Webfic
Open the Webfic App to read more wonderful content

Bab 8

Akhirnya, Adrian melaporkan Raina ke polisi dengan tuduhan penganiayaan. Dalam kondisi tubuh yang masih lemah setelah donor darah, Raina tak punya kekuatan untuk melawan dan langsung diseret ke ruang tahanan. Tiga hari di sana menjadi masa tergelap dalam hidupnya. Melihat sosoknya yang muda dan cantik, para tahanan lain tak segan-segan melampiaskan kekejaman. Pukulan, tamparan, cubitan, bahkan jambakan, semua itu menjadi rutinitas yang harus dia hadapi. Makanan tahanan yang bahkan sulit ditelan pun dirampas darinya. Tubuhnya dipaksa tersungkur di lantai yang kotor, menjadi sasaran penghinaan tanpa henti. Setiap tarikan napas terasa penuh darah dan keputusasaan, dan setiap detik berlalu seperti siksaan yang tak berujung. Rasa sakit fisik yang dia alami bahkan tak sebanding dengan kehancuran batin yang dia rasakan. Segala kebanggaan, harga diri, dan impian indah tentang masa depan yang dulu dia miliki, semuanya hancur, diinjak-injak hingga tak bersisa, menjadi debu yang tak berarti. Di titik itu, hidup terasa lebih menyakitkan daripada kematian. Setelah dengan susah payah bertahan hingga akhirnya dibebaskan, dia menyeret tubuhnya yang penuh luka kembali ke depan gedung apartemen. Baru saja mengeluarkan kunci, tiba-tiba leher belakangnya diserang rasa sakit yang tajam. Pandangannya langsung gelap, dan seseorang menutupi kepalanya dengan karung. Tak lama kemudian, hantaman besi berat menghujani tubuhnya seperti hujan deras. Sakit ... sungguh menyakitkan ... Dia dipukuli hingga muntah darah, setiap tulangnya seolah menjerit kesakitan, seakan bisa patah kapan saja. Dalam kesadarannya yang mulai mengabur, samar-samar dia mendengar suara yang sangat dikenalnya. Itu suara Juan. Seseorang bertanya dengan ragu, "Juan, bukankah soal rem mobil Nadya yang rusak sudah ditangani oleh Adrian? Kenapa kamu masih ... " Suara Juan terdengar dingin dan kejam, tanpa sedikit pun belas kasihan. "Kakakku adalah kakakku, aku adalah aku. Siapa pun yang berani menyentuh satu helai rambut Nadya, harus membayar sepuluh kali lipat lebih mahal. Ini baru permulaan." Begitu suara itu selesai terdengar, Raina merasakan mulut karung di kepalanya dibuka dengan kasar, menyisakan celah kecil. Dalam sekejap, beberapa benda dingin, licin, dan menggeliat dilemparkan masuk, dan langsung melilit leher serta lengannya. Desis tajam terdengar begitu dekat dengan kulitnya. Itu adalah ular, makhluk yang paling dia takuti. Ketakutan luar biasa mencengkeram jantungnya, membuatnya nyaris tak bisa bernapas. Dia berusaha keras meronta, tapi tak ada suara yang keluar dari tenggorokannya. Mulut karung kembali diikat rapat. Detik berikutnya, tubuhnya diangkat ke udara, lalu dilempar dengan kasar. Dia dilempar ke dalam sungai yang sangat dingin. Air sungai menyusup masuk ke hidungnya, membuatnya tersedak dan nyaris tak bisa bernapas. Ketakutan dan rasa sesak menenggelamkannya sepenuhnya. "Tolong ... tolong aku ... " Entah sudah berapa lama, ketika dia mengira dirinya pasti mati, dia baru diangkat kembali oleh seseorang, seperti sampah yang dibuang di jalan terpencil. Saat mulut karung dibuka paksa. Raina langsung terbatuk hebat dan memuntahkan air berlumpur dari paru-parunya. Pandangannya kabur, dan dunia di sekelilingnya seperti berputar. Seluruh tubuhnya basah kuyup, luka-luka di tubuhnya terasa perih luar biasa karena terendam air dingin terlalu lama. Giginya bergemeletuk, tubuhnya menggigil hebat. Dengan sisa tenaga terakhirnya, dia menyeret dirinya keluar dari karung, merangkak di atas aspal yang dingin dan kasar. Hujan deras mengguyur wajahnya, bercampur dengan air mata yang tak bisa dia tahan lagi. Dia berusaha keras untuk bangkit, namun pandangannya tiba-tiba gelap dan kesadarannya kembali menghilang sepenuhnya. Saat dia membuka mata lagi, dia sudah terbaring di ranjang rumah sakit, tubuhnya lemah dan masih menggigil. Seorang perawat yang melihatnya sadar hanya berkata dengan nada datar dan tanpa emosi, "Kamu sudah bangun? Silakan urus pembayaran biaya pengobatan." Raina memaksakan diri turun dari ranjang, tubuhnya masih lemah dan gemetar. Dia menahan sakit sambil berpegangan pada dinding, melangkah perlahan menuju loket pembayaran. Namun saat berbelok di koridor, dia justru berpapasan dengan Adrian dan Juan yang baru saja keluar dari ruang VIP. Keduanya tampak terkejut melihatnya dalam kondisi seperti itu. Adrian yang pertama angkat bicara dengan alis berkerut, "Kamu ... kenapa kamu ada di rumah sakit?" Tatapan Adrian menyapu tubuh Raina yang mengenakan pakaian pasien, dengan memar-memar yang tampak jelas di kulitnya. Raina tak mengucapkan sepatah kata pun. Matanya hanya terpaku pada pria yang berdiri di samping Adrian yang wajahnya nyaris identik, namun auranya sangat berbeda. Juan. Ekspresi Adrian sedikit berubah, lalu dia memperkenalkan dengan nada tenang, "Ini adikku, Juan Wijaya. Dia baru saja kembali ke negara ini dan datang untuk menjenguk Nadya." Kemudian dia menoleh ke Juan dan berkata, "Juan, ini Raina. Dia ... pacarku." Juan langsung menampilkan senyum sempurna khas pertemuan pertama, lalu menyapa dengan sopan, "Halo, Raina." Melihat dua pria itu memainkan sandiwara di hadapannya, Raina tiba-tiba tertawa pahit hingga air mata mengalir tanpa bisa dibendung. Adrian dan Juan memandangi tawa tak wajar itu, dan entah kenapa, keduanya merasakan sekelebat rasa tak nyaman yang sulit dijelaskan. Adrian mengernyit, dan berkata dengan suara dingin dan tegas, "Kalau masa tahananmu sudah selesai, anggap ini pelajaran. Mulai sekarang, bersikaplah baik. Jangan pernah sakiti Nadya lagi." Tepat saat itu, seorang perawat keluar dari kamar Nadya dan mengatakan sesuatu. Tanpa ragu, Adrian dan Juan langsung berbalik masuk ke dalam, tak satu pun dari mereka menoleh ke arah Raina lagi. Namun Raina segera mengangkat tangan dan menyeka air matanya dengan kasar. Saat itu juga, ponselnya berdering. Itu panggilan dari pihak kampus. [Raina, semua proses pengunduran diri kamu sudah selesai.] "Baik, terima kasih," jawab Raina dengan suara datar, tanpa emosi. Dia menutup telepon, kembali ke apartemen, dan dengan tenang serta cepat membereskan barang-barangnya yang hanya sedikit. Tanpa menoleh lagi, dia langsung menuju bandara dan menaiki penerbangan menuju negeri asing. Dua minggu telah berlalu. Di bawah perawatan penuh perhatian dari Adrian dan Juan, Nadya akhirnya pulih dan keluar dari rumah sakit. Pada saat yang sama, kuota untuk program beasiswa pun diumumkan, dan seperti yang sudah diduga, nama yang terpilih adalah Nadya. Nadya begitu gembira dan memeluk lengan Adrian dengan penuh semangat. "Adrian, kamu luar biasa! Aku mau langsung adakan pesta untuk merayakannya. Kamu dan Juan wajib datang ya!" Melihat Nadya yang melangkah pergi dengan riang, Juan menyikut kakaknya dan berkata dengan nada bercanda yang sarat makna. "Kak, beasiswa itu kan sudah dikasih ke Nadya. Jadi ... seharusnya kamu putus saja dengan Raina, 'kan? Tapi sebelum kalian benar-benar putus, boleh nggak aku tidur dengannya sekali lagi? Setelah ini, aku mungkin nggak akan punya kesempatan lagi." Mendengar ucapan itu, entah kenapa, Adrian merasa sedikit tidak nyaman. Hampir tanpa berpikir, dia langsung berkata dengan dingin, "Memangnya ... dia seenak itu?" Juan terkekeh pelan. Matanya memancarkan kenangan yang jelas-jelas tak disembunyikan. "Tentu saja enak. Rasanya ... Kak, sayang sekali kamu belum pernah coba. Kalau sudah, aku jamin kamu akan ketagihan." Wajah Adrian seketika mengeras, rona dingin menutupi seluruh ekspresinya. Api amarah yang tanpa sebab jelas kembali membakar di dadanya, makin lama makin kuat, membuat pikirannya kacau. Namun, dia tidak menunjukkan emosi lain selain suara rendah yang dingin. "Aku akan suruh dia tunggu di apartemen malam ini." Dia mengeluarkan ponselnya, mencari nomor Raina, lalu menekan panggilan. Namun dari seberang sana, yang terdengar bukan suara perempuan itu, melainkan nada datar dari mesin penjawab otomatis. Begitu pesan mekanis itu berakhir, wajah Adrian langsung menjadi kelam dan mengerikan. Juan yang ada di sebelahnya segera menyadari ada yang tidak beres. Dia mencondongkan tubuh, bertanya dengan nada heran, "Ada apa, Kak?" Adrian menatap layar ponselnya dengan tatapan tajam dan gelap, lalu berkata dengan suara rendah menahan amarah. "Dia ... memblokirku?"

© Webfic, All rights reserved

DIANZHONG TECHNOLOGY SINGAPORE PTE. LTD.