Webfic
Open the Webfic App to read more wonderful content

Bab 1 Dia Berkata, Aku Sudah Tua

Namaku Felicia Kumala, dulu aku adalah seorang selebgram kecil yang menjual pakaian. Kini aku pensiun ke balik layar, memiliki studio sendiri yang mendesain pakaian untuk memasok berbagai toko daring milik para selebgram. Hari ini, sahabatku Linda mengadakan acara peluncuran kecil untuk produk kosmetik yang dia kembangkan, serta memintaku datang untuk membantu. Beberapa tahun belakangan ini dia memiliki usaha kecil dengan jaringan yang cukup bagus. Dia ingin memperluas skala usahanya, meningkatkan kualitas, serta menarik investor. Oleh karena itu, dia rela mengeluarkan modal besar untuk mengadakan acara peluncuran produk baru di hotel mewah yang terkenal di Kota Bana. Aula pesta tampak gemerlap dan mewah. Gelas saling beradu, orang-orang saling bersulang. Yang hadir kebanyakan adalah selebgram yang saling membawa teman untuk mengisi acara. Tentu saja ada juga beberapa anak orang kaya yang datang untuk mencari mangsa. Ini adalah pertama kalinya aku kembali setelah enam tahun. Rasanya aneh sekaligus tidak asing. Linda sibuk dari awal sampai akhir. Kami adalah sahabat karib yang pernah berbagi suka dan duka, yang bisa membicarakan tentang apa saja. Kali ini tugas utamaku adalah membantunya menyambut tamu, memperkenalkan produk, serta mengawasi pengeluaran hotel. Aku sibuk sampai tidak sempat bernapas. Bahkan aku baru menyadari bahwa di sampingku ada seorang pria berpenampilan rapi yang sedang membantuku. "Namaku Kelvin Sujiwa. Sepertinya aku belum pernah melihatmu, apa kamu teman Linda?" tanya pria itu dengan senyuman saat ada waktu luang. "Aku nggak tinggal di Kota Bana. Kali ini aku sengaja datang hanya untuk membantu Linda," jawabku sambil mengangguk sopan. Acara hampir mendekati akhir. Ini sudah pukul sebelas malam lebih. "Felicia, kamu sudah sibuk seharian, minumlah segelas jus." Kelvin membawa dua gelas jus, satu untuknya dan satu untukku. Aku memang agak haus. Aku menerimanya sambil berkata, "Terima kasih atas bantuanmu malam ini." "Nggak perlu sungkan. Aku dan Linda berteman, sementara kamu juga teman Linda, sudah seharusnya aku membantu," balas Kelvin. Setelah meminum jus, sebagian besar orang sudah pulang. Kelvin bertanya, "Bagaimana kamu akan pulang nanti? Kamu menginap di mana? Apa kamu ingin aku mengantarmu?" "Nggak perlu, aku hanya menginap semalam. Besok pagi aku akan kembali ke kotaku," ucapku sambil merasakan pandanganku sedikit kabur. Mungkin ini karena aku terlalu lelah. Sudah lama aku tidak bergadang seperti ini. "Permisi, aku ke toilet dulu." Aku berjalan melewatinya dengan sempoyongan untuk menuju toilet di sisi aula. Aku membuka pintu untuk masuk. Sebelum aku bisa menyalakan keran air, kepalaku terasa makin pusing. Aku hampir tidak bisa berdiri tegak meski sudah berpegangan pada meja wastafel. "Kenapa? Apa kamu merasa nggak enak badan?" Aku tidak menyadari bahwa Kelvin ternyata mengikutiku masuk, langsung memegang lenganku. Aku mengerutkan kening sambil berusaha melepaskan diri diam-diam. Dalam hati aku merasakan sebuah firasat buruk, langsung ingin menelepon Linda. Namun, aku menyadari bahwa aku tidak bisa membuka ponselku. Tenagaku seperti sudah menghilang. Pria itu hanya tersenyum sambil menatapku yang terus mencoba membuka ponsel. "Siapa yang ingin kamu telepon? Apa kamu ingin aku membantumu?" tanya Kelvin dengan nada menggoda. "Kamu .... Apa ini karena jus yang kamu berikan?" Aku tidak menyangka orang yang tampak sopan seperti ini ternyata memiliki pemikiran yang segelap ini. "Ya, aku memberikan sedikit sesuatu! Malam ini temani aku ke kamarku, oke?" Kelvin tertawa dengan sombong, menyelipkan kartu kamar di dadaku dengan penuh percaya diri! Sepertinya dia sudah menaklukkan banyak wanita dengan trik seperti ini. Aku menghalau tangannya, menggigit bibir dengan erat agar aku tetap tersadar. "Sepertinya kamu salah paham. Aku nggak berminat!" Di lingkaran industri ini ada berbagai macam orang. Tidak sedikit di antaranya yang menggunakan tubuh sebagai senjata untuk menaiki tangga kesuksesan. "Sebutkan saja hargamu. Berapa banyak uang yang kamu inginkan?" Kelvin tertawa meremehkan, sementara satu tangannya mencengkeram daguku. "Heh, orang terhormat sepertimu seharusnya nggak suka dengan sesuatu yang dipaksakan, 'kan?" kataku sambil menahan emosi. Aku tidak ingin merusak peluang Linda, juga tidak ingin mencari masalah. "Bukankah wanita seperti kalian bisa melakukan apa saja demi uang? Jangan berpura-pura, aku nggak akan percaya!" Setelah berkata demikian, Kelvin menarik rambutku, lalu membantingku ke dinding. Telingaku langsung berdengung. "Lepaskan!" Aku menggunakan seluruh tenagaku untuk meraih vas bunga dari wastafel di belakangku, memukulkan vas ke kepalanya, lalu terhuyung keluar dari toilet. Tenagaku tidak cukup kuat untuk melukainya. Kelvin berhenti sejenak, lalu langsung merobek gaunku dari belakang. Aku terjatuh dengan keras di koridor luar. "Kamu keras kepala, ya? Ini menarik, aku suka." Kelvin menginjak betisku, sementara aku tidak kuasa menahan jeritan. Sepasang sepatu kulit yang mengkilap tiba-tiba muncul di pandanganku. Sebelum aku sempat meminta tolong, aku melihat Kelvin didorong ke samping oleh beberapa petugas keamanan. "Kenapa? Apa kamu ingin ikut campur? Dia adalah wanitaku!" teriak Kelvin setelah terkejut sejenak. "Wanitamu? Aku lihat dia nggak bersedia!" Suaranya terdengar lantang, sama seperti bertahun-tahun yang lalu. "Apa urusannya denganmu? Apa kamu tahu siapa aku? Aku Kelvin Sujiwa, Grup Sujiwa adalah milik keluargaku!" teriak pria itu dengan marah. "Ternyata kamu Tuan Muda Kelvin, tapi kamu membuat masalah di hotelku. Akhir-akhir ini sedang ada penertiban, sepertinya ini nggak pantas, ya?" Michael berjalan melewati Kelvin, lalu menggendongku yang tergeletak di lantai. Setelah enam tahun tidak bertemu, dia sudah berubah. "Hotelmu? Siapa kamu?" teriak Kelvin dengan histeris. "Michael Jawara," jawabnya tanpa menoleh, langsung melangkah masuk ke dalam lift dengan kaki panjangnya. Sekelompok orang yang mengikutinya tadi pergi untuk menangani urusan selanjutnya. Aku menatapnya melalui helaian rambutku yang berantakan. Wajahnya tampak makin tegas dan dalam, lebih tampan dan lebih kuat. Dia bukan lagi anak laki-laki kurus dan lemah seperti dulu. Benturan dan kejutan tadi membuat kepalaku makin sakit. Setelah itu, aku tidak tahu apa yang terjadi. Aku sudah pingsan. Saat aku terbangun, aku tidak mengenakan pakaian apa pun. Sebelum aku sempat terkejut, suara pria itu terdengar dari atas kepalaku. Aku melihatnya berdiri di depan tempat tidur. "Apa sekarang kamu mencari uang dengan cara seperti ini? Berapa harganya?" Aku tidak menyangka kami akan bertemu dalam situasi seperti ini. Kalimat pertama yang keluar dari mulutnya juga begitu tidak menyenangkan. Aku menutup mata. Aku bisa bersikap acuh tak acuh. Bukannya enam tahun yang lalu dia pergi tanpa mengatakan apa pun? Keluarganya menggunakan segala cara untuk mengusirku, membuatku kehilangan segalanya. Michael memiliki latar belakang keluarga yang baik, bukan lagi pekerja angkut yang dulunya sering ditindas. Aku tidak perlu mengkhawatirkannya lagi. "Jawab aku, berapa banyak uang yang dia berikan padamu? Dia begitu kasar padamu, tapi kamu masih menikmatinya!" kata pria itu. "Kenapa? Apa kamu ingin membeliku? Kita sudah tidur bersama semalam, jadi kamu bisa memberikan berapa pun yang kamu inginkan," jawabku acuh tak acuh sambil mengangkat kepala untuk menatapnya. "Apa kamu pikir kamu masih gadis berusia 18 tahun? Kenapa aku akan tertarik padamu? Felicia, kamu sudah tua." Dua jarinya yang kapalan mengangkat daguku sambil mengatakan kata demi kata. "Kalau begitu, tolong Pak Michael melepaskan tanganmu, biarkan aku keluar." Aku memang sudah tua, tidak memiliki tenaga dan hati untuk berurusan dengan masalah seperti ini. "Apa kamu begitu terburu-buru keluar untuk melayani orang? Kamu nggak punya harga diri!" ujar Michael. Aku tidak tahan mendengar kata-kata ini. Air mata langsung menggenang di mataku. Padahal aku tidak bergantung pada siapa pun untuk hidup, tetapi orang lain menganggapku seperti ini. Apa aku salah kalau aku tidak bisa menjadi seperti yang mereka inginkan? "Kenapa kamu menangis? Jawab aku!" Michael menambah tekanan tangannya. Aku menengadah, tidak ingin air mataku jatuh, tetapi aku tetap gagal. Aku ternyata menangis di hadapannya. Meskipun pahit, aku tidak pernah meneteskan air mata selama bertahun-tahun ini. Aku tidak tahu mengapa aku menangis. Apakah itu karena aku merasa terhina, atau karena merasa tidak rela? Michael tiba-tiba membungkam bibirku. Aku meronta, tetapi tubuhku tidak memiliki tenaga. Setelah beberapa saat, dia melepaskanku sambil bertanya, "Apa kamu masih merasa diperlakukan nggak adil? Dengan penampilan seperti ini, bukankah aku tipe orang yang seharusnya kamu kejar?" "Michael, cukup! Atas dasar apa kamu menghinaku?" Aku mengangkat tangan untuk menyeka air mataku. Selama bertahun-tahun ini aku sudah melalui berbagai macam hal. Saat ini aku merasa begitu rapuh, tetapi aku tidak boleh mundur.
Previous Chapter
1/29Next Chapter

© Webfic, All rights reserved

DIANZHONG TECHNOLOGY SINGAPORE PTE. LTD.