Webfic
Open the Webfic App to read more wonderful content

Bab 8

Myria berjalan ke ruang tamu. Fia sudah mengantuk sampai matanya tidak bisa terbuka. Dia pun menggendong putrinya ke kamar, menepuk-nepuk punggungnya pelan, lalu meletakkan boneka kelinci berwarna merah muda di pelukan putrinya. Setelah membantu membereskan tas sekolah Fia, matanya tertuju pada gambar anjing kecil berwarna krem di tugas kerajinan tangan. Myria menghela napas pelan. Dia memutuskan untuk pergi ke toko hewan peliharaan besok. ... Yavin melempar ponselnya ke meja samping tempat tidur. Handuk abu-abu tergantung di lehernya, dia mengusap rambutnya dengan asal. Sekar berdiri di samping, melontarkan pertanyaan bertubi-tubi, "Pasien wanita, ya? Dengar dari suaranya, masih muda dan pasti cantik. Masih lajang nggak? Kamu kalau ngomong lembut sedikit dong. Anjing kecil ini milik dia?" "Sekar, sejak kapan kamu jadi tukang gosip?" Suara Yavin makin rendah, kelopak matanya setengah tertutup, langsung menyebut nama kakaknya. "Aih, aku cuma khawatir sama kamu, oke?" Yavin tersenyum tipis, lalu melempar handuk ke sofa. Rambut hitamnya sedikit berantakan, menjuntai di dahi. "Mata kamu itu X-ray, ya? Hanya dengar suara lewat telepon langsung tahu wajah orang seperti apa? Kamu kerja di Grup Ronan tuh sayang banget, mending pindah ke pusat riset khusus. Kamu punya bakat supernatural." "Pasti cantik, 'kan?" Sekar langsung bersemangat. "Jelek." Yavin menjawab dengan santai, lalu duduk di sofa, membuka laptop dan mulai membaca rekam medis. Tanpa mengangkat kepala, dia menambahkan, "Tutup pintu." "Kalau kamu bilang jelek, berarti cantik." Sekar sangat paham sifat adiknya yang sering mengatakan hal yang berlawanan. Dia mendekat dan duduk di samping Yavin, terus menggali informasi, "Myria Nismara, namanya bagus. Ada fotonya nggak? Biar Kakak lihat." "Sekar, sejak kapan kamu mulai mirip Ibu, jadi cerewet." Yavin mengangkat tangan, jemarinya yang panjang bergerak-gerak di udara. "Putrinya sudah besar ini, punya penyakit jantung bawaan, pernah diperiksa olehku." "Sudah menikah toh?" Sekar terdiam. "Jadi benar cuma pasien, kukira ... " Melihat adiknya yang dingin dan cuek, Sekar teringat pesan dari Ferdi dan Ratna, ayah ibunya. Dia pun bertanya dengan enggan, "Kamu sudah temui putri Keluarga Levano?" "Sudah." Yavin menyerahkan ponselnya. "Sudah tambah kontak WhatsApp, sudah ngobrol. Bilang ke Ibu, tugas selesai." Sekar melihat sikap adiknya yang datar, langsung tahu ada yang tidak beres. Dia membuka ponsel Yavin dan melihat riwayat obrolan dengan Intan, ekspresinya langsung menjadi gelap. Intan: [Kak Yavin, kamu sibuk nggak hari ini?] [Aku punya dua tiket festival musik ... ] Yavin: [Sibuk.] Intan: [Kak Yavin, temanku punya masalah jantung, bisa konsultasi?] Yavin: [Buat janji di rumah sakit.] Intan: [Kak Yavin, katanya kamu libur Sabtu ini, kita nonton film yuk.] Yavin: [Lembur.] Sekar melihat obrolan yang minim kata, sikap adiknya yang dingin dan hemat bicara, langsung merasa sakit kepala. "Kamu sukanya tipe yang gimana sih? Putri Keluarga Levano nggak cocok? Gimana dengan putri Dokter Agus, atau putri dari Keluarga Deska yang seniman itu?" Sekar sudah kewalahan dengan sikap adiknya yang selalu menghindar. Namun, tidak disangka, Yavin benar-benar memberikan standarnya. "Dada besar, pinggang ramping, kaki panjang, kulit putih. Oh ya, aku nggak suka yang terlalu kurus, juga nggak suka yang terlalu menor. Tinggi minimal 168 cm." Sekar ragu sejenak, lalu bayangan seseorang muncul di benaknya. Dia menatap adiknya. Setelah ragu-ragu, dia berkata pelan, "Rani Citara?" Detik berikutnya, tatapan gelap dan dalam Yavin menyapu ke arahnya. Yavin tidak lagi menjawab, hanya menutup laptop dan berkata, "Tutup pintu." Perintah pengusiran. Meskipun Sekar lebih tua enam tahun dari adiknya ini dan menjabat sebagai CEO di Grup Ronan, menghadapi adiknya ini kadang dia pun tidak tahu harus bagaimana. Sifat Yavin paling mirip dengan ayah mereka, Pak Ferdi. Jika bukan karena Yavin memilih menjadi dokter dan menjaga hubungan dengan kakak tertua, kursi pimpinan utama Grup Ronan pasti jadi miliknya. Yavin mempunya aura mendominasi, kemampuannya juga luar biasa. Memang terlahir sebagai pemimpin. Begitu dari kamar, Sekar mendapati ibunya sudah menunggu lama di depan pintu. Bu Ratna menarik tangan putrinya dan bertanya, dan Sekar pun menjawabnya. Bu Ratna menggeleng dan berkata, "Dia itu cari pacar atau cari model sih? Tinggi badan saja pakai angka detail segala ..." Bu Ratna mengingatkan putrinya, "Standar pilihannya jangan bilang ke ayahmu dulu. Kalau nggak, ayahmu pasti bilang selera Yavin terlalu vulgar." "Bu, kamu masih ingat nggak? Waktu Yavin kuliah, dia pernah pacaran ..." "Ingat. Karena dia, Tiana sampai dikirim ke luar negeri ... " Ratna jelas masih ingat. Kejadian itu sampai heboh, tetapi memang salahnya Tiana. Ratna hampir melupakan semuanya. Saat ini, sebuah pemikiran muncul di benaknya. Jika bisa menemukan gadis itu lagi, dan dia belum menikah, mungkin masih bisa lanjutkan hubungan dengan putranya. Sekar tentu memahami apa yang dipikirkan ibunya. Saat dia menyebutkan nama itu, raut wajah Yavin langsung berubah. Dia ingin menghentikan niat ibunya, tetapi menahan diri karena melihat ibunya begitu semangat. Sekar juga ingat, tujuh tahun yang lalu, tidak lama setelah adiknya pergi ke luar negeri, gadis itu putus dengan adiknya dan mengirimkan sebuah paket besar. Saat Yavin pulang untuk merayakan tahun baru, dia membuka paket tersebut. Ternyata, gadis itu mengembalikan semua barang yang pernah diberikan oleh adiknya selama tiga tahun mereka berpacaran. Gadis itu mengakhiri hubungan dengan bersih, lalu menghilang tanpa jejak. Bahkan, uang sebotol air mineral pun dihitung dengan jelas. Saat itu, pertama kalinya Sekar melihat wajah adiknya sangat kelam. ... Satu minggu berlalu dengan cepat. Myria menghadiri pameran kain dan busana di Kota Sikari, dan berhasil mengumpulkan beberapa bahan referensi. Beberapa rekan kerja mulai berbisik-bisik. Rika menarik tangan Myria dan berkata, "Kamu dengar nggak? Bu Intan lagi pacaran. Katanya dijodohkan sama keluarganya, cowoknya dari keluarga terkemuka di Kota Sikari." Keluarga terkemuka di Kota Sikari. Meskipun Myria jarang mengikuti gosip kalangan atas, mendengar kata "keluarga terkemuka" pikirannya langsung teringat pada Keluarga Ronan. Soal perilaku Intan di tempat kerja, ada beberapa hal yang tidak disukai Myria. Namun, dia juga tidak ingin mengomentari urusan pribadi orang lain. "Andai saja ada bos kaya naksir temanku ini, aku pasti bisa ikut hidup enak," canda Rika sambil menyenggol lengan Myria. "Kamu harus berusaha, gunakan kecantikanmu itu untuk dapetin cowok kaya." Myria tersenyum dan berkata, "Putriku sudah enam tahun." Lagi pula, Myria tidak pernah merasa dirinya cantik. Setelah tubuhnya menjadi kurus, banyak rekan kerja memuji, bahkan beberapa orang asing memandangnya dengan kagum, tetapi dia tetap tidak merasa dirinya cantik. Mungkin karena dulu saat gemuk, dia terlalu sering mengalami diskriminasi. Rasa rendah diri dan kurang percaya diri seolah sudah tertanam dalam dirinya. "Punya anak bukan masalah. Zaman sekarang, kecantikan itu aset langka," kata Rika sambil mengangkat dagu Myria. "Kalau aku jadi cowok, aku pasti suka tipe sepertimu. Lembut, kalem, wajah cantik natural." Dia bahkan sempat menyentuh pinggang Myria sebelum lanjut berkata, "Langsing banget, kamu latihan apa saja selama ini?" Myria menepuk tangan Rika, menganggap itu sebagai bercandaan. "Sudah, ayo foto-foto dulu. Kain-kain hari ini harus kita bahas di rapat besok." Ponselnya bergetar, dan dia tidak menyadarinya. Myria sedang memegang kamera, memotret di tengah keramaian pameran. Setelah semua selesai, dia dan Rika mampir ke kedai mi untuk makan malam. Barulah dia melihat ada satu panggilan tidak terjawab yang masuk sore tadi. Dia melihat nomor itu. Seketika, Myria langsung kehilangan selera makan. Nomor itu adalah milik Yavin.

© Webfic, All rights reserved

DIANZHONG TECHNOLOGY SINGAPORE PTE. LTD.