Bab 6
Setelah tersadar kembali, Patricia mencium bau disinfektan yang kuat di ujung hidungnya. Kepalanya sangat pusing, perut bagian bawahnya juga terasa sangat nyeri. Patricia merasa sangat tidak nyaman.
Dia ....
Sedang berada di rumah sakit?
Setelah memaksa dirinya untuk membuka mata, Patricia melihat tembok putih rumah sakit.
Patricia bereaksi kembali, kedua tangannya tanpa sadar menyentuh perutnya.
"Kenapa? Perutmu masih sakit?"
Saat mendengar suara yang berat dan serak di sampingnya, tubuh Patricia langsung menegang.
Dia menoleh, lalu melihat Robert.
Pria itu berdiri di samping tempat tidur sambil meletakkan mantel di tangannya. Tubuhnya yang tinggi dan ramping menghalangi sebagian besar cahaya matahari yang masuk dari jendela di belakang. Bayangan pria itu menyelimuti tubuhnya.
Saat pria itu membungkuk, Patricia benar-benar diselimuti oleh bayangannya.
Napasnya menjadi sangat sesak.
"Saat aku lihat kamu, bagian bawah tubuhmu penuh dengan darah."
Robert menatap Patricia dengan tajam, lalu berkata dengan nada dingin, "Jelaskan hal ini."
Patricia merasa tangan yang berada di perutnya sangat berat sampai tidak bisa digerakkan.
Tatapan pria itu bergerak turun dari wajah Patricia yang cantik, lekuk tubuhnya yang indah, lalu tertuju ke perut ratanya.
Meskipun tatapan pria itu sangat dingin, Patricia merasa tubuhnya seperti terbakar oleh api. Patricia menarik kembali tangannya dengan ketakutan, lalu meletakkannya di bawah tubuh untuk menutupi kesalahannya.
"A ... aku nggak tahu."
Dia tidak boleh membiarkan pria ini mengetahui jika dia hamil.
Pelipis Patricia berdenyut, pikirannya menjadi kosong, punggungnya bahkan sudah menegang pada saat ini.
Terlihat jelas jika pria ini tidak puas degan jawabannya.
Pria itu mengulurkan tangannya untuk meremas dagu Patricia. "Kamu sedang berbohong."
"Aku ... nggak berbohong ...."
Patricia berkata sambil tergagap, kulit kepalanya bahkan sudah mati rasa. Dia mengalihkan tatapannya karena tidak berani menatap mata pria ini.
Aura dingin yang dipancarkan oleh pria itu hampir membeku, lalu berubah menjadi serpihan es yang menusuk tubuh Patricia. Patricia tidak memiliki jalan keluar, aura dingin ini membuat bulu kuduknya berdiri seolah-olah terjatuh ke dalam gudang es.
Pria itu marah.
Hal ini membuat Patricia ketakutan.
Dia sudah mengetahui apa konsekuensinya jika membuat pria ini marah. Rasa takut ini sudah tertanam dengan kuat di dalam hatinya.
"Lihat aku."
Aura dingin di tubuh pria itu semakin menguat karena Patricia menghindari tatapannya.
Patricia memaksa dirinya untuk menatap mata pria itu. Patricia menancapkan kuku ke telapak tangannya dengan kuat sampai telapak tangannya memutih. Dengan ini, dia tidak akan menunjukkan tatapan bersalah di matanya.
"Aku benar-benar nggak tahu."
Dia berkata dengan susah payah, dagunya juga diremas dengan kuat seolah-olah akan diremukkan oleh pria itu.
Hanya saja Patricia tidak bisa menghindar, air mata refleks karena rasa sakit membasahi pelupuk matanya. Mata Patricia sedikit memerah, bulu matanya bahkan sudah dibasahi oleh air mata.
Tindakan Robert berhenti sejenak, kemudian dia melepaskan Patricia.
Patricia tiba-tiba kehilangan tenaganya dan berbaring di tempat tidur dengan kelelahan, punggungnya sudah dibasahi oleh keringat pada saat ini.
Hanya saja dia tidak berani menghela napas lega, sebaliknya Patricia merasa sangat cemas.
Pria ini tidak mudah untuk dikelabui.
"Patricia, kamu tahu apa konsekuensinya kalau menipuku."
Pria itu menatap Patricia dari ketinggian, lalu mengingatkannya dengan tenang.
Patricia sedikit menundukkan kepalanya, leher rampingnya sedikit membengkok ke bawah. Dia terlihat sangat rapuh seperti seekor hewan kecil yang tidak bisa melawan, lalu dimainkan dengan sesuka hati oleh Robert.
Pria itu bahkan bisa mematahkan lehernya hanya dengan menggerakkan jarinya.
Patricia diam-diam menggigit bibirnya agar suaranya tidak bergetar. "Aku tahu."
"Aku nggak berbohong padamu."
Dia berkata, "Aku benar-benar nggak tahu."
Patricia mendengar suara tawa dari atas kepalanya.
Karena suara tawa itu sangat pelan dan singkat, Patricia curiga jika dia salah dengar.
Hanya saja pada detik berikutnya, Patricia membuka matanya lebar-lebar dan berteriak dengan terkejut.
Robert membuka selimut yang menutupi tubuhnya, lalu menggendong Patricia dan menekannya di jendela.
Begitu menundukkan kepalanya, Patricia bisa melihat orang yang berlalu lalang di lantai bawah gedung rawat inap rumah sakit.
Mereka berada di lantai 16. Orang-orang di bawah bisa melihat postur memalukan mereka saat ini begitu mendongak.
"Apa yang mau kamu lakukan?"
Saat merasakan tubuh panas pria itu, saraf terakhir di benak Patricia seperti sudah putus dan berteriak dengan ketakutan.
Patricia menolak dengan sekuat tenaga. Patricia meletakkan kedua tangannya di dada Robert untuk menghentikan tindakannya.
Hanya saja, semua perlawanannya sama sekali tidak berguna di hadapan pria ini.
Patricia sudah mengetahui hal ini dengan jelas selama tiga tahun ini.
Pria itu mengabaikan perlawanan Patricia, dia memeluk Patricia dengan erat di antara jendela dan tubuhnya. Tangan pria itu juga diletakkan di pinggangnya yang ramping.
Saat ini Patricia sedang mengenakan pakaian rumah sakit yang longgar. Karena perbuatan Robert, dua kancingnya terlepas, lalu memperlihatkan setengah bahunya yang halus dan lembut. Baju Patricia tergantung di lengannya, kulit yang terekspos dipenuhi dengan bulu kuduk.
Patricia merasa sangat malu sampai jari-jari kakinya meringkuk. Dia ingin menarik pakaiannya. Tapi tidak berani bergerak karena tekanan yang tersebar dari tubuh pria ini.
"Patricia, kamu sendiri yang minta hal ini."
Pria itu menatap rasa tidak berdaya dan malu Patricia dengan marah.
Suhu tubuh panas pria ini membuat darah di tubuh Patricia langsung membeku.
Tubuhnya bahkan gemetar ketakutan. "Ja ... jangan, Robert. Jangan ...."
Hanya saja, pria itu tidak pernah memedulikan penolakannya dan hanya bertindak sesuai keinginannya sendiri!
"Patricia!"
Pintu kamar pasien tiba-tiba terbuka, Devi berjalan masuk sambil membawa kantong infus.
Dia terkejut begitu melihat adegan ini.
Patricia langsung menatapnya dengan tatapan memohon. "Devi ...."
"Pak Robert, apa yang mau kamu lakukan?"
Suara Devi sedikit gugup, tapi dia tetap memberanikan dirinya untuk berkata, "Kesehatan Patricia sangat buruk, kamu juga tahu hal ini. Ka ... kalian nggak boleh me ... melakukan itu."
"Selain itu, dia sedang menstruasi sekarang, jumlah darahnya jadi lebih banyak. Dia juga harus merawat tubuhnya dengan baik karena ini."
"Menstruasi?"
Robert menatap Devi dengan tatapan gelapnya, seolah-olah bisa mengungkapkan segalanya.
Patricia mengkhawatirkan Devi, jadi dia tanpa sadar menggigit bibirnya.
"Benar, memangnya Pak Robert nggak tahu?"
Devi bertanya dengan bingung, "Bukannya bagian bawah tubuh Patricia penuh dengan darah saat kamu bawa dia ke sini? Aku kira kamu tahu."
Robert menarik kembali tatapannya, lalu bertanya pada Patricia, "Kenapa kamu nggak bilang kalau kamu lagi menstruasi?"
Patricia mengetahui jika pria ini tidak memercayai ucapan Devi.
"Aku juga nggak nyangka kalau itu darah menstruasi."
Patricia menenangkan suaranya, wajahnya masih pucat karena kejadian sebelum ini. "Mungkin tubuhku masih perlu dirawat, jadi darah menstruasi pada hari pertamaku begitu banyak."
Pria itu menatapnya selama beberapa detik. Saat kulit kepala Patricia mati rasa, pria itu tiba-tiba mengulurkan tangan ke celananya!
Patricia langsung membuka matanya lebar-lebar!
"Jangan ...."
Pada saat yang sama, ponsel Robert berdering pada saat ini.
Patricia diam-diam menghela napas lega, lalu sedikit memundurkan tubuhnya ke belakang saat pria itu sedang menjawab panggilan.
"Kak, aku takut sekali."
Orang yang meneleponnya adalah Fanny, dia berkata sambil terisak, "Hari ini Ibu dan aku pergi ke kuil untuk meramal nasibku, peramal itu bilang kalau aku sulit untuk punya anak. Huhuhu, bagaimana ini? Aku takut anak yang kulahirkan nggak bisa hidup."