Bab 3
Saat melihat penolakan di mataku yang tidak terlihat seperti sedang berakting, Lucio tertegun sejenak.
Hanya saja dia segera menatapku dengan tidak sabar. "Natalie, jangan buat masalah lagi."
Aku tidak menyukai nada bicara Lucio padaku, bahkan aku mulai tidak menyukai wajah Lucio yang sudah kusukai selama bertahun-tahun.
"Aku adalah istrimu, 'kan? Aku dirawat di rumah sakit karena bunuh diri, tapi kamu nggak menanyakan kondisiku setelah pulang ke rumah, sekarang kamu malah menuduhku. Lucio, atas dasar apa kamu bersikap seperti ini padaku?"
Amarahku sepertinya menyulut amarahnya juga.
Lucio memegang pergelangan tanganku dengan erat, lalu berkata dengan dingin, "Ini semua karena akibat dari perbuatanmu sendiri."
Lucio kebetulan memegang pergelangan tangan yang kulukai untuk bunuh diri dengan kuat.
Aku tidak bisa menahan rasa sakit ini, tapi aku menahan suaraku.
Rongga mataku dibasahi dengan air mata, aku melihat tampangku yang sangat menyedihkan di dalam mata Lucio.
Lucio tiba-tiba melepaskan tangannya, membalikkan tubuhku, lalu berkata dengan dingin sambil memelukku dari belakang.
"Aku bisa melupakan hal ini, tapi kamu nggak boleh pura-pura bunuh diri untuk mengancamku lagi."
Aku berusaha untuk meronta, tapi Lucio semakin memelukku dengan erat, terlihat jelas jika dia tidak ingin aku membalas ucapannya.
Terdapat perbedaan yang besar antara kekuatanku dengan Lucio, aku menyadari usahaku sia-sia setelah bergerak selama beberapa kali, jadi pada akhirnya aku menyerah.
Saat terbangun pada keesokan harinya, Lucio tidak berada di sisiku.
Aku turun ke lantai bawah setelah mengenakan pakaian, lalu melihat Lucio sedang sarapan di meja makan.
Pengurus rumah yang berdiri di samping Lucio menyapaku. "Selamat pagi, Nona Natalie.
Aku berdiri di sana tanpa bergerak, Lucio berkata tanpa mengangkat kepalanya, "Ayo makan."
Meskipun ini hanya sarapan, aku terkejut saat melihat begitu banyak makanan yang disajikan di atas meja.
Tidak heran mereka adalah keluarga kaya, makanan yang disajikan untuk sarapan saja sebanyak ini.
Aku duduk di seberang Lucio, lalu melihat pengurus rumah menyajikan semangkuk bubur sagu. Aku mengerutkan keningku saat mencium aroma mangga. "Kenapa ada bau mangga?"
Pengurus rumah berkata, "Mangga adalah buah kesukaan Nona Junia yang sengaja dikirim olehnya dari Erlian dengan pesawat ...."
Aku langsung kehilangan nafsu makanku. "Aku nggak mau makan."
Alat makan perak menimbulkan suara yang keras saat bersentuhan dengan porselen. Lucio menatapku, lalu berkata dengan dingin, "Natalie, hentikan tindakanmu."
Aku berkata dengan marah, "Apa masalahnya untukmu kalau aku nggak mau makan mangga?"
"Bukankah kamu nggak mau makan mangga karena itu diberikan oleh Junia?"
Raut wajah Lucio mendingin. "Natalie, kapan kamu bisa menghilangkan rasa irimu?"
Aku?
Aku iri dengan Junia?
Aku tidak tahu seperti apa Natalie yang berusia 25 tahun di dalam mata Lucio, mungkin dia adalah orang yang rendah hati dan berpikiran sempit.
Tidak peduli bagaimanapun juga kami adalah suami istri, apakah dia tidak tahu kalau aku alergi mangga?
Saat aku hendak berbicara, pengurus rumah tiba-tiba berkata, "Pak Lucio, Nona Junia sudah datang!"
Tidak lama kemudian terdengar seseorang berkata dengan suara yang lembut, "Lucio, aku nggak ganggu kalian, 'kan?"
Sebuah sosok yang ramping berjalan masuk dari pintu.
Pengurus rumah dan pelayan di sini semuanya mengenal Junia, terlihat jelas jika dia sering datang ke sini.
Aku langsung mengetahui jika dia adalah Junia begitu melihatnya sekilas.
Aku memperhatikan panggilan pengurus rumah pada Junia. Jelas-jelas aku adalah istri Lucio, tapi dia malah memanggilku Nona Natalie, sedangkan dia memanggil Junia dengan begitu akrab.
Hal ini terlihat jelas betapa dekatnya hubungan mereka.
Pantas saja aku yang berusia 25 tahun terus menyerang Junia, aku yang merupakan istri sah Lucio sama sekali tidak sebanding dengan rasa peduli Lucio pada wanita lain, apalagi dengan alasan teman masa kecil, siapa pun yang mengalami ini psikologisnya pasti akan runtuh.
Junia menatapku dengan prihatin. "Nona Natalie, aku dengar kamu melukai pergelangan tanganmu .... Apakah kamu baik-baik saja?"
Aku mendengus tanpa menanggapi ucapannya.