Bab 1
Saat berusia 20 tahun, Elena menikah dengan Steven yang menderita autisme.
Selama lima tahun pernikahan mereka, Steven seperti patung es yang tidak pernah bisa hangat. Pria itu menetapkan tiga aturan tanpa syarat untuknya, yaitu tidak boleh berbicara, tidak boleh menyentuh, apalagi berhubungan badan.
Ketika gempa bumi melanda, Elena tanpa sadar melindungi Steven dengan tubuhnya,
Namun, Elena hanya bisa menyaksikan sang suami melindungi gadis lain dengan hati-hati, lalu melarikan diri dari reruntuhan tanpa menoleh padanya sedikit pun.
Elena terbangun di rumah sakit dengan tubuh penuh luka. Hal pertama yang dilakukannya adalah mencari Steven dengan terhuyung.
Namun, tepat pada saat itu, Elena mendengar gadis itu membujuk dengan suara lembut.
"Steven, aku hanya tergores sedikit saja, benar-benar nggak apa-apa. Istrimu sepertinya terluka parah ... apakah kamu nggak mau menjenguknya?"
Setelah keheningan singkat, suara Steven yang dingin menusuk terdengar menembus pintu dengan jelas.
"Aku nggak menyukainya."
"Hidup matinya juga nggak ada hubungannya denganku."
Pada saat itu, hati Elena benar-benar mati rasa.
Jadi, ketika Kakek Derin terburu-buru datang ke rumah sakit, Elena hanya menatapnya sambil mengajukan satu permintaan.
"Kakek, tolong izinkan aku bercerai dengan Steven!"
...
Kakek Derin terpaku, sementara ekspresi heran muncul di wajahnya yang dipenuhi kerutan. "Elena, kenapa tiba-tiba .... Apakah bocah sialan itu menindasmu lagi?"
Elena menundukkan pandangan, tetapi tidak menjawab.
Menindas ....
Apakah sikap dingin Steven yang konsisten selama belasan tahun ini bisa dianggap sebagai penindasan?
Elena tidak memiliki orang tua sejak kecil. Dia tumbuh di panti asuhan.
Ketika berusia 8 tahun, Kakek Derin membawanya kembali ke Keluarga Sutanto.
Pria tua itu memberi tahu Elena bahwa Steven menderita autisme, tidak suka berbicara, serta tidak mau berkomunikasi dengan orang lain. Kakek Derin sudah tua, dia takut tidak ada yang merawat cucunya setelah dia meninggal. Jadi, dia membawa Elena pulang, memberinya sebuah keluarga, sekaligus sandaran di masa depan.
Elena pun menjadi calon istri Steven!
Sejak masih kecil, Elena tahu bahwa dirinya kelak akan menikah dengan Steven.
Jadi, meskipun Steven tidak pernah menatapnya, tidak pernah berbicara dengannya, bahkan mengabaikan semua kebaikannya, Elena tetap mengikutinya tanpa mengeluh. Elena belajar merawatnya, serta mengurus kebutuhan hidup sehari-harinya.
Saat penyakit Steven kambuh, pria itu akan membanting barang-barang, bahkan melukai dirinya sendiri. Elena-lah yang akan memeluknya tanpa takut dengan bahayanya. Saat Steven menolak untuk makan, Elena berkali-kali menghangatkan makanan, serta membujuk dengan suara lembut. Ketika Steven menolak kontak dengan orang lain, Elena yang perlahan membimbingnya.
Tahun demi tahun, Elena mencurahkan seluruh tenaga dan masa mudanya untuk mengurus Steven.
Elena melihat kondisi Steven berangsur membaik. Meskipun Steven tetap acuh tak acuh, setidaknya pria itu bisa menjalani kehidupan normal, bahkan mengambil alih perusahaan keluarga.
Elena berpikir bahwa kehidupan mereka akan terus berlanjut seperti ini. Meskipun Steven selamanya seperti es yang tak bisa dihangatkan, Elena akan menerimanya.
Hingga perjamuan bisnis itu.
Jessica Yuwono muncul dengan mengenakan gaun putih bersih, tampak seperti peri yang tak sengaja tersesat ke dunia manusia.
Untuk pertama kalinya, pandangan Steven begitu terfokus pada seseorang, bahkan tidak bisa berpaling lagi.
Steven bahkan mengucapkan kalimat lengkap dengan instruksi jelas kepada Elena untuk pertama kalinya, "Lepaskan selendangmu dan berikan padanya. Dia kedinginan."
Pada saat itu, hati Elena seperti tertusuk jarum.
Elena diam-diam melepaskan selendangnya, lalu melihat pria itu menyelimutkannya pada Jessica dengan hati-hati. Tatapan lembut di matanya adalah sesuatu yang tak pernah dilihat Elena sebelumnya.
Sejak saat itu, dunia Steven seakan hanya terbuka untuk Jessica.
Steven akan tersenyum pada Jessica, mendengarkannya berbicara dengan sabar, bahkan akan mengumpulkan barang-barang langka dari seluruh dunia hanya karena Jessica mengatakan dia menyukainya. Steven akan meninggalkan rapat penting hanya karena panggilan telepon Jessica, serta akan menunjukkan kegelisahan yang jarang terjadi saat Jessica mengernyit.
Semua ini adalah hal yang Elena dambakan sepanjang masa mudanya, tetapi tak pernah dia dapatkan.
Dalam gempa bumi kali ini, Steven juga melindungi Jessica tanpa ragu, lalu pergi meninggalkan Elena dalam bahaya.
Bahkan setelah Elena terluka, Steven mengatakan hidup dan mati Elena tidak ada hubungannya dengannya.
Akhirnya Elena benar-benar mengerti bahwa ada hal-hal yang tidak bisa didapatkan melalui usaha semata.
Misalnya saja cinta, misalnya saja hati Steven.
Setelah merawat dan mendampingi Steven selama puluhan tahun, ternyata dirinya di hati Steven tidak sebanding dengan Jessica yang baru hadir selama tiga bulan.
Elena menarik napas dalam-dalam, menahan rasa perih di matanya.
Elena berkata, "Kakek, kejadian hari ini mungkin sudah Kakek ketahui. Saat gempa, dia melindungi Nona Jessica dan berhasil menyelamatkan diri. Tadi di depan pintu aku mendengar sendiri Steven berkata kalau dia nggak menyukaiku, hidup matiku nggak ada hubungannya dengannya."
"Hubungan yang dipaksakan nggak akan berbuah manis. Lagi pula, Steven juga nggak menyukaiku, bahkan membenciku. Jadi, bercerai akan lebih baik untuk kami."
Kakek Derin mengerutkan kening, menghela napas panjang, lalu berkata, "Tapi Elena ... selama ini kamu yang merawat Steven. Kalau tiba-tiba mengganti orang, aku takut dia ...."
"Kakek." Elena langsung memotong dengan nada suara yang mengandung ejekan penuh kelelahan, "Kakek juga melihat sendiri, bukankah kondisinya setelah bertemu dengan Nona Jessica menjadi lebih baik dari sebelumnya? Dia bisa tersenyum, bisa peduli pada orang lain, bisa mengekspresikan emosinya. Mungkin ... meninggalkanku adalah pilihan yang lebih baik untuknya. Nona Jessica sepertinya lebih bisa membuka hatinya."
Pria tua itu terdiam.
Dia mengingat perubahan cucunya akhir-akhir ini. Semua itu memang karena kemunculan Jessica.
Pria tua itu terdiam lama, lalu akhirnya menghela napas panjang. Dia seolah menua beberapa tahun dalam sekejap. "Baiklah. Karena kamu sudah memutuskan, Kakek ... akan menghormati keputusanmu."
...
Setelah beristirahat dua hari di rumah sakit, Elena kembali ke rumah yang sudah dijaganya selama lima tahun.
Dia langsung masuk ke kamar tidur, lalu mengambil sebuah dokumen dari bagian terdalam laci samping tempat tidur.
Surat Perjanjian Cerai!
Tanda tangan Steven sudah tertulis dengan rapi di pojok kanan bawah.
Ketika melihat tulisan tangan yang tidak asing sekaligus dingin itu, dada Elena tidak bisa menahan rasa nyeri.
Selama lima tahun pernikahan, pria itu sangat membencinya.
Setiap kali ada sedikit ketidakpuasan, atau hanya karena Elena terlalu banyak memperhatikannya hingga membuatnya jengkel, pria itu akan melemparkan surat cerai yang sudah ditandatangani dengan wajah dingin, lalu menyuruh Elena pergi.
Awalnya, setiap menerima surat ini Elena akan bersembunyi di kamar dan menangis diam-diam selama beberapa hari, lalu merobeknya di hadapan Steven. Elena mengatakan pada dirinya sendiri untuk bertahan sedikit lagi, bahwa Steven akan membaik.
Kemudian, setelah hal ini terjadi berkali-kali, hati Elena perlahan mati rasa. Dia tidak lagi merobeknya.
Terakhir kali Steven melemparkannya, Elena menerimanya dengan sangat tenang, lalu diam-diam menyimpannya.
Tanpa diduga, ini ternyata berguna.
Elena mengambil pena, membubuhkan goresan demi goresan di bagian tanda tangan pihak kedua, menandatangani dengan sungguh-sungguh.
Elena Wijaya!