Bab 12
"Aku takut sekali ... aku nggak mau masuk ke air. Lepaskan aku, kumohon ... lepaskan aku!" Dia menggenggam tangan Stanley erat‑erat, air matanya jatuh tanpa henti.
"Nggak mungkin. Kalau ada yang harus pergi, tentu itu Hanna." Suara Stanley dalam, matanya sulit ditebak.
Hanna berbaring di ranjang sebelah, tubuh dan pikirannya sudah benar‑benar lelah.
Pintu dua kamar itu dibiarkan terbuka lebar, dan niat Stanley bisa terlihat jelas.
Perasaan hampir mati itu masih jelas teringat, dadanya seperti diguncang gempa oleh rasa putus asa.
Perut bawahnya kejang‑kejang, seluruh tubuhnya panas dan gatal seperti dirayapi semut.
Hanna, kamu benar‑benar seperti sebuah lelucon.
"Kamu sudah bangun." Entah berapa lama berlalu, tangisan di dalam ruangan perlahan mereda.
Suara yang familier terdengar. Stanley menggigit sebatang rokok, menatapnya dari atas dengan dingin.
"Mari kita bicara."
Jantungnya terasa berdenyut-denyut, Hanna akhirnya membuka mulut, terdengar suaranya yang serak. "Aku nggak mendorongnya."
Tak disangka, Stanley mengembuskan lingkaran asap rokoknya. "Aku tahu. Aku tahu pasti semua yang terjadi beberapa hari ini."
"Kamu tahu?! Lalu kenapa ... " Mata Hanna membesar, tak bisa menahan rasa kagetnya.
Kenapa dia berpura‑pura tidak melihat semua yang dilakukan wanita itu, tapi justru menyiksa istrinya sendiri?
Semua rasa sakit, kepedihan, dan ketidakadilan yang dia tanggung ... tangisannya di dalam air yang sunyi ... semua itu dianggap apa?
Rasa mual menyerang perutnya. Hanna tak tahan lagi dan menutup mata, mencoba menahan pusing yang datang bergelombang.
"Karena kamu sudah melampaui batas." Ujung rokok yang membara menempel pada kulit yang sudah terbakar di tangan Hanna. Dia terkejut menegang kesakitan dan segera menarik tangannya.
"Akhir‑akhir ini aku terlalu memanjakanmu, sampai kamu lupa bagaimana seharusnya bertindak sebagai Nyonya Sentana."
"Aku memberimu kemewahan dan kedudukan, bukan supaya kamu tampil di depan umum sebagai pembawa acara dan berani berteriak padaku."
"Kamu masuk ke ruang kerjaku tanpa izin, nggak mengikuti aturan sebagai Nyonya Sentana. Sheila adalah orang yang kubawa, tapi kamu justru menekannya terus menerus. Aku sudah kasih kamu banyak kesempatan, berharap kamu sadar bahwa seorang Nyonya Sentana harusnya berbesar hati dan rendah hati. Tapi kamu malah makin menjadi‑jadi."
Stanley memandangi Hanna yang sampai meneteskan air mata karena rasa terbakar itu. Senyumnya keji. "Kalau nggak dikasih pelajaran, kamu akan terus nggak tahu diri dan melupakan aturan Keluarga Sentana."
Kata‑kata menjijikkan keluar dari mulut kekasih masa mudanya itu. Menahan rasa mual, Hanna merasa wajah tampan dalam ingatannya kini makin asing.
"Kamu dulu nggak seperti ini." Dia menutup mulutnya, pandangannya kabur. "Dulu kamu bilang paling suka dengan sifatku yang bebas ... tapi sekarang ... kenapa kamu berubah jadi begini, begitu kolot dan menjijikkan?"
"Apa gunanya kebebasan? Yohan sangat bebas, bebas sampai hilang kabar sama sekali, lalu orang tua itu justru menyalahkanku! Kebebasan murahan, nggak berharga dan memalukan."
"Memaksamu menjadi Nyonya Sentana juga demi kebaikanmu. Kalau saja kamu bisa mengerti sedikit, kita nggak akan sampai sejauh ini."
"Aku bukan Nyonya Sentana. Aku bukan mainan yang bisa kamu atur sesuka hati. Aku adalah Hanna, satu‑satunya."
Stanley seperti mendengar lelucon, bibirnya tersenyum mengejek. "Sejak hari kamu menikah denganku, di rumah ini kamu hanya punya satu identitas, Nyonya Sentana. Dulu aku hanya membiarkan kamu manja sesuka hati."
Hujan rintik‑rintik mulai turun di luar.
Hanna keluar dari ruang kerja dengan tatapan kosong, seperti mayat hidup yang berjalan.
Tubuhnya sakit luar biasa, tapi dia seakan tidak merasakannya sama sekali.