Webfic
Open the Webfic App to read more wonderful content

Bab 1

Lidya Senjaya adalah mawar merah yang paling angkuh dan memikat di lingkaran sosial ibu kota. Dia terlahir sangat cantik. Cukup dengan satu lirikan, dia bisa menggugah jiwa banyak pria. Konon, para lelaki yang jatuh hati padanya bisa berbaris dari pusat kota sampai ke pinggiran kota, tetapi Nona Lidya bahkan malas melirik mereka. Sampai sahabat baiknya bertaruh dengannya. "Lidya, kalau kamu bisa menaklukkan pamanku, Jeremy Ciptadi, mobil-mobil kesayanganku boleh kamu pilih sesukamu!" Jeremy, pemimpin Grup Ciptadi, dingin, terpelajar, anggun, dan sombong. Ketampanan yang tidak terjangkau di hati banyak wanita. Konon, bahkan seekor nyamuk betina pun tidak bisa mendekatinya. Lidya hanya tersenyum. Apa pun yang dia inginkan, tidak pernah gagal didapatkannya. Namun, rencana sering kali kalah cepat oleh perubahan. Di hari pertama taruhan itu dibuat, Lidya justru mendapati Jeremy yang tengah dibius. Lidya yang memang berniat mendekat malah menjadi penawarnya secara kebetulan. Sejak malam itu, gunung es abadi bernama Jeremy Ciptadi seolah-olah terbelah oleh sebuah retakan yang dibuat olehnya. Selama tiga tahun, mereka begitu dekat tanpa jarak. Hati Lidya pun perlahan tenggelam dalam pertemuan intim yang tidak terhitung jumlahnya. Dia mengira, pria yang diagungkan bak dewa ini juga miliknya. Hingga malam ini, setelah mereka bermesraan di dalam mobil, Lidya menemukan manset safir Jeremy yang terjatuh, lalu berniat mengembalikannya. Pintu ruang VIP di ujung lorong terbuka sedikit. Saat hendak mendorongnya, Lidya mendengar suara percakapan dari dalam. "Jeremy, baru turun dari pelukan lembut ya? Lidya itu biasanya angkuh seperti anak kucing liar, nggak menganggap siapa pun. Tapi, begitu di depanmu, malah manja dan manis. Sampai hatiku gatal melihatnya. Kapan kamu menikahinya?" Langkah Lidya terhenti, jantungnya menegang tanpa alasan. Lalu, dia mendengar suara dingin yang sangat dikenalnya hingga ke tulang. "Hanya teman ranjang, mana mungkin dinikahi?" Enam kata ringan itu bagai tujuh pisau bersalut es, menusuk tepat ke jantung Lidya, seketika menghancurkannya. Ruangan itu langsung tenggelam dalam keheningan yang ganjil. Bahkan teman-teman Jeremy pun terkejut oleh ucapan yang kejam itu. Setelah entah berapa lama, seseorang akhirnya memecah keheningan, "Ng ... nggak mungkin 'kan, Kak Jeremy? Sudah tiga tahun ... kamu ... masih menyimpan bayangan cinta pertamamu itu?" Cinta pertama? Kepala Lidya berdengung, terasa kosong seluruhnya. Jeremy ... punya seseorang yang dia cintai? Dia berdiri kaku di depan pintu, bagai boneka yang kehilangan nyawanya, mendengar gumaman pelan Jeremy sebagai jawaban. "Waktu kami berpisah dulu, dia minta waktu tiga tahun. Dia akan mencoba orang lain, dan membiarkan aku mencoba orang lain. Kalau masih saling suka, kami akan kembali bersama." "Dia mudah gelisah, nggak merasa aman, jadi aku turuti keinginannya." "Sudah tiga tahun, dan aku sudah mencoba." Jeremy berhenti sejenak, suaranya membawa harapan samar, tetapi jelas terdengar. "Dia seharusnya kembali." Lidya serasa disambar petir, tubuhnya membeku, ujung jarinya gemetar. Tiga tahun ini, semua keintiman dan momen yang dia kira saling memahami ... ternyata hanya pengalaman mencoba orang lain bagi Jeremy?! "Lalu, bagaimana dengan Lidya? Dengan sifatnya yang seperti petasan kecil, kalau dia tahu ... " "Brak!" Pintu berat ruangan itu didorong Lidya dengan keras sebelum kalimat itu selesai. Semua orang di dalam terkejut dan menoleh serempak ke pintu. Lidya berdiri di sana, wajahnya pucat mengerikan, hanya mata indah berbentuk bunga persik itu yang merah seperti hendak meneteskan darah. Dia tidak melihat siapa pun. Pandangannya terpaku pada pria yang duduk di kursi utama. Jeremy mengenakan setelan rapi, punggungnya tegak, dan sikapnya tenang. Dia tidak menampakkan sedikit pun keterkejutan atau panik melihat kemunculan Lidya. Pria itu tetap setenang gunung yang tidak bergeming sekalipun bencana besar terjadi di hadapannya. Namun, justru ketenangan itulah yang seperti garam terakhir yang ditaburkan pada luka Lidya. Seandainya Jeremy sedikit saja menyukai dirinya, mustahil reaksinya akan seperti ini. Lidya melangkah ke hadapannya, menatap wajah yang dicintainya selama tiga tahun, suaranya serak. "Jeremy, nggak ada yang ingin kamu katakan padaku?" Jeremy mengangkat mata, dan menatapnya dengan tenang. "Nggak ada yang perlu dikatakan. Sama seperti yang kamu dengar." "Kita cuma teman ranjang. Aku selalu mengira kamu sangat memahami itu." "Wilma bertaruh denganmu. Kalau kamu berhasil menaklukkanku, kamu bisa pilih mobil sportnya. Kalau kamu rasa mobil belum cukup ... " Jari-jarinya yang panjang mengambil kartu bank hitam dari saku jas dan mendorongnya ke atas meja di depan Lidya. "Di sini ada 200 miliar. Anggap saja sebagai ... upah tiga tahun untuk kamu yang selalu siap sedia." "Mulai sekarang, hubungan kita berakhir sepenuhnya." Setelah itu, Jeremy berdiri dan bersiap pergi. Namun, ketika pria itu melewati sisinya, Lidya tiba-tiba mengulurkan tangan dan mencengkeram pergelangan tangan pria itu erat-erat. Tangan Lidya sedingin es, membuat buku jarinya memutih. Langkah Jeremy terhenti. Lalu, dia mendengar wanita yang begitu angkuh itu, kini seperti mengerahkan seluruh tenaganya, mencengkeramnya bak satu-satunya pelampung, kata demi kata terlontar, tetapi jelas menggema. "Tapi ... aku jatuh hati!" "Jeremy, aku jatuh hati padamu!" kata Lidya dalam benaknya. Dia tidak tahu kapan hatinya itu hilang. Mungkin saat musim hujan, ketika Lidya malas memakai sepatu, dan Jeremy setengah berlutut, menggenggam pergelangan kakinya yang dingin, lalu memakaikan sandal untuknya. Mungkin saat operasi usus buntu, ketika Lidya terbangun dalam rasa sakit dan melihat pria itu duduk di samping ranjang, dengan bayang biru tipis di bawah mata. Atau, mungkin saat malam-malam yang tidak terhitung ketika pria itu pulang dari jamuan, tubuhnya samar-samar berbau alkohol, tetapi tetap mengingat ketakutan Lidya pada petir dan menariknya ke dalam pelukan. Sedikit demi sedikit, hal-hal kecil itu membentuk gelombang besar yang menenggelamkan Lidya sepenuhnya. Namun kini, Jeremy dengan entengnya mengatakan bahwa Lidya hanya teman ranjang?! "Jeremy, betapa kejamnya kamu!" pikir Lidya Bibir tipis Jeremy bergerak, dan baru akan berbicara ketika ponselnya berdering. Dia mengambilnya. Layar menyala, pratinjau pesan baru langsung terlihat jelas oleh Lidya. [Jeremy, sudah tiga tahun. Aku sudah mencoba, tapi tetap hanya menyukaimu. Mari kembali bersama.] Dalam sekejap itu, Lidya merasa seluruh dunianya runtuh. Tatapan Jeremy berhenti sejenak pada layar, lalu perlahan dia melepaskan jari-jari Lidya yang mencengkeramnya erat. "Maaf," kata pria itu. "Aku nggak jatuh hati." Setelah itu, tanpa sedikit pun keraguan, Jeremy berbalik dan pergi dengan langkah lebar.
Previous Chapter
1/29Next Chapter

© Webfic, All rights reserved

DIANZHONG TECHNOLOGY SINGAPORE PTE. LTD.