Webfic
Open the Webfic App to read more wonderful content

Bab 9 Nomor Ponsel Yansen

Kirana teringat kata-kata yang pernah diucapkan Yansen padanya. Pria itu bilang, dia bisa menanggung biaya pengobatan ibunya, bahkan mencarikan dokter terbaik! Sekarang, itu adalah satu-satunya pilihan yang tersisa! Kirana seperti orang gila mulai mencari nomor telepon teman SMP, untungnya dia menemukan satu, lalu memohon agar dirinya dimasukkan kembali ke grup WhatsApp kelas. Namun tidak disangka ... setelah dirinya keluar dari grup, Yansen juga keluar! [Apa sekarang ada yang bisa menghubungi Yansen?] Dia segera mengirim pesan itu ke grup, tanpa peduli orang-orang akan membicarakannya di belakang. Tak lama, teman sekelas mereka, Johan, membalas. [Eh? Bukannya dia masih ada di grup ini? Beberapa hari lalu aku masih lihat dia di sini, kenapa sekarang keluar?] [Keluar itu wajar 'kan? Sekarang dia kan Presdirnya Grup Feriawan, sudah jauh berbeda dari kita. Dengan orang-orang biasa macam kita, memang nggak banyak yang bisa dibicarakan.] [Haha, dengar deh nada iri kamu!] Obrolan di grup perlahan melenceng ke topik lain, membuat pesannya cepat tenggelam. Saat dia mengerutkan kening, sedang mencari cara lain, tiba-tiba ada seseorang di grup yang menandai namanya! [Kirana? Aku punya nomor telepon Yansen, tapi sudah bertahun-tahun nggak kontak lagi. Nggak tahu juga apakah dia sudah ganti nomor. Itu masih nomor yang dia berikan padaku waktu dia minta dimasukkan ke grup.] Yang membalas adalah ketua kelas saat SMP. Tidak lama kemudian dia mengirimkan nomor itu lewat pesan pribadi. Kirana merasa seperti mendapatkan harta karun, buru-buru menekan nomor itu. Namun yang terdengar justru suara dingin seorang perempuan. [Nomor yang Anda hubungi sedang tidak aktif ... ] Suara itu bagaikan seember air es, menyiram tepat di wajahnya, membuatnya seketika sadar. Bahkan grup WhatsApp itu pun langsung dia tinggalkan. Apa yang sedang dia lakukan? Benarkah dia menganggap kata-kata Yansen itu serius? Sudah ada seseorang di hatinya. Mungkin ketika dia mengusulkan pernikahan, itu hanya karena sedang bertengkar dengan kekasihnya, jadi hanya sekadar pelarian! Kenapa dia bisa melupakan jurang perbedaan yang menganga di antara mereka? Sekarang bahkan bertemu langsung pun tidak bisa, bagaimana dia bisa berkhayal bahwa setelah menolak, Yansen masih mau menolongnya? Kirana meletakkan ponselnya, lalu kembali masuk ke ruang ICU. Ibunya entah sedang tidur atau tidak sadar, begitu tenang hingga membuatnya takut. Di belakangnya, dokter memeriksa data medis Yunita, lalu menunduk sambil bertanya pelan, "Sudah dipikirkan? Apakah operasinya jadi dilakukan?" "Dokter, uangnya ... bisa dicicil ke rumah sakit nggak?" Suara Kirana serak dan kering, karena seharian tidak menyentuh air, bibirnya sampai pecah berdarah, tampak begitu menyedihkan. "Nggak bisa." Dokter Wangsa juga hanya bisa menghela napas. "Aku benar-benar ingin membantu, tapi kamu juga tahu kondisi ibumu. Ditambah kalian berdua nggak punya aset tetap, pihak rumah sakit nggak akan menyetujui operasi duluan. Harap kamu bisa mengerti." Semuanya diam. Sebenarnya, jawaban ini tidak membuat Kirana terkejut. Karena memang, dia benar-benar tidak punya apa-apa. "Pergilah makan sesuatu dulu. Biar aku yang jaga di sini sebentar. Malam ini ibumu harus tetap berada di ICU, kalau hanya kamu sendiri yang menjaga, jangan sampai malah kamu yang tumbang." Kirana mengangguk pelan, dan mengucapkan terima kasih. Namun, mana mungkin dia punya selera makan? Dia hanya membeli sebotol air mineral, dan saat hendak membayar dengan ponsel, nomor itu tiba-tiba menghubunginya kembali. Yansen! Kirana langsung menekan tombol jawab, "Yansen ... " "Halo, ini siapa?"

© Webfic, All rights reserved

DIANZHONG TECHNOLOGY SINGAPORE PTE. LTD.