Webfic
Open the Webfic App to read more wonderful content

Bab 6

"Dan tadi kamu bilang mau janjian dengan Seno? Kenapa? Apa kamu menyesal?" Jennie sangat takut dengan hal ini. Dia tahu lebih baik dari siapa pun bahwa Vivian hanya kelihatannya saja tegas. Di dalam hatinya, dia masih menyimpan penyesalan dan rasa bersalah kepada Seno. Tapi, apakah itu sisa-sisa kasih sayang atau sesuatu yang lebih, Jennie tidak yakin. Lagi pula, Seno di masa lalu memang sangat baik kepada Vivian dan seluruh keluarga Marva. Tapi Vivian hanya menggelengkan kepala, menunjukkan ekspresi dingin. "Aku sebelumnya terlalu lembut, jadi Seno nggak sadar betapa bedanya dia dan aku. Mengakhirinya seperti ini saja terlalu mudah bagi Seno." "Jennie, tahukah kamu cara paling efektif untuk membuat seseorang benar-benar jera?" Jennie menggelengkan kepala. "Apa?" "Membuatnya putus asa." Vivian berkata dengan penuh kedinginan. "Dulu, perbedaan antara kami nggak terlalu besar, tapi tiba-tiba jadi sebesar jurang. Dia ingin mengejarku, tapi pada akhirnya kesulitan, jadi cuma bisa menerima kelemahan diri dan nggak berani bicara lagi. Inilah yang disebut putus asa." "Aku ingin Seno benar-benar paham, dia cuma semut kecil di hadapanku, mantan napi yang memalukan." Jennie mengangguk dengan tegas. "Benar, kita harus membuatnya ingat pelajaran ini. Membuatnya benar-benar rendah diri, biar nggak berani mengangkat kepalanya lagi. Cuma dengan cara itu dia bisa lihat dirinya dengan jelas, lalu hidup dalam penyesalan dan penderitaan." "Vivi, kamu benar-benar hebat." Mendengar pujian itu, Vivian bersandar dengan bangga, membayangkan bagaimana keadaan Seno nanti. Pria itu pasti akan menyesal, menyadari bahwa tidak seharusnya dia meremehkan Vivian, apalagi berani menyakiti David. Tepat pada saat itu, telepon berdering. Melihat nama penelepon, Vivian mengerutkan kening. Setelah berpikir sejenak, dia mengangkat telepon. "Wah, kenapa Nona Gracia yang terhormat ini tiba-tiba meneleponku?" Suara perempuan yang lembut dan sedikit gugup terdengar dari ujung telepon. "Vivian, aku ... Aku nggak bermaksud mengganggumu. Aku cuma mau tanya, Seno sudah keluar dari penjara? Kamu sudah bercerai dengannya?" Mendengar Gracia Yevari menyebut nama Seno dengan nada yang begitu lembut, mata Vivian tiba-tiba menjadi suram. Perasaan tidak enak menyelimuti hatinya, seolah ada orang yang mengincar barang kesayangannya. "Sejak kecil, kamu selalu mengikutiku, mengambili barang-barang yang kubuang. Sekarang kamu masih mengais-ngais barang-barangku." "Lagi pula, apa maksudmu tanya-tanya? Keadaan Seno ataupun perceraian kami, apa hubungannya denganmu? Jangan lupa, kamu sudah punya tunangan. Keluargamu sudah menjualmu. Kamu harusnya menerima nasib dan jadi budak suamimu sampai mati. Berhenti berkhayal." Di ujung sana, mata Gracia meredup saat mendengar kata bertunangan. Setelah sejenak diam, dia menjawab. "Aku memang nggak berhak tanya, tapi aku tetap ingin tahu. Tolong beri tahu aku. Aku nggak akan melakukan apa-apa." "Seno itu laki-laki terbaik di dunia. Aku nggak mau kamu menyakitinya. Tolong perlakukan dia dengan baik. Kalau kamu kehilangan dia, kamu benar-benar akan menyesal." Bahkan sekarang, Gracia masih berusaha meyakinkannya. Meski sudah bertunangan, dia masih setia pada Seno. Ini membuat Vivian langsung marah. "Gracia, urus saja urusanmu sendiri, jangan ikut campur urusanku. Apa hubungannya denganmu Seno itu laki-laki baik atau bukan? Kalau kamu kasihan, sana lindungi dia. Cari dia sendiri. Kenapa tanya aku?" "Aku beri tahu yang sebenarnya. Kami sudah bercerai. Aku jadi penasaran, apa kamu berani membantu Seno?" "Aku sudah mengingatkanmu. Kamu tahu keadaan Keluarga Yevari. Kalau sampai Tuan Muda Bimo tahu, kamu akan dipukuli sampai mati. Seluruh Keluarga Yevari bisa musnah bersamamu." Vivian lalu menyebutkan alamat dan nomor telepon kepada Gracia dengan provokatif. Vivian yakin Gracia tidak berani membantu Seno. Setelah menutup telepon, pelipis Vivian sudah dipenuhi urat menonjol, hampir meledak. "Gracia! Bertahun-tahun dia menggoda Seno, dan sekarang masih nggak mau melepaskannya? Dasar nggak tahu malu." Jennie di sampingnya menghela napas. Dia merasa bahwa reaksi Vivian agak berlebihan. Bagaimanapun juga, Vivian dan Seno sudah bercerai. Seno bahkan melakukan hal sekejam itu. Kalau dia berhasil digoda Gracia, itu justru bisa menjadi bukti bagi mereka untuk mengendalikannya. Tapi sikap Vivian sekarang, bukankah sama saja seperti cemburu buta? "Vivi, kamu sekarang harusnya senang. Kamu memang mau putus total dengan Seno, 'kan? Kamu juga khawatir dia akan terus mengejarmu. Kalau dia benar-benar tergoda Gracia, itu bukan hal buruk bagi kita." "Apa katamu?" Vivian langsung marah. "Perceraianku dengan Seno itu urusan kami. Kalaupun aku memberi pelajaran kepada Seno, itu nggak ada hubungannya dengan Gracia. Atas dasar apa dia mengomentariku? Terutama waktu dia menyuruhku menghargai apa yang aku miliki. Sungguh memuakkan." "Walaupun sudah bercerai, Seno tetap mantan suamiku. Siapa Gracia? Sok suci menceramahiku, padahal dia sendiri yang nggak tahu malu. Sudah tunangan, tapi masih melirik laki-laki yang sudah menikah." Jennie merasa sedikit frustrasi, merasa bahwa Vivian masih belum bisa melepas Seno. Mungkin tidak akan bisa lepas. Sekejam apa pun kata-katanya sekarang, bayangan Seno masih mengendap di hati Vivian. Mungkin Vivian hanya belum menyadarinya saja. Tapi saat ini, mata Jennie berkilau dengan tekad yang dingin. Dia tidak akan membiarkan Vivian menghentikan rencananya, dan tidak boleh membiarkan Vivian menyesal. Jika Vivian berhenti, dirinya sendiri akan dalam masalah. Jika Vivian menyesal bercerai dengan Seno, maka kesempatannya untuk sukses akan hancur. Mengingat dua hal ini, Jennie sama sekali tidak mengizinkan Vivian menyesal sedikit pun. Bahkan meski harus menjadi musuh. "Ya, Vivi, kamu benar. Gracia itu busuk dan nggak tahu malu. Pura-pura suci, padahal dirinya sendiri yang paling munafik." "Waktu keluarganya masih kaya dulu, dia repot-repot memberi kita bantuan kecil. Padahal cuma buat memuaskan kesombongannya. Dia jelas-jelas memperlakukan kita seperti pengemis." Jennie dan Vivian membicarakan berbagai kesalahan Gracia. Jennie sendiri tidak ada apa-apanya. Dia merantau ke kota dari desa, memulai dengan pekerjaan bergaji rendah. Sering kelaparan dan bahkan dilecehkan. Seno mengenali potensinya dan merekomendasikannya menjadi sekretaris Vivian. Dia awalnya sangat minder. Pada saat itu, Gracia sering datang untuk menghiburnya, memberinya semangat, dan sering membantunya diam-diam agar tidak melukai harga dirinya. Sekarang, di mulut Jennie, Gracia malah disebut sok suci. Mendengar apa yang dikatakan Jennie, Vivian mengepal tinjunya dengan erat, geram sampai menggertakkan giginya. "Vivi, jangan marah dulu. Yang harus kita lakukan sekarang sebenarnya membiarkan Gracia bertemu Seno. Nanti, apa pun yang mereka lakukan, bukankah semuanya bisa kita atur dengan mudah?" "Kamu tahu sifat Tuan Muda Bimo. Apa mungkin dia bisa melepaskan Seno dan Gracia begitu saja? Gracia pasti akan hidup sangat sengsara. Kalau kamu nggak mau dua keluarga mereka menderita, kamu juga bisa muncul sebagai penyelamat." Mendengar itu, Vivian mengerutkan alisnya dan melemparkan pandangan penuh arti kepada Jennie.

© Webfic, All rights reserved

DIANZHONG TECHNOLOGY SINGAPORE PTE. LTD.