Webfic
Open the Webfic App to read more wonderful content

Bab 8

Dari pintu, terdengar suara Marry. "Julie, kamu sudah bangun? Tante buatkan pangsit kesukaanmu. Ayo, makan selagi hangat." Ucapannya membuat Julie teringat dengan perlahan. Dia meninggalkan Keluarga Luliver, lalu periksa ke rumah sakit. Dia berniat menjenguk Marry untuk terakhir kalinya. Julie mengetuk kepalanya dengan panik. Kenapa ingatannya jadi begitu buruk? Saat hendak bangun, dia kaget melihat bercak besar darah di seprai bermotif bunga. Julie menyentuh telinga kanannya. Dia merasa lengket. Saat melihatnya, telapak tangannya penuh dengan darah .... Bahkan alat bantu dengarnya juga berlumur darah .... Matanya bergetar. Dia buru-buru mengusap telinga dengan tisu, lalu segera membawa keluar seprai itu. Melihat Julie tidak turun, Marry heran. Kemudian, dia melihat Julie sedang mencuci seprai di balkon. "Kenapa?" "Lagi datang bulan. Aku nggak sengaja tembus di kasur," kata Julie sambil tersenyum. Selesai mencuci, dia sarapan bersama Marry. Dia menikmati ketenangan sejenak. Suara Marry kadang jelas, kadang samar. Julie takut, dia tidak bisa mendengar suara itu lagi. Dia juga takut jika Marry tahu, dia akan sedih. Setelah setengah hari di sana, dia diam-diam menaruh sebagian tabungannya di meja samping ranjang, lalu berpamitan pada Marry. Saat pergi. Marry mengantarnya ke stasiun. Dia melambaikan tangan perpisahan dengan enggan. Setelah Julie pergi, dia baru berbalik. Dalam perjalanan pulang, dia teringat dengan tubuh Julie yang tinggal tulang. Marry tidak tahan, hingga menelepon ke jalur internal Grup Luliver. Sekretaris kantor presiden dengar dia mencari Victor. Sekretaris itu tahu dia adalah pengasuh Julie, lalu dia menyampaikan. Hari ini adalah hari ketiga Julie pergi. Hai ini juga pertama kalinya Victor menerima telepon tentangnya. Dia duduk di kursi kantor. Suasana hatinya sangat baik. Dia merasa kata-katanya benar. Julie tidak kuat bertahan hingga tiga hari. Suara Marry yang tua terdengar di telepon. "Pak Victor, aku pengasuh Julie sejak kecil. Tolong, aku mohon, jangan lagi sakiti dia." "Dia tak sekuat kelihatannya. Baru lahir, Nyonya Poppy sudah menolaknya karena gangguan pendengaran, lalu menyerahkannya padaku." "Setelah usia sekolah, dia baru dibawa pulang .... Di Keluarga Purnama, selain Pak Gavin, semua memperlakukannya seperti pembantu. Dulu, entah berapa kali dia meneleponku diam-diam. Dia menangis bilang, Bibi Marry, aku tak mau jadi Nona Julie. Aku ingin pulang, jadi putri Bibi ...." "Kamu dan Pak Gavin itu orang yang paling dia sayangi di Kota Torun. Aku mohon, tolonglah Julie. Sejak kecil, hidupnya terlalu menderita." Victor mendengar suara Marry yang tersendat di seberang, hatinya mendadak tertekan. "Apa? Kemarin gagal menghina aku pakai uang, sekarang mulai pura-pura kasihan?" Suara Victor menjadi dingin. "Seperti apa hidup Julie, apa hubungannya denganku!?" "Itu semua pantas dia terima!" Setelah berbicara, dia langsung menutup telepon. Dulu, Marry hanya mendengar Julie cerita betapa baiknya Victor .... Sekarang, Marry baru sadar. Victor tidak baik, sama sekali tidak baik. Dia bukan jodoh yang pantas untuk Julie. ... Julie duduk di mobil menuju kota. Ponselnya bergetar. Saat dia buka, dia melihat pesan dari Victor. "Kamu bukannya mau cerai? Besok jam sepuluh ketemu." Julie menatap pesan itu. Dia bengong sejenak, lalu membalas, [Oke.] Hanya satu kata oke. Di mata Victor, jawaban itu terasa sangat menusuk. "Bagus. Lihat saja, berapa lama lagi kamu bisa berakting." Victor kehilangan keinginan untuk bekerja. Dia memanggil orang untuk minum. Di klub. Clara datang. "Hari ini mabuk sampai teler." Temannya, Steve, duduk di samping. Dia tidak tahan untuk bertanya tentang Julie, "Si Tuli itu, bagaimana hari ini?" Victor mengangkat alisnya. "Jangan sebut-sebut dia lagi. Besok kami resmi urus perceraian." Begitu mendengarnya, Clara menuang segelas untuknya. "Victor, selamat atas hidup barumu." Orang lain ikut meniru. Malam ini, Klub Termita ramai luar biasa. Steve mentraktir semua orang. Saat di luar, dia berbisik pada Clara. "Aku tahu Victor masih suka kamu. Kamu harus bahagia." Clara mengangguk. "Steve, terima kasih. Kalau bukan kamu yang bantu, mungkin aku dan dia bahkan tak punya kesempatan bertemu." Dia berkata jujur. Dulu, Clara bisa kenal Victor karena dia dapat bantuan Keluarga Purnama. Saat datang mengucap terima kasih, kebetulan dia bertemu Victor yang datang. Empat tahun lalu di rumah sakit, ibunya Victor, Yanny dan Steve mengalami kecelakaan mobil. Kebetulan Julie lewat di lokasi kecelakaan, lalu menyelamatkan Steve dan Yanny. Clara tahu, lalu dia mencari cara untuk menggantikan jasa Julie itu. Hal itu kenapa Steve begitu baik padanya. Dari balas budi berubah jadi persahabatan, bahkan cinta. Hal itu pula alasan Victor menolak banyak wanita lain, tetapi memilih Clara menjadi pacarnya. Hal ini, selain Clara, bahkan Julie pun tidak tahu. Julie selalu mengira Victor memilih Clara karena cinta. Dia juga selalu mengira Steve suka Clara karena kepribadiannya. Dia tidak tahu itu karena utang budi. "Kenapa segan banget sama aku? Bukannya kita teman?" Steve menatapnya. Sorot matanya penuh akan rasa yang tak bisa disembunyikan. Clara pura-pura tidak mengerti. Malam ini, Victor minum banyak. Clara ingin mengantarnya pulang. Soal pulang. Dulu, Victor lebih sering tinggal di hotel, di kantor atau di vila pribadinya. Namun, dia masih ingat Julie pernah berkata, "Vila Glendale itulah rumah kita." "Tak usah, tak pantas." Besok dia akan bercerai. Julie mungkin akan kembali. Setelah ditolak, Clara tidak rela. "Kenapa? Toh kamu akan cerai sama dia. Apa lagi yang nggak pantas?" "Jangan-jangan kamu takut dia tahu soal kita?" Soal mereka? Mata Victor menyipit. "Kamu salah paham." Begitu naik mobil, dia tetap menyuruh sopir mengantar Clara pulang dengan perhatian. Perjalanan kembali. Sesekali, dia mengangkat ponsel dan melihat apakah Julie mengirim pesan. Tidak ada .... Sampai rumah, Victor menatap Vila Glendale yang gelap gulita. Wajah Victor masam. Dia masuk, menyalakan lampu, tetapi dia tidak melihat Julie. Dia tidak kembali .... Rumah sama persis seperti sebelum Julie pergi. Pakaian yang dia taruh di samping mesin cuci tetap di sana. Berbeda dari biasanya, pakaian itu tidak dicuci dan digantung rapi. Dia langsung membuang pakaian itu ke tong sampah dengan kesal. Efek alkohol makin terasa. Victor duduk di sofa. Dia merasa tidak nyaman, lalu dia tertidur. Dalam tidurnya, dia bermimpi buruk. Dalam mimpi, tubuh Julie penuh dengan darah. Namun, dia berkata sambil tersenyum, "Victor, aku tak mencintaimu lagi." Victor terbangun dengan kaget. Di luar, langit baru saja terang. Dia memijat pelipis, lalu mencuci muka, berganti setelan rapi. Kemudian, dia berangkat ke KUA tepat waktu. Di KUA.

© Webfic, All rights reserved

DIANZHONG TECHNOLOGY SINGAPORE PTE. LTD.