Bab 1
Aleya sudah bekerja di Benua Afrido selama tiga tahun untuk proyek bantuan. Dia akhirnya melunasi utang suaminya sebesar enam miliar dan kembali ke tanah airnya, Negara Indina.
Akan tetapi, pada hari pesta penyambutan Aleya, suaminya, Haris, justru hadir dengan wanita lain.
Haris membantu membawakan tas dan jaket wanita itu, gesturnya tampak begitu natural. Putra Aleya dan Haris yang berusia lima tahun juga memeluk wanita itu dan memanggilnya "Bibi Lena" dengan akrab.
Haris mengernyit melihat ekspresi muram Aleya. "Malena adalah ahli gizi yang sengaja kupekerjakan untuk Aldi. Kamu jangan begitu cemburuan."
Sambil berusaha menahan air matanya, Malena Omata pun berkata dengan sedih, "Nona Aleya, aku akan mengundurkan diri besok."
Malam harinya, Aleya hendak kembali ke kamar tidur setelah mandi. Tiba-tiba, dia mendengar suara Haris yang sedang menelepon dari kamar anak mereka.
[Kali ini Kak Aleya rencananya akan tinggal berapa lama?]
Putra mereka pun berseru, "Aku nggak mau Ibu pulang! Kalau Ibu pulang, berarti Bibi Lena akan pergi!"
Haris terkekeh pelan, "Kalau begitu, kali ini aku akan berutang lagi 20 miliar supaya dia tinggal di Benua Afrido selama sepuluh tahun. Bagaimana?"
...
Aleya merasa seperti tersambar petir.
Cukup lama dia berdiri diam di tempat.
Belum sempat dia memahami makna kalimat itu, telepon sepertinya sudah ditutup dan disusul dengan suara lugu putra mereka.
"Ayah, apa Ayah akan menemani Ibu tidur? Kalau Bibi Lena tahu, bukannya dia akan merasa nggak senang?"
Napas Aleya tercekat, debaran jantungnya yang begitu kencang seolah menggema dalam telinganya.
Apa maksud kata-kata itu seperti yang dia pikirkan?
Sayangnya, Aleya tidak bisa mendengar dengan jelas apa yang diucapkan Haris selanjutnya.
Aleya buru-buru melarikan diri ke kamar tidur.
Di saat napasnya yang tersengal belum reda, pintu kamar tidur sudah didorong perlahan.
Sepasang tangan besar dengan lancar menyusup ke balik gaun tidur Aleya.
Seharusnya, Aleya merasa bergairah dengan sentuhan familier yang sudah tiga tahun tidak dia rasakan ini.
Telapak tangan Haris yang kasar membelai pinggang Aleya, napas hangat pria itu menyembur di sisi leher Aleya. Bibir dan lidah Haris yang lembut menggoda daun telinga Aleya.
Aleya memejamkan mata sambil menggertakkan giginya, berusaha bersikap acuh tak acuh.
Haris pun tertawa. "Dasar bodoh. Setiap kali kamu pura-pura tidur, bulu matamu selalu nggak berhenti bergetar."
Aleya tetap tidak membuka matanya. Dia hanya bergeser sedikit ke pinggir tempat tidur dan berujar dengan nada datar, "Aku lelah sekali, lain kali saja."
Akan tetapi, tubuh Haris langsung menempel pada Aleya seolah-olah ada magnet di sana.
Ciuman Haris merambat turun secara perlahan dari daun telinga Aleya. "Kamu baring saja, Sayang, serahkan sisanya padaku ... "
Walaupun mereka sudah tiga tahun berpisah, Haris masih sangat mengenal setiap jengkal kulit Aleya.
Godaan Haris yang bertubi-tubi itu meruntuhkan akal sehat Aleya.
Begitu tubuh mereka saling menyatu, mereka berdua pun menghela napas puas dengan kompak.
Memang benar Haris begitu merindukan Aleya.
Saat hampir mencapai puncaknya, Haris menekan pinggang ramping Aleya dan terengah-engah memerintah, "Panggil aku."
Aleya yang dilanda kenikmatan hasrat pun memanggil dengan lembut, "Sayang."
Haris tidak bisa menahan rasa puasnya, dia membuka mulutnya dan merespons.
" ... Lena Sayang."
Aleya sontak mematung.
Dia membeku seolah-olah habis tersiram air dingin.
"Ada apa?" Haris juga berhenti dan menatap Aleya dengan gelisah.
Aleya segera menarik diri seolah-olah habis tersakiti, lalu mengernyit menatap Haris. "Kamu memanggilku apa tadi?"
Haris mengerjapkan matanya dan menjawab dengan ekspresi yang biasa saja, "Lea Sayang."
Aleya menarik napas dalam-dalam dan berujar dengan nada tegas, "Yang kamu panggil tadi Lena."
Setelah beberapa kali ekspresi Haris berubah, ekspresi akhirnya menunjukkan rasa tidak sabar. "Aleya, kita sudah beberapa tahun berpisah. Aku senang sekali kamu pulang. Tolong kamu jangan langsung cari masalah."
Aleya tahu betul ini adalah ekspresi marah Haris karena ketahuan.
Hati Aleya langsung terasa berat. Dia menarik selimut dan berbalik badan tanpa mengatakan apa-apa lagi.
"Kamu sengaja merusak suasana, ya?"
Aleya memejamkan matanya rapat-rapat dan tidak menghiraukan perkataan Haris.
Haris akhirnya keluar dari kamar dan membanting pintu tertutup.
Keesokan paginya, Aleya terbangun oleh keributan di luar pintu.
Di ruang makan, Haris sedang bersandar di sofa sambil minum kopi dan membaca berita keuangan di ponselnya.
Putra mereka, Aldino Utomo, juga sudah berganti pakaian dan sedang asyik memakan telur mata sapi.
Di dapur, sesosok tubuh ramping nan elok tampak sedang sibuk.
"Ibu." Aldino-lah yang pertama kali melihat Aleya.
Sikap anak itu sedikit lebih baik daripada pesta penyambutan kemarin, tetapi samar-samar masih menjaga jarak.
Haris pura-pura tidak mendengar dan menatap layar ponselnya dengan serius.
"Nona Aleya." Malena membawa semangkuk mi keluar. "Apa Nona mau sarapan?"
Aleya melirik putranya yang tampak waspada dan mengiakan dengan nada datar.
Aldino merasa lega karena ibunya tidak mengusir Malena, jadi dia kembali mengunyah telurnya.
"Bawakan saja sarapanku ke ruang kerja, aku masih harus membalas pesan terkait pekerjaan."
Malena memandang Aleya dengan kikuk. "Ini untuk Pak Haris, lambungnya kurang sehat."
Aleya menarik napas dalam-dalam. "Kalau begitu, tolong buatkan satu mangkuk lagi untukku."
Malena memandang Haris.
Haris bahkan tidak mengangkat alisnya. "Kamu lakukan saja sesuai perintah istriku."
Mata Malena sontak terbelalak lebar seolah-olah dia merasa sangat kecewa.
Melihat sikap Haris yang teguh, Malena akhirnya mengiakan setelah beberapa lama.
"Ah!"
Tidak sampai lima menit kemudian, tiba-tiba terdengar teriakan dari dapur, diikuti suara berisik panci dan piring yang terbalik.
Aleya yang sedang mandi buru-buru keluar untuk melihat apa yang terjadi.
Pergelangan tangan Malena tampak memerah dan melepuh seolah habis terbakar.
Malena menggigit bibirnya keras-keras, air mata yang menggenangi pelupuk matanya hampir menetes jatuh. Malena tampak begitu menyedihkan.
"Ibu jahat!" Begitu melihat Aleya, Aldino langsung menerjang dan memukul ibunya dengan kedua tangannya yang kecil.
Wajah kecilnya terlihat sangat marah. "Kalau bukan karena Ibu memaksa mau makan mi, Bibi Lena nggak akan terluka! Ibu jahat!"
Pukulan demi pukulan itu membuat hati Aleya terasa sakit.
"Aku akan mengantarnya ke rumah sakit dulu."
Haris menggendong Malena dengan gaya bak tuan putri sambil melirik Aleya dengan dingin.
Aldino berlari mengikuti mereka sambil menangis.
Rumah yang sudah tiga tahun Aleya tinggalkan itu tampak berantakan.
Aleya mendadak merasa lelah.
Dia akhirnya mengeluarkan ponselnya dan memencet serangkaian angka yang seharusnya tidak akan pernah dia hubungi.
Saat menunggu panggilan itu diangkat, rasanya lama sekali. Ketika Aleya mengira nomor yang sudah belasan tahun tidak dia hubungi itu sudah mati, telepon pun diangkat.
Suara pria yang sudah renta dan berwibawa terdengar dari ujung telepon sana, ada sedikit nada gembira tersirat di dalamnya. "Lea?"
"Ayah, aku setuju," jawab Aleya dengan tenang.