Webfic
Open the Webfic App to read more wonderful content

Bab 6

Ada kalanya, Sania benar-benar tidak mengerti kenapa ibunya sama sekali tidak menyukainya. Saat dia berusia satu tahun, Siska membawanya keluar bermain dan karena sedikit lengah, dia diculik oleh pedagang manusia. Katanya, waktu itu Siska sangat sedih dan dipenuhi penyesalan bahkan beberapa kali mencoba mengiris pergelangan tangannya! Karena tidak ingin melihat Siska terus terpuruk, ayah Sania akhirnya mengadopsi seorang putri dari panti asuhan, berharap anak itu bisa menemani Siska dan mengalihkan perhatiannya. Anak itu adalah Luna. Saat Sania berusia 19 tahun, dia ditemukan kembali, sementara Luna telah tinggal dalam keluarga itu selama delapan belas tahun! Dia tidak pernah berniat untuk menggantikan posisi Luna di hati Keluarga Ravan saat kembali ke rumah. Tapi kenapa bahkan kepercayaan paling dasar saja tidak diberikan kepadanya? Apakah hidupnya memang ditakdirkan memiliki hubungan keluarga yang renggang? Luka di dahinya terasa nyeri. Namun yang lebih sakit adalah hatinya .... Dahinya terluka, tapi ibu kandungnya bahkan tidak menanyakan keadaannya sama sekali. Di hati Siska, yang ada hanyalah Luna. Tidak tahu setelah berapa lama berlalu, barulah Sania bisa menenangkan diri. Dia mengambil cermin dari tas, melihat dirinya yang tampak sangat lelah, lalu tiba-tiba membuat sebuah keputusan. Dia menarik napas, mengusap sisa air mata, menyalakan mesin, lalu mengemudikan mobilnya pergi. ... Sore hari, Sania menerima telepon dari Eric. "Ada apa?" Mendengar suara Sania yang agak dingin, alis Eric sedikit bergerak. Dia tidak berbelit-belit, langsung ke inti persoalan. "Nenek suruh kita pulang ke rumah tua untuk makan malam. Jam enam, ketemu di tempat biasa." Mendengar itu, Sania tidak bisa menahan senyum sinis. Yang disebut tempat biasa adalah kaki gunung di rumah tua. Nenek sering meminta mereka pulang makan, tapi Eric tidak pernah menjemputnya. Setiap kali, dia meminta Sania menunggu di kaki gunung pada jam yang ditentukan, lalu naik mobil Eric ke rumah tua. Dengan begitu, Nenek akan mengira mereka datang bersama. Dulu, Sania bersedia kompromi dan menemaninya bersandiwara. Tapi sekarang .... "Nggak usah, kita pergi masing-masing," katanya dingin, lalu langsung menutup telepon. Eric di ujung sana, "?" Dia ditolak Sania? Karena kantor sangat tenang, percakapan mereka terdengar jelas oleh orang lain di ruangan itu. "Ck, ck! Nggak disangka, kamu bahkan bisa ditolak Sania?" Suara orang itu merdu, tapi terdengar mengejek. Pria itu berwajah tampan, dengan rambut keriting merah marun. Duduk santai di sebelah Eric sambil menggoyangkan kaki yang disilang. Dari tubuhnya memancarkan kesan cuek dan santai. Pria itu adalah adik kandung Eric, Kevin Lutanza. Eric menyimpan ponselnya, menoleh sedikit ke arahnya dan bertanya datar, "Kenapa kamu ke sini?" Kevin duduk lebih tegak dan bertanya dengan antusias, "Aku melihat status yang diunggah Gavin, Kak Riska sudah kembali?" "Hmm." Kevin tersenyum lebar. "Dua tahun, akhirnya Kak Riska kembali!" Dia berhenti sejenak, lalu melirik Eric lagi dan bertanya, "Kakak, bagaimana kamu mengurus hubungan kalian?" "Dulu kalian pasangan yang membuat orang iri! Kalau bukan karena Sania, mungkin sekarang kamu dan Kak Riska sudah menikah." "Menurutku, cepat bercerai dengan Sania, lalu menikahi Kak Riska. Kalian sudah kenal sekian tahun. Dulu, kalau bukan karena Kak Riska menyelamatkanmu dari kebakaran itu, mungkin kamu sudah tiada." "Jangan katakan hal lainnya dulu, hanya buat balas budi itu saja, kamu pantas menikahinya!" Mendengar itu, Eric tersenyum tipis dan berkata datar, "Sania sudah tanda tangan surat cerai." Kevin terpaku. "Apa? Sania mana mungkin mau bercerai denganmu? Dia sangat mencintaimu." Ekspresi Eric tetap tenang, hanya sorot matanya terselip ejekan dingin. Yang Sania cintai adalah uangnya. Belum sempat Eric bicara lagi, Kevin kembali berkata, "Tapi bagus juga kalau cerai. Dulu Nenek yang memaksamu menikahinya. Kamu juga nggak ada perasaan padanya." "Pulang." Eric tidak ingin melanjutkan topik itu. Dia berdiri dan keluar. Kevin langsung menyusul. ... Rumah tua Keluarga Lutanza. Begitu mobil Kevin masuk ke halaman vila, terdengar suara mesin keras dari belakang. Mendengar itu, Kevin langsung bersemangat dan berkata pada Eric, "Kakak, cepat berhenti!" Eric menghentikan mobil. Kevin turun dengan cepat. Dari suara mesinnya saja, dia tahu itu bukan mobil biasa. Dia ingin melihat siapa pemiliknya. Tidak jauh dari situ, sebuah motor besar hitam melaju ke arah mereka. Dengan suara "ciiit", motor itu berhenti tepat di depan pintu vila. Kemudian, sebuah kaki jenjang menurunkan standar motor. Kevin berjalan mendekat dengan penuh rasa ingin tahu. Begitu mendekat, barulah dia sadar kalau pengendaranya ternyata seorang wanita! Bagian atas tubuhnya mengenakan jaket kulit hitam beraksen paku, sepasang kaki panjangnya dibalut celana pensil hitam, dengan sepatu bot berwarna hitam. Wanita itu mengulurkan tangan, melepas helm hitamnya. Satu tangan memeluk helm, tangan lain merapikan rambut panjangnya yang lembut. Rambut berwarna biru abu-abu itu berkilau di bawah cahaya matahari, mencolok dan memukau. Dipadukan dengan potongan rambut poni rata dan dua helai rambut lurus di kedua sisi, dia tampak begitu keren dan menawan. Wajah Kevin langsung penuh kekaguman. Namun dia sangat kaget saat melihat wajah wanita itu! Kevin mengangkat tangan, menunjuk wanita itu dengan ekspresi tidak percaya. "Kamu ... kamu ... kamu ...." Mungkin karena terlalu terkejut, Kevin tidak bisa mengucapkan satu kalimat lengkap. Wanita itu hanya meliriknya sekejap. Tatapannya itu serasa arogan. "Sania!!" Kevin akhirnya berhasil memanggil nama Sania. Sania tidak menggubrisnya sama sekali. Dengan gerakan sangat santai, dia turun dari motor besar itu, satu tangan memeluk helm, sambil melangkah ke arah vila. Saat berjalan melewati Kevin, dia bahkan tidak berhenti sama sekali, melewatinya seolah dia tidak ada. Begitu tersadar, Kevin buru-buru berlari kecil menuju Eric. "Kakak! Kamu lihat nggak? Itu Sania! Ternyata Sania!" Nada suaranya penuh ketidakpercayaan. Mata panjang Eric sedikit menyipit. Emosi di dalamnya sulit ditebak. Dia membuka pintu mobil dan turun dan berkata dengan suara datar, "Ayo." Begitu mereka masuk ke pintu gerbang vila, terdengar suara ibu mereka, Hanna, sedang menegur Sania. "Sania ... dandanan apa ini? Warna rambutmu, benar-benar nggak pantas!" "Kalau kamu keluar rumah seperti ini, bagaimana orang lain menilai Keluarga Lutanza? Mana ada putri keluarga terpandang tampil begini?"

© Webfic, All rights reserved

DIANZHONG TECHNOLOGY SINGAPORE PTE. LTD.