Webfic
Open the Webfic App to read more wonderful content

Bab 9

Begitu pintu terbuka, angin kencang menerpa masuk, membuat wajah Sania semakin pucat. "Apa yang kamu lakukan?" Begitu kalimat itu berlabuh, Sania sudah melompat keluar tanpa ragu! "Brak!" Tubuhnya jatuh dan berguling berkali-kali di jalan, sampai cukup jauh baru berhenti. Sania terbaring di jalan, meringis menahan sakit dan wajahnya semakin pucat. "Ciiit!" Suara rem nyaring terdengar, sopir menghentikan mobil dan turun untuk menangkapnya. Melihat sopir turun, Sania langsung panik. Dia berusaha bangkit, tapi rasa sakit membuatnya tidak punya tenaga. Wajah mungilnya dipenuhi rasa putus asa. Apakah hari ini dia benar-benar akan mati di sini? Pada saat inilah .... "Tit, tit, tit!" Klakson mobil berbunyi. Ada mobil datang dari belakang dan tidak hanya satu. Melihat situasi itu, sopir menggertakkan gigi dan terpaksa kembali masuk mobil, lalu kabur. Salah satu pengemudi turun dan menghampiri Sania dan bertanya, "Nona, kamu nggak apa-apa?" Sania belum sempat menjawab. dia langsung pingsan. ... Saat sadarkan diri, Sania merasa sekujur tubuhnya sakit. "Kamu sudah bangun?" Sebuah lembut seorang wanita terdengar. Sania mengangkat mata dan melihat seorang polisi wanita berseragam. Dia berusaha bangun. "Jangan bangun dulu, tubuhmu terluka." Polisi itu menahannya. Setelah berhenti sejenak, dia melanjutkan, "Tangan kirimu terkilir, kakimu juga keseleo dan ada banyak memar jaringan lunak. Untungnya kepalamu nggak apa-apa. Kamu berbaring saja, jangan bergerak." "Baik." Sania mengangguk pelan. "Sekarang aku perlu membuat laporan. Bisa ceritakan detail kejadiannya?" tanya polisi. Sania menarik napas dan menceritakan semuanya dari awal sampai akhir. Setelah selesai menulis laporan, polisi berkata, "Baik, kami sudah paham. Kalau ada perkembangan, kami akan menghubungimu lagi. Kalau kamu teringat hal lain, kamu juga bisa hubungi kami." "Baik." "Lukamu cukup parah. Sebaiknya hubungi keluarga supaya ada yang menjagamu." Polisi itu mengingatkan sebelum pergi. "Aku tahu. Terima kasih." Sania mengangguk. "Sama-sama." Setelah polisi pergi, hanya Sania seorang diri di kamar rawat. Kesunyian memenuhi ruangan, perasaan tidak berdaya menyelimuti seluruh tubuhnya Saat ini, dia benar-benar sangat merindukan Eric. Tidak tahu apa yang mendorongnya, dia mengambil ponsel dan menelepon Eric. Ponsel berdering cukup lama sebelum diangkat. "Halo, Eric, kamu ...." Namun perkataannya terputus oleh suara dari seberang. "Kenapa kamu mencari kakak iparku?" Mendengar suara itu, wajah Sania sedikit berubah. Kakak ipar? Hanya satu orang yang bisa memanggil Eric begitu .... Adik kandung Riska, Rania Silva. Sania mengatupkan bibirnya, suaranya serak. "Kasih Eric teleponnya." Rania malah tertawa pelan. "Kak Eric sedang memijit kakakku! Dia nggak sempat angkat, jadi menyuruhku tanya kenapa kamu mencarinya." Genggaman Sania pada ponsel mengencang. Setelah terdiam sebentar, dia langsung memutus sambungan. Melihat Sania menutup telepon begitu saja, sudut bibir Rania terangkat. Tepat saat ini, pintu kamar mandi terbuka dan Eric keluar. Melihat Rania sedang memegang ponselnya, alis Eric langsung berkerut. Dalam sekejap, Rania menemukan ide. "Kak Eric, barusan ponselmu bunyi. Aku bantu angkat. Telepon dari Sania. Dia suruh kamu telepon kembali." Dia berhenti sebentar, lalu menambahkan sambil menyerahkan ponsel pada Eric. "Oh ya, dia juga bilang kalau kamu nggak telepon balik, dia mau telepon Nenek Risa." Dia tahu dari Kevin kalau Eric bisa keluar karena Sania yang membantu. Wajah Eric langsung menggelap begitu mendengarnya. Eric tidak bicara, mengambil ponsel dan menekan nomor Sania. Saat melihat nama Eric muncul di layar, wajah Sania langsung berubah terlihat senang. Sania menjawab, "Halo." "Cepat ngomong!" Suara Eric dari seberang begitu dingin dan tidak sabar. Hati Sania langsung tenggelam. Dia ragu sebentar dan akhirnya berkata, "Eric, aku sekarang ada di rumah sakit, kamu bisa ...." Ucapan Sania belum selesai tapi sudah dipotong Eric. "Sania, kamu main drama apa lagi?" "Rumah sakit? Kenapa? Kamu pikir aku akan meninggalkan Riska demi kamu?" Wajah Sania langsung memucat. Perkataan Eric seperti pisau paling tajam yang menusuk jantungnya. Bibir merahnya terbuka sedikit, refleks ingin menjelaskan, "Aku nggak bohong ...." "Cukup! Aku lagi sibuk. Kalau kamu mau pakai Nenek untuk mengancamku, lakukan saja!" Eric langsung menutup telepon, tanpa menunggu Sania bicara. Mendengar nada sibuk dari ponsel, Sania tiba-tiba tertawa. Semakin lama tertawa, air matanya tumpah. Hasil seperti ini, seharusnya sudah bisa dia duga, bukan? Kenapa harus telepon dan mempermalukan dirinya sendiri? Dia seharusnya sudah sadar .... Dia tidak seharusnya punya harapan apa pun terhadapnya lagi .... Sania mengendus, mengulurkan tangan menghapus air matanya. Dia tidak ragu lagi, langsung mengirim pesan pada Eric, [Besok pagi jam sepuluh, ketemu di depan Kantor Catatan Sipil.] Eric tidak membalas, tapi Sania tahu dia sudah melihatnya. Setelah itu, dia menghubungi Harvey dan mengatakan kalau penandatanganan kontrak ditunda ke lain hari. Setelah mendapat balasan dari Harvey, barulah Sania meletakkan ponselnya dan memaksa dirinya tidur. Entah karena tubuhnya terlalu sakit atau bagaimana, sampai lewat jam tiga pagi barulah dia terlelap. ... Keesokan harinya. Gedung Times. Dengan bunyi "ding", pintu lift terbuka. Luna keluar sambil menggandeng lengan Siska. Sambil berjalan, Luna bertanya dengan gelisah, "Ibu, benar-benar bisa berhasil? Atau kita batalkan saja? Produser Harvey bilang dia sudah punya kandidat yang cocok. Kalau kita datang lagi, kesannya akan kurang bagus." "Apanya yang kurang bagus?" Siska sama sekali tidak peduli. Dia mendengus. "Bukankah Sania bilang dia teman Produser Harvey, 'kan? Kalau begitu, kita pakai saja namanya, suruh dia pilih kamu. Sekalian lihat, Sania bohong apa nggak!" Mendengar itu, Luna terdiam. Dengan memakai nama Sania, mereka memang sangat mudah naik ke lantai atas dan tiba di depan kantor Produser Harvey. "Tok, tok, tok." "Masuk." Setelah dapat izin, Siska membuka pintu dan melangkah masuk. Saat melihat orang yang datang, dahi Harvey langsung berkerut dan bertanya dengan nada tidak ramah, "Nona Luna, kenapa kamu ke sini?"

© Webfic, All rights reserved

DIANZHONG TECHNOLOGY SINGAPORE PTE. LTD.