Bab 9
"Oh? Benarkah?" katanya sambil melangkah mendekatiku satu langkah.
Aku kaget dan ingin menarik tanganku, tapi tangan Devan tetap menggenggam erat, dan aku tak bisa melepaskannya.
Secara refleks aku mundur selangkah, hingga punggungku menyentuh tepi meja, dan kakiku tak sengaja menendang kursi hingga terdengar bunyi berderit.
Suara Marcel juga terdengar saat itu. "Bu Melia juga guru matematikaku waktu di kelas satu. Kakak, mungkin kamu pernah bertemu dengannya saat itu."
Devan mengangkat alisnya dan tersenyum tipis, hampir tak terlihat. "Bisa jadi."
Kata-kata itu terasa sangat penuh makna, dan tatapan matanya ke arahku sama sekali tak berkurang.
Telapak tanganku berkeringat karena gugup. Melihat genggamannya sedikit longgar, aku segera menarik tanganku dengan kuat.
"Em ... aku agak haus. Aku akan ke lantai bawah untuk mengambil segelas air."
Aku mencari alasan untuk keluar dari tempat yang membuatku sesak ini, tetapi Devan malah menggeser langkahnya sedikit dan berdiri menghalangiku.
Lalu dia menatap Marcel dengan nada sedikit marah. "Masih bengong di situ?"
Marcel segera menyadarinya. "Oh, ya, ya, maaf Bu Melia, Ibu mau minum teh, air putih, atau yang lain?"
"Aku ... "
"Bu Melia suka minum teh? Aku baru saja dapat jenis teh yang cukup bagus, dan katanya bisa membantu tidur. Dilihat dari lingkar mata Ibu yang agak gelap, pasti selama ini pekerjaan Ibu menumpuk dan kurang istirahat, 'kan?"
Meskipun Devan berbicara dengan suara lembut, entah kenapa aku merasa ada makna terselubung di balik ucapannya.
Karena dia sudah mengatakan begitu, aku pun tak enak menolak. Jadi aku tersenyum dan mengangguk setuju.
Melihat aku mengangguk, Marcel langsung bersemangat berlari turun. "Kakak, temani Bu Melia ngobrol sebentar, aku segera kembali."
Melihat Marcel menghilang di luar pintu dan dengan sopan menutupnya, aku langsung ingin menangis tapi tak ada air mata.
Aku menatap Devan. Tubuhnya yang tinggi besar seperti sebuah gunung membuatku terjepit di depan meja. Aku tak bisa mundur, dan tak ada jalan untuk melarikan diri.
"Profesor ... Devan, aku ... boleh ke jendela sebentar untuk bernapas?"
"Hmm? Panggilan 'Profesor Devan' ini terdengar begitu familier ya, Bu Melia."
Devan berkata dengan nada menggoda sambil melangkah mendekatiku. Dalam sekejap, dia hanya berjarak beberapa inci dariku. Wajah tampannya seolah membesar tepat di depanku, mata kami bertemu, dan jantungku berdegap kencang tak terkendali.
Tubuhku benar-benar terjepit di tepi meja. Secara refleks aku mengangkat tangan untuk menahan dada pria itu, hingga tubuhku sedikit miring ke belakang. "Jangan ... jangan mendekat, aku ... aku nggak bisa bernapas."
Dia menunduk pelan dan berkata, "Apa aku benar-benar membuatmu takut, Bu Melia? Tapi semakin aku melihat matamu, semakin aku teringat pada orang yang kukenal."
Aku menggigit bibir. "Bukankah Marcel sudah bilang? Mungkin kamu pernah melihatku dua tahun lalu, makanya terasa familier."
Devan menatapku dengan tatapan lembut, suaranya rendah dan hangat. "Tapi aku baru beberapa hari lalu bertemu seseorang yang matanya persis seperti matamu, bening dan berkilau, seperti mata rusa kecil."
Bibir Devan yang tipis dan berwarna pink muda, berpadu dengan suara lembut dan dalam yang terdengar di telingaku, membuatku merasakan geli yang menggoda.
Devan mendekat lagi, wajah tampannya hampir menempel di wajahku. Bibir kami hanya berjarak beberapa inci, persis seperti malam itu.
Aku merasa gugup sampai tergagap. "Profesor Devan, apa kamu selalu menyambut tamu di rumahmu seperti ini?"
Tiba-tiba senyum di wajah Devan hilang, digantikan ekspresi serius.
Aku mulai merasa terancam saat dia melangkah lebih dekat. Tubuhnya menempel padaku, tangannya menahan pinggangku, dan tangan lainnya mengangkat daguku, memaksaku menatap matanya langsung.