Bab 4
Setelah mengurus visa, dia pulang ke rumah. Begitu masuk pintu, dia langsung bertemu ibu tirinya yang berdandan rapi.
Melihatnya, wanita itu langsung memulai ceramah seperti biasa, "Lidya, kamu masih ingat pulang? Sudah berapa hari ini kamu nggak pulang, gadis macam apa ... "
Lidya bahkan tidak meliriknya, langsung mengambil sebuah vas porselen biru setinggi setengah badan di pintu masuk dan menghantamkannya ke lantai!
Suara benturan keras terdengar, pecahan porselen berhamburan.
Wanda Linata terkejut sampai menjerit dan mundur dua langkah.
Lidya menatapnya dengan tenang. Wajahnya yang cantik penuh sindiran dan dingin. "Kamu itu apa? Seorang perusak rumah tangga orang, apa pantas mengajari putri sah istri pertama?"
"Wanda, ingat baik-baik. Selama aku masih tinggal di rumah ini satu hari saja, kamu selamanya jangan mimpi bisa angkat kepala."
Setiap kata yang keluar dari mulut Lidya terdengar tajam dan menusuk hati, membuat wajah Wanda pucat sampai seluruh tubuhnya gemetar.
"Lidya! Kamu mengamuk apa lagi!" Pak Miko bergegas keluar dari ruang kerja saat mendengar keributan itu. Dia buru-buru menopang Wanda yang hampir jatuh, lalu menatap Lidya dengan marah. "Baru pulang sudah bikin rumah berantakan! Apa kamu nggak bisa mengerti sedikit!"
Melihat ayahnya melindungi wanita itu, hati Lidya sudah lama membeku, hanya tersisa ejekan tanpa batas.
Dia tertawa pendek. "Aku yang bikin rumah berantakan?"
"Baik. Asal kamu berikan bagian warisan yang seharusnya jadi milikku lebih awal, aku akan pergi ke luar negeri, dan nggak akan kembali mengganggu kalian."
Miko tertegun, lalu memasang wajah peduli yang palsu. "Kamu ini bicara apa? Ke luar negeri? Kamu itu seorang gadis mau pergi buat apa? Tinggallah di sini. Rumah ini selamanya rumahmu, kita ini keluarga ... "
"Keluarga?" Lidya seperti mendengar lelucon besar. "Jangan berakting, Miko. Kamu, dia, dan Yasmin, kalianlah yang keluarga. Ibuku sudah meninggal, aku sudah nggak punya rumah."
"Langsung saja sebutkan harganya. Aku mau bagian yang seharusnya jadi milikku."
Wajah Miko langsung berubah buruk. Setelah diam lama, dia baru berpura-pura mengalah. "Ayah tahu kamu punya keluhan pada keluarga ini ... Begini saja, Ayah berikan 10 miliar dulu, kamu keluar menenangkan diri ... "
"Sepuluh miliar?" Lidya tertawa sinis. "Miko, kamu bisa sampai di sini hari ini karena modal dari keluarga kakekku! Karena maskawin yang dibawa ibuku! Bahkan nyawamu itu hasil bertukar nyawa dengan ibuku!"
"Sekarang kamu pakai uang ibuku, menafkahi wanita simpanan dan putri haram itu, tinggal di rumah yang dibeli ibuku, tapi mau mengusir putri kandungnya hanya dengan 10 miliar?"
"Di mana rasa malumu?!"
Tersentuh pada titik paling menyakitkan, Miko sangat marah sampai wajahnya memerah. "Kamu! Kamu sebenarnya mau berapa? Katakan saja!"
Lidya sudah siap. Dia mengeluarkan dokumen dari tasnya dan menyebutkan deretan angka dan nama saham dengan tenang.
"Kamu gila! Ini nggak mungkin!" Miko langsung meledak. "Ini sama saja menguras setengah aset Keluarga Senjaya!"
Lidya tidak panik. Dia berjalan ke arah jendela, menatap taman di bawah, dan berkata dengan ringan, "Nggak setuju? Nggak apa-apa."
"Aku tanam bom di luar vila."
"Pilihannya dua. Setuju, tandatangani perjanjian, dan berikan uangnya."
"Atau, kita semua mati di sini hari ini. Pilih."
Pupil Miko segera menyusut. Dia menunjuk Lidya, jarinya gemetar. "Kamu ... kamu gila!"
"Ya, aku memang gila." Lidya mengaku tanpa ragu, tatapannya tegas. "Kalian yang bikin aku gila."
Wajah Miko kebiruan, napasnya tersengal. Dia menatap Lidya dengan tajam, seolah-olah berusaha menilai apakah ucapan itu benar atau tidak.
Akhirnya, rasa takut akan kematian mengalahkan segalanya.
Dia jatuh terduduk di sofa, keringat dingin mengucur, tangannya gemetar saat menandatangani perjanjian pembagian harta itu.
"Sekarang ... sekarang cepat singkirkan bomnya!" Suaranya bergetar.
Lidya mengambil perjanjian itu, memeriksa tanda tangannya dengan saksama, lalu tersenyum dingin penuh ejekan.
"Tenang saja. Nggak ada bom."
"Aku bohong."
"Lagi pula, kamu dulu juga membohongi ibuku demi menikahinya, 'kan? Ayah seperti itu, punya anak seperti ini."
Baru saat itu Miko sadar dirinya dipermainkan. Saking marahnya, dia hampir pingsan. Dia menuding Lidya sambil berkata, "Kamu ... kamu ... " tetapi tanpa bisa mengucapkan satu kata pun.
Lidya malas melihatnya lagi. Dia berbalik, dan bersiap naik ke lantai dua.
"Berhenti!" Miko memanggilnya sambil terengah, menekan amarahnya. "Kakakmu ... hari ini membawa pacarnya pulang untuk makan malam! Apa pun yang kamu lakukan sebelumnya, aku nggak peduli, tapi kali ini kamu harus makan malam dengan baik!"
Dia menekankan tiap kata, penuh peringatan. "Pacarnya Jeremy Ciptadi! Kamu tahu posisi Keluarga Ciptadi di Kota Jimerta! Kita nggak bisa menyinggung mereka! Singkirkan sikap pembangkangmu itu, jangan buat masalah!"
Langkah Lidya terhenti tiba-tiba di tengah tangga, tubuhnya membeku.
Jeremy ...
Hari ini, dia datang sebagai pacar Yasmin?
Detik berikutnya, pintu terbuka.
Yasmin menautkan lengannya pada Jeremy, melangkah masuk sambil tersenyum cerah.