Bab 2
Setelah menutup telepon, dia berjalan seperti mayat hidup kembali ke apartemen tempat dia tinggal bersama Adrian.
Dengan perasaan kosong, dia mulai membereskan barang-barangnya dan membuang semua hadiah yang diberikan Adrian kepadanya selama setahun terakhir. Kalung, gelang, boneka, lipstik ... semuanya masuk ke dalam tempat sampah.
Semua bukti manis yang dulu dia anggap berharga kini tampak seperti lelucon yang menyakitkan.
Saat dia membuang kalung terakhir, terdengar bunyi kunci di pintu.
Adrian? Tidak, yang masuk adalah Juan.
Dia meniru nada suara Adrian, tapi dengan nada yang lembut, "Raina, apa yang kamu buang?"
Raina menatap Juan dengan mata merah membara. Wajah Juan yang hampir sama persis dengan Adrian, hanya lebih muda dan berani, membuat hati Raina seperti tersobek kembali, sakitnya nyaris membuatnya tak bisa bernapas.
"Bukankah semua ini terlihat sangat familiar bagimu?" Suaranya dalam, disertai ejekan yang dingin.
Senyum Juan sempat kaku, lalu dia dengan cepat mengalihkan pembicaraan. "Kenapa matamu merah seperti itu? Karena masalah di forum tadi, ya? Jangan sedih ... aku sudah mengurus semuanya. Semua postingan sudah dihapus, dan nggak ada yang berani membicarakanmu lagi. Kalau beasiswanya hilang, ya sudah, kan baru semester tiga? Tahun depan kamu bisa coba lagi, atau kalau mau, nggak perlu kuliah lagi. Langsung saja gabung ke perusahaanku. Aku akan mengurusmu ... "
Hati Raina tersayat nyeri, hingga kukunya menekan telapak tangannya dengan kuat.
Dua kakak beradik itu sungguh pandai berpura-pura.
Tepat ketika dia hendak bersuara, Juan sudah memeluknya dengan santai, dan dagunya menyentuh puncak kepala Raina. "Sudah ... jangan menangis. Melihatmu menangis membuatku ikut sakit hati."
Aroma familiar pria itu menyelimuti tubuh Raina, sementara bibirnya mulai menempel lembut di lehernya. Tak lama, tangan Juan mulai menjelajah dengan cara yang tak pantas.
Biasanya, Raina akan merespons dengan malu-malu. Namun hari ini, tubuhnya terasa dingin membeku, dan perutnya seperti bergejolak tak karuan.
Dengan sekuat tenaga, dia mendorong Juan menjauh.
Juan terkejut karena dorongan tiba-tiba itu. Dia menatap Raina dengan sedikit heran, namun cepat-cepat menahan diri, dan bertanya dengan lembut, "Kenapa? Hari ini lagi nggak mau?"
"Aku lagi nggak enak badan," kata Raina sambil memalingkan kepala, suaranya serak.
Juan menatapnya beberapa detik, lalu tiba-tiba tersenyum. "Baiklah, aku akan mandi air dingin saja."
Juan tidak memaksanya, lalu berbalik masuk ke kamar mandi.
Raina terus bergerak dengan setengah sadar, membersihkan semua jejak yang mengingatkan pada mereka berdua hingga tak tersisa.
Setelah semuanya selesai, dia berbaring lelah di tempat tidur, membelakangi arah kamar mandi.
Tak lama kemudian, Juan keluar dari kamar mandi dengan tubuh masih basah, lalu berbaring di samping Raina.
Dia diam beberapa saat, namun masih tak bisa menahan diri. Dia pun meraih Raina dari belakang dan memeluknya, hingga bibir hangatnya mendarat di belakang telinga dan leher wanita itu.
Tubuh Raina menegang. Dia menahan diri, hingga dalam keadaan setengah sadar, dia mendengar Juan dengan suara serak mengucapkan sebuah nama.
"Nadya ... "
Hanya satu kata, tapi terasa bagai paku es yang menembus jantung Raina seketika. Raina tersentak sadar, dan seluruh darah di tubuhnya seakan berbalik arah.
Ternyata ... bukan hanya Adrian, bahkan Juan pun, setiap kali bersama Raina di ranjang, pikirannya justru tertuju pada Nadya.
Raina mendorongnya lagi dengan keras, suaranya bergetar hebat. "Aku sudah bilang ... hari ini aku benar-benar nggak enak badan!"
Juan tertegun melihat reaksi kerasnya. Sepertinya dia benar-benar menyadari bahwa emosi Raina sedang tidak stabil. Setelah terdiam sejenak, akhirnya dia menghela napas pasrah. "Baiklah, baiklah. Aku nggak akan mengganggumu lagi. Aku hanya akan memelukmu untuk tidur, nggak apa-apa, 'kan?"
Juan memang tidak bergerak lagi dan hanya memeluk Raina dari belakang.
Raina tetap kaku dalam pelukannya, air mata menetes membasahi bantal tanpa suara. Dia menahan rasa sakit dan mual yang luar biasa hingga larut malam sebelum akhirnya tertidur dengan lemas.
Saat terbangun keesokan paginya, sosok di sampingnya sudah tidak ada.
Dulu dia selalu merasa heran, kenapa Adrian tidak pernah pergi ke kampus bersamanya. Sekarang dia baru mengerti. Yang menemaninya di malam hari sebenarnya adalah Juan, sedangkan Adrian yang asli di siang hari sama sekali tidak tertarik untuk dekat dengannya.
Dia bangun dengan perasaan hampa, lalu mandi dan bersiap pergi ke kampus untuk mengurus prosedur pengunduran diri.
Begitu tiba di kampus, dan belum sempat sampai ke bagian akademik, seorang teman tiba-tiba berlari cepat menghentikannya. "Raina! Akhirnya kamu datang! Dosen pembimbingmu menyuruhmu segera ke kantornya, katanya ada hal penting!"
Hati Raina tiba-tiba terasa berat, dan ada firasat buruk yang menggelayuti dirinya.
Dia berjalan menuju kantor dosen pembimbing dan mengetuk pintu.
"Masuk," terdengar suara dari dalam.
Dia membuka pintu, dan ternyata Nadya juga ada di dalam ruangan.
Saat Nadya melihatnya, mata Nadya sesaat memancarkan kilasan kemenangan dan sindiran, lalu cepat-cepat kembali ke ekspresi manis dan terlihat rapuh.
Dosen pembimbing itu tampak sangat marah. Begitu melihat Raina masuk, dia tiba-tiba melemparkan dua naskah skripsi ke atas meja.
"Raina! Nadya! Kalian berdua jelaskan sekarang juga! Kenapa skripsi kalian hampir identik? Bahkan kesalahan penulisan pun sama persis! Plagiarisme adalah larangan keras di kampus! Sebagai manusia, seharusnya kalian menegakkan budi pekerti terlebih dahulu! Akui sekarang juga, siapa di antara kalian yang plagiat. Dengan begitu, pihak sekolah masih bisa mempertimbangkan hukuman yang ringan!"
Nadya segera angkat bicara, suaranya terdengar tersinggung namun tegas. "Pak, skripsi saya benar-benar saya tulis sendiri! Saya nggak tahu kenapa bisa begitu mirip dengan skripsi Raina, tapi saya benar-benar nggak plagiat!"
Raina menatap kedua naskah itu, dan hatinya terasa dingin. Namun dia tetap bersikukuh. "Pak, skripsi saya juga sepenuhnya saya kerjakan sendiri, saya nggak meniru siapa pun."
Dosen pembimbing itu mengusap dahi dengan frustrasi. "Semua bilang ini hasil kerja sendiri. Lalu mana buktinya?"
Nadya segera menjawab, "Pak, saya punya saksi!"
Pintu kantor kembali terbuka, dan Adrian melangkah masuk dengan langkah panjang.