Webfic
Open the Webfic App to read more wonderful content

Bab 18

Ucapan Risa itu .... Seolah menuduh mereka datang hanya untuk meminta uang. Siska buru-buru menjelaskan, "Bu Risa, kita satu keluarga. Jangan ngomong biaya pengobatan segala, itu terkesan asing. Aku hanya berharap kalian bisa membantuku menegur anak ini, supaya dia minta maaf sama kakaknya." Risa tidak menanggapi, dia malah menoleh ke Sania dan berkata, "Sania, kamu sudah melakukan hal yang benar. Menantu Keluarga Lutanza nggak boleh dirugikan dan difitnah." "Memang harus bikin orang lain tahu, kita bukan orang yang gampang diinjak! Dengan begitu, kalau mereka mau menjatuhkanmu lagi, mereka akan berpikir dua kali." Wajah ibu dan anak itu langsung berubah seperti palet cat yang penuh campuran warna. Mereka menatap Risa dengan ekspresi tidak percaya. Mereka tidak menyangka sikap Risa akan seperti ini! Ini ... ini terlalu memihak! Sania tersenyum ceria. Pembelaan Risa seperti aliran hangat yang merambat ke seluruh tubuhnya. Dia tidak lagi sendirian. Ada seseorang yang berdiri di sisinya dan mendukungnya. Hanna sedikit tidak berdaya, tapi karena Risa sudah bicara, dia tidak mungkin membantah. Dia pergi sebentar dan ketika kembali, dia meletakkan selembar cek di depan Siska. Siska terdiam saat melihat cek di atas meja. Saat ini, Risa bertanya, "Masih ada urusan lain?" Dia jelas berniat mengusir tamu. Wajah Siska kaku sesaat sebelum akhirnya dia berkata, "Bu Risa, Besan, kami pamit. Cek ini kalian ambil kembali. Kami nggak mungkin menerimanya." Setelah itu, dia menatap Luna. "Luna, mari kita pulang." Luna berdiri dengan wajah pucat. Dia membungkuk sopan ke arah Risa dan Hanna, lalu mengikuti Siska keluar. "Edi ...." Risa memanggil pengurus rumah. Pengurus rumah segera masuk. Siska dan Luna baru saja keluar dari gerbang rumah tua ketika mereka dipanggil. Pengurus rumah tersenyum dan menyelipkan cek itu ke tangan Siska. "Nyonya Besar bilang, terima uang ini dan anggap masalahnya selesai. Ke depan, dia nggak berharap mendengar siapa pun membicarakan kejadian ini lagi." Setelah berkata begitu, sebelum Siska sempat bicara, dia berbalik dan pergi. Siska yang memegang cek itu terlihat sangat kesal. Biaya pengobatan apanya! Terus terang saja, itu uang tutup mulut! Siska datang ke sini hari ini karena berharap Keluarga Lutanza akan membenci Sania. Dia juga berharap Bu Risa dan Bu Hanna bisa lebih memperhatikan Luna. Namun tidak disangka, akhirnya justru jadi seperti ini! Siska menggigit bibirnya. "Bu Risa benar-benar berat sebelah! Sudah begini pun masih membela Sania!" Dia menoleh ke arah Luna dan menghela napas. "Kalau saja dulu yang disukai Bu Risa itu kamu, alangkah bagusnya. Sekarang, yang jadi nyonya muda Keluarga Lutanza pasti kamu." Mendengar itu, Luna menundukkan kepala. Bulu matanya yang panjang menutupi emosi di dalamnya. Benar! Kenapa Sania bisa begitu beruntung, sampai disukai oleh Bu Risa. Memikirkan ucapan Risa barusan, hatinya dipenuhi rasa iri dan kecemburuan terhadap Sania. Menjadi menantu Keluarga Lutanza, memang memberi keberanian sebesar itu. ... Di dalam rumah tua Keluarga Lutanza, Hanna memandang Risa. "Ibu, terlepas dari Luna mau memfitnah Sania atau bukan, tapi dia sengaja menyiram orang dengan sup dan itu salah. Anda ...." Risa memotong ucapannya. "Apa yang Sania lakukan nggak salah. Orang lain sudah menindas begitu, kalau nggak lawan, apa harus menelan penghinaan itu begitu saja?" Selesai berkata begitu, dia menggenggam tangan Sania dan menepuknya dengan penuh kasih. "Sania, Nenek dukung kamu. Kita nggak boleh terima perlakuan seburuk itu." Sania mengangguk dan tersenyum manis. "Terima kasih, Nenek." Setelah menemani Risa mengobrol sebentar, Sania naik ke lantai atas. Begitu kembali ke kamar, ekspresinya langsung menggelap. Dia tidak pernah menyangka, Siska akan datang langsung dan mengadukannya di depan nenek serta ibu mertuanya! Apa dia tidak terpikir, mengatakan hal-hal buruk tentang dirinya di depan pihak keluarga suami justru bisa membuat posisinya makin sulit? Atau jangan-jangan itu memang tujuannya? Saat memikirkan itu, dada Sania terasa semakin nyeri. Huh ... itu adalah ibu kandungnya. Sania menarik napas panjang, menatap langit-langit, memaksa air matanya agar tidak jatuh. ... Sore harinya, penata rambut dan penata rias datang ke rumah untuk mendandani Sania. Eric duduk di sofa lantai bawah sambil terus melihat jam, wajah tampannya terlihat tidak sabar. Dia mengerutkan kening, lalu berkata pada pengurus rumah, "Paman Edi, suruh mereka cepat sedikit." Tapi pengurus rumah hanya tersenyum. "Pak Eric, wanita memang butuh waktu lebih lama untuk berdandan. Anda tunggu dengan sabar saja. Percayalah, nanti kalau Bu Sania turun, pasti akan membuat Anda terpukau." "Cih!" Eric mencibir dingin, jelas tidak percaya. Saat itu juga, terdengar suara dari lantai atas. Lalu suara pengurus rumah terdengar. "Itu dia, Bu Sania sudah turun." Eric berdiri, merapikan jasnya dan berbalik. Dia mengangkat pandangannya dengan malas, sekedar melirik Sania yang sedang turun tangga. Namun sekali lihat, pupil Eric langsung menyempit sedikit. Sania mengenakan gaun pesta berwarna biru tua dengan tali tipis. Desainnya yang ketat menonjolkan lekuk tubuhnya dengan sempurna. Kulitnya seputih salju, sampai membuat mata silau. Di bawah ujung rok berumbai, tampak jelas sepasang kaki jenjang yang indah. Rambut biru abu-abunya disanggul longgar, rambut di sisi kanan kiri dibiarkan jatuh, belah tengahnya diubah menjadi poni rata yang membuat wajah mungilnya terlihat makin kecil. Riasannya sangat rapi dan di bawah ujung mata kiri, tepat di samping tahi lalatnya ditempelkan beberapa butir mutiara kecil yang menjadi sentuhan akhir sempurna. Harus diakui, malam itu Sania benar-benar cantik memukau. Ketika Sania mengangkat kepala, pandangannya bertemu dengan mata Eric. Hari ini Eric juga sangat memukau, membuat orang sulit mengalihkan pandangan. Setelan jas hitam yang pas badan membuat tubuhnya terlihat tinggi dan tegap. Fitur wajahnya tegas, seperti karya pemahat hebat yang sempurna di setiap detail. Di bawah alis dinginnya, sepasang mata yang panjang, hidung mancung, dan bibir tipis yang sangat cocok untuk dicium. Mendapati Eric menatapnya tanpa berkedip, wajah Sania memanas, jantungnya ikut berdebar cepat. Saat sadar kemudian, Eric justru merasa sedikit kesal. Dia bahkan sampai terpana melihat Sania. Dengan alis berkerut, suaranya rendah dan serak, "Ayo." Setelah berkata begitu, dia langsung berjalan lebih dulu tanpa menunggu Sania. Dalam perjalanan menuju lokasi pesta, mereka berdua tidak berbicara sepatah kata pun. Sesampainya di depan Hotel Berline, mereka turun dan masuk bersama. Baru ketika sampai di depan pintu, Eric menekuk lengan dan memberi isyarat pada Sania. Sania paham, lalu menggandeng lengannya. Mereka masuk bersama. Begitu mereka melangkah masuk, seluruh ruangan yang tadinya riuh langsung hening.

© Webfic, All rights reserved

DIANZHONG TECHNOLOGY SINGAPORE PTE. LTD.