Bab 4 Apa Kamu Puas?
Ketika pintu lift perlahan tertutup, aku melihat wajah marah Michael.
Aku tidak akan memohon padanya. Tidak sebelumnya, tidak juga selamanya.
Pak Adi membawaku ke dalam kamar, lalu melemparku ke tempat tidur.
Dia memaksaku untuk meminum sesuatu, lalu aku merasakan seluruh tubuhku panas dan gelisah.
Pria paruh baya yang memuakkan ini membuka kopernya dengan gembira. Di dalamnya penuh dengan berbagai macam alat.
Dia mengikat tangan dan kakiku, merobek bajuku, mengeluarkan cambuk, lalu melayangkan cambukan demi cambukan ke punggungku.
Aku seperti boneka kain yang rusak. Aku tidak bersuara, hanya menggigit bibir sampai rongga mulutku penuh dengan rasa darah. Mengalami hal ini secara nyata lebih mengerikan dari bayanganku.
Pada saat ini, aku sangat membenci Michael, juga sangat membenci diriku sendiri.
Kenapa aku tidak mati saja enam tahun lalu? Untuk apa aku hidup sampai sekarang dan menerima penghinaan ini?
Rasa sakit membuatku terus berkeringat dingin, sementara kesadaranku mulai kabur. Aku tidak tahu apakah aku masih bisa melewati malam ini atau tidak. Jika tidak bisa, itu akan menjadi yang terbaik.
...
Michael naik mobil untuk pergi dengan wajah yang muram.
Tara bertanya dengan hati-hati, "Pak Michael, apa kita benar-benar akan pergi?"
"Apa masih ada yang tertinggal?" tanya Michael dengan dingin.
"Nggak ada," jawab Tara.
"Jalan!" perintah Michael.
Tara menyalakan mobil, memperhatikan wajah Michael yang makin muram.
Michael sangat marah. Felicia ternyata benar-benar tidak memohon padanya. Mungkinkah sekarang wanita itu sudah tidak peduli dengan hal seperti ini?
"Pak Michael, aku dengar Pak Adi adalah seorang yang sadis," ujar Tara dengan hati-hati.
"Apa hubungannya denganku?" balas Michael.
"Aku dengar dia sudah membuat beberapa gadis meninggal atau cacat." Tara memahami pikiran Michael. Pria ini sangat peduli pada Felicia.
"Putar balik!" Seperti yang diduga, Michael memang berkata dengan suara dingin.
Aku terbaring terlentang di tempat tidur. Pak Adi ini adalah seorang yang sadis dan haus darah. Luka yang mengeluarkan darah akan membuatnya lebih bersemangat.
Tiba-tiba, aku mendengar suara hantaman yang teredam, lalu Pak Adi terjatuh ke samping tanpa peringatan. Aku sepertinya melihat Michael berdiri di depan tempat tidur.
"Aku nggak menyangka kalau kamu memang sangat murahan!" kata Michael.
"Apa kamu puas sekarang?" teriakku dengan suara serak. Obat itu juga menyiksaku hingga aku hampir gila.
Michael tertegun sejenak, melepaskan jas luarnya untuk menutupi tubuhku, melepas tali di tubuhku, lalu menggendongku.
Aku membenamkan diri dalam pelukannya, mendengar kata-kata dari dadanya yang naik turun, "Apa kamu nggak akan memohon padaku meski kamu mati sekali pun?"
Aku tetap diam, tetapi dalam hati berkata, 'Ya. Dulu aku nggak pernah memohon, selamanya pun begitu.'
Mobil melaju pulang dengan cepat. Michael melemparkanku ke kamar mandi, lalu menyalakan air dingin untuk menyiram tubuhku.
Setelah mandi, pria itu membawaku ke tempat tidur.
Dia menciumku lama. Rasa sakit yang membakar di punggungku, serta panas di tubuhku membuatku tanpa sadar memeluknya.
"Memohonlah padaku," ujar pria itu.
Aku menggeleng dengan keras kepala, tidak bersedia memohon!
Michael melepaskanku. "Kalau begitu, kamu bisa tidur sendiri."
Efek obat sudah mencapai puncaknya, membuatku sudah kehilangan akal sehat. Mataku memerah ketika aku meraihnya sambil berkata, "Aku mohon ...."
Aku mengalami satu malam yang gila, tidak tahu bagaimana aku bisa tertidur.
Saat terbangun, hari sudah keesokan siangnya.
Seluruh tubuhku terasa sakit, tidak bisa bergerak.
"Dokter sudah datang, tubuhmu sudah diobati. Rawat dirimu dengan baik," kata Bibi Winda dengan nada yang tidak ramah.
"Kalau kamu nggak suka melihatku, kamu nggak perlu datang merawatku," balasku dengan tenang.
"Apa kamu pikir aku berani melakukannya? Kalau Pak Michael menyalahkan, aku akan berada dalam masalah," ujar Bibi Winda dengan nada sinis.
"Kalau begitu, tolong bersikaplah sopan padaku." Aku bangkit untuk bersandar di tempat tidur.
"Kamu .... Kamu hanya seorang simpanan, kenapa sombong sekali? Kamu hanya mengandalkan tubuh dan wajahmu saja!" Bibi Winda menyalahkanku seolah aku sudah merebut suaminya.
"Kamu juga nggak bisa berurusan dengan simpanan ini, 'kan? Kamu lihat sendiri, Michael nggak melakukan apa-apa padaku meski aku sudah mendorong Selena ke dalam air. Pahami situasinya, jangan berbuat bodoh," kataku sambil mengambil apel di atas meja, lalu perlahan memakannya.
"Berapa lama kamu bisa bersikap sombong? Apa kamu nggak melihat siapa dirimu?" Setelah memarahiku, Bibi Winda keluar dengan kesal sambil membanting pintu.
Aku mendengar suara dari ponselku, jadi aku membukanya untuk melihatnya.
Linda mengirimkan pesan di WhatsApp, menanyakan kenapa aku langsung pulang tanpa mengatakan apa pun. Linda pasti mengira aku langsung pulang setelah acara peluncuran selesai.
Aku memberitahunya bahwa aku pergi dengan sedikit terburu-buru, menyuruhnya untuk tidak mengkhawatirkanku. Linda membantuku melewati hari-hari yang paling sulit. Jika aku menceritakan situasiku sekarang, itu hanya akan membuatnya merasa cemas.
Michael pulang pada malam harinya, ingin makan malam bersamaku.
"Apa lukanya masih sakit?" tanya pria itu dengan lembut.
"Nggak sakit." Memang kenapa kalau terasa sakit? Apa pria ini berharap aku akan menangis tersedu hanya karena beberapa kata penghiburan darinya?
"Felicia, kamu sekarang sama sekali nggak manis." Michael menghela napas panjang. Dia mengingat kembali Felicia yang dulu bersikap manja, antusias, ceria, serta ramah. Bagaimana bisa dia menjadi muram dan kejam seperti ini sekarang?
"Bukankah kita sama?" Aku meliriknya dengan tatapan tajam. Bukankah Michael sekarang juga menyebalkan?
Setelah selesai makan, aku kembali ke kamar tidur. Setelah beberapa saat, Michael juga masuk, lalu perlahan berbaring di sampingku.
Kemudian, setiap hari pria itu akan tidur di sini. Setiap malam, aroma rumput segar yang tidak asing menyelimutiku.