Webfic
Open the Webfic App to read more wonderful content

Bab 6

Saat terbangun lagi, Chivonia menemukan dirinya terbaring di atas kasur di vila. Tawa yang berlebihan dan obrolan kartun terdengar dari luar pintu, suaranya begitu keras hingga hampir mengguncang dinding. Chivonia berdiri dan saat membuka pintu, dia melihat Scarlet duduk bersila di karpet ruang tamu dengan camilan di lengannya sambil tertawa terbahak-bahak di depan televisi. "Sudah bangun, Kak?" Scarlet berbalik, senyuman masih tersungging di wajah, "Maaf, apa aku yang nonton kartun mengganggumu?" Scarlet sengaja menggigit keripik kentang hingga menimbulkan suara gemeretak. "Dadaku sesak beberapa hari ini dan udara di vila ini bagus. Stev menyuruh tinggal di sini beberapa hari untuk memulihkan diri ... kuharap kamu nggak keberatan." Chivonia tanpa sadar melirik ke arah sofa .... Stevino duduk di sana, jari-jari ramping itu membolak-balik laporan keuangan. Sorot matanya dingin dan fokus di balik kacamata berbingkai emas. Suara televisi begitu kencang, tetapi dia sama sekali tidak terganggu. Chivonia tiba-tiba teringat apa yang dia tulis di buku harian. [Hari ini Stev marah lagi karena aku duduk di sebelah sambil makan apel. Dia bilang suara kunyahan itu mengganggunya kerja dan mengusirku.] [Ingat, kelak saat dia di ruang kerja, bernapaslah dengan lembut.] Sekarang .... Scarlet meremas kantong keripik kentang dan suara obrolan kartun yang begitu keras, Stevino malah tidak peduli. Perbedaan antara cinta dan tidak cinta begitu jelas. Chivonia hendak berbicara ketika Stevino tiba-tiba berkata, "Kalau bukan karena kecelakaan itu, rumah ini pasti milikmu." Suara pria itu dingin, tatapannya masih terpaku pada dokumen-dokumen itu. "Dia itu cuma menempati rumah orang lain, ngapain melapor padanya?" "Benar, kamu nggak perlu melapor padaku," kata Chivonia dengan tenang, "Kamu boleh tinggal selama yang kamu mau." Jari-jari Stevino berhenti sejenak saat membalik halaman, akhirnya menatap Chivonia. Sepasang mata itu agak menyipit di balik kacamatanya. Ini tidak seperti Chivonia yang biasa. Dulu dia akan menangis histeris atau menahan air mata, tidak pernah setenang ini. Namun perasaan aneh ini hanya bertahan di benaknya sesaat. Stevino mengalihkan pandangan dan terus mengerjakan dokumen-dokumen itu. Lagi pula, Stevino tidak pernah terlalu peduli pada apa pun yang berhubungan dengan Chivonia. Chivonia langsung masuk dan menutup pintu tanpa memedulikan apa yang pria itu pikirkan. Chivonia mengurung diri di kamar seharian penuh, mendengarkan suara-suara melengking tanpa henti dari luar. Scarlet menonton acara televisi dengan suara paling kencang, mengetuk-ngetuk lantai kayu dengan sepatu hak tinggi dan bahkan membuka bir kesayangan Stevino untuk dipadukan dengan ayam goreng. Semua hal ini seperti menguji kesabaran Stevino. Dulu kalau Chivonia tidak sengaja menabrak rak buku Stevino, dia akan disambut dengan tatapan dingin. Kalau berjalan dengan sandal dan membuat keributan, Stevino akan menghentikannya dengan dahi berkerut. Apalagi menyentuh bir ... tapi sekarang Chivonia mendengar Stevino berkata tanpa daya, "Pelan-pelan, nggak ada yang merebutnya darimu." Chivonia baru membuka pintu dan keluar saat jam makan malam. Meja sudah penuh dengan makanan. Scarlet duduk di samping Stevino, senyuman lebar tersungging di wajahnya. "Stev, semua ini makanan kesukaanku!" "Iya." Sorot mata Stevino lembut, "Aku ingat semua yang kamu suka." Scarlet tersipu, lalu menoleh ke arah Chivonia yang berdiri di pintu dan langsung memanggil, "Kak, ayo makan!" Chivonia berjalan ke ujung meja dan duduk tanpa suara. Saat itu Scarlet terlihat seperti nyonya rumah, sementara Chivonia adalah tamu yang tak diundang. Chivonia mengambil makanan di depannya dengan sendok. Setelah makan dua suap, tiba-tiba dia merasa tenggorokannya gatal. Chivonia mengerutkan kening dan mencicipi makanan lain, tetapi rasa tidak nyaman itu semakin kuat. "Kak, ada apa denganmu?" Scarlet tiba-tiba bertanya, "Kok ada bintik-bintik merah di tanganmu? Kamu alergi?" Chivonia menunduk dan melihat lengannya memang penuh dengan ruam merah. Napasnya tersengal dan dia mencoba berbicara, namun tidak ada suara yang keluar. Chivonia menunjuk tasnya dengan susah payah, tempat dia menemukan obat darurat. Dia buru-buru berdiri untuk memeriksa, tetapi tanpa sengaja menumpahkan mangkuk sup panas .... "Ah ...." Sup panas itu memercik ke seluruh lengan Chivonia yang penuh ruam dan rasa sakit yang hebat langsung membuatnya menangis. Dia melihat Stevino bergegas menghampiri, tetapi .... Pria itu memeluk Scarlet. "Ada kena sup?" Stevino yang cemas memeriksa tangan Scarlet, suaranya begitu lembut, "Kok begitu ceroboh?" Pandangan Chivonia menjadi gelap dan hal terakhir yang dia lihat sebelum pingsan adalah Stevino menggendong Scarlet pergi .... Saat terbangun lagi, Chivonia terbaring di ranjang rumah sakit. Perawat sedang mengganti infusnya. "Kamu punya alergi yang begitu parah dan hampir meninggal, juga mengalami luka bakar tingkat dua. Kok nggak ada seorang pun dari keluargamu yang datang menjenguk kamu selama dua hari ini?" Chivonia membuka mulut, tetapi mendengar celoteh di luar pintu. "Dengar-dengar Pak Stevino memesan seluruh lantai?" "Iya, cuma untuk luka bakar kecil di tangan Nona Scarlet." "Dia benar-benar memanjakannya! Kalau terlambat datang, lukanya pasti sudah sembuh ...." Chivonia perlahan memejamkan mata. "Aku nggak punya keluarga."

© Webfic, All rights reserved

DIANZHONG TECHNOLOGY SINGAPORE PTE. LTD.