuk membicarakan masalah tambahan dana ke Perusahaan Hanaya.
Nilai bersih proyek obligasi yang dapat ditukar ini sudah jatuh di bawah batas rugi. Pihak lawan meminta penambahan dana, jika tidak, mereka akan menjual aset sekuritasnya. Karena situasi ini sangat mendesak, para staf dari Departemen Investasi berkesempatan untuk ikut bersama sang presdir naik jet pribadi untuk urusan bisnis di Kota Wilan.
Setelah beres mandi dan bersiap, dia membawa dokumen dan buru-buru menuju lobi hotel untuk bergabung. Tak lama kemudian, Janna pun turun, sambil menggerutu, "Pak Rainer waktu itu bersikeras bilang kalau Perusahaan Mahagema bukan pihak yang wajib menambah modal. Tapi begitu aku cek kontrak salinan dari perusahaan pengelola aset, di situ jelas-jelas tertulis namanya!"
"Sudah, Pak Rainer sebentar lagi datang, jangan sampai dia dengar." Kirana buru-buru menarik Janna ke samping. Belum sempat lanjut berbicara, dari sudut matanya dia melihat sosok tinggi tegap keluar dari lift, dikelilingi beberapa orang.
Sosok itu tak lain adalah Yansen.
Dia sudah menanggalkan jubah mandi yang dikenakan semalam. Kini, tubuh tinggi tegapnya dibalut setelan hitam dengan potongan sempurna. Alis tebal yang tegas itu berkerut sedikit, bibir tipisnya terkatup rapat, seolah tengah menyimak laporan sekretaris di sisinya, tanpa sedikit pun melirik ke arah sini."
Sikap dingin Yansen sudah terkenal di dunia bisnis. Wajah tampannya yang tegas selalu terlihat tajam, angkuh dan berjarak, bicara seperlunya. Tekanan dari auranya bahkan bisa membuat suhu di sekitarnya seakan menurun drastis.
Kirana berusaha mengingat-ingat, namun tidak bisa menemukan kesamaan sosok ini dengan pria yang semalam begitu lembut menghapus air matanya dengan kecupan. Sepertinya, semua itu hanya ilusinya sendiri.
"Pak Yansen ini benar-benar tampan. Kalau aku bisa tidur dengan dia semalam saja, mati pun aku rela!" Janna, yang tak menyadari sikap Kirana yang tegang, bicara seenaknya. "Kamu lihat, sama-sama bermarga Feriawan, kenapa wajahnya bisa beda jauh, ya? Hei, Kirana, kamu bengong mikir apa sih?"
Tersentak oleh sentuhan di lengannya, Kirana segera tersadar dan mundur selangkah, berniat menghindari Yansen.
Namun, tepat ketika dia dan rombongan sekretaris hampir tiba di pintu keluar, langkah mereka terhenti, persis di dekat tempatnya berdiri!
Hanya terlihat Yansen mengangkat sedikit kelopak matanya dengan sorot dalam, lalu berbisik pada sekretaris di sampingnya, "Cari tahu siapa yang menempati kamar 1501 semalam."
Mendengar deretan angka itu, Kirana merasa sepasang kakinya langsung lemas, tak mampu bergerak sedikit pun!
Kepalanya berdenyut, sementara telinganya hanya menangkap suara Janna yang tiba-tiba menyahut dengan penuh semangat.
"1501? Pak Yansen, semalam Kirana yang menginap di kamar 1501!"