Webfic
Open the Webfic App to read more wonderful content

Bab 11

Melihat reaksi Raina sebesar ini, Theo yang bodoh juga menyadari ada yang aneh. Namun, saat melihat mata Raina yang memerah, kecurigaan di hatinya lagi-lagi dilempar keluar olehnya. Theo mengelus kepala Raina dengan lembut, lalu menghiburnya, "Kalaupun si pembawa bencana itu hamil, tetap bukan ancaman untukmu. Anaknya itu juga bakal ke luar negeri bersamanya." Kata-kata ini membuat Raina semakin marah. "Kamu mau membiarkan dia melahirkan anaknya itu?" "Raina ...." Theo terkejut melihat ekspresi Raina, sekian lama tidak tahu harus bagaimana. Untungnya Raina segera kembali menjadi wanita yang lemah lembut seperti biasanya. Dia menunduk menyeka matanya yang kering, lalu berkata dengan suara bergetar, "Aku hanya merasa anak ini nggak seharusnya dilahirkan. Kak Theo, biarkan aku menggugurkannya saja." "Nggak boleh!" Theo langsung menolak. Dia berpikir dengan wajah serius. Ketika mendongak lagi, matanya sudah bersinar lagi. "Aku nggak bisa apa-apa, tapi Kak Joseph pasti punya solusi. Aku cari Kak Joseph sekarang juga." Mencari Joseph Hartono? Mata Raina bergetar, lalu dia refleks memanggil Theo. Joseph sudah lama ke luar negeri, selama ini dia bertanggung jawab atas pasar luar negeri. Selain itu, matanya sangat tajam, bahkan lebih menakutkan dari Noah Hartono, ayah angkatnya. "Jangan, aku pikirkan lagi sebentar." Setelah itu, Raina tersenyum paksa. Ekspresi Raina ini benar-benar berbeda dari biasanya, Theo agak bingung. Kemudian, dia tiba-tiba teringat kata-kata Reynald tadi. Setelah ragu-ragu sejenak, Theo akhirnya memutuskan untuk bertanya. "Raina, kenapa Reynald nggak mengakui anak ini?" "Ini ...." Raina menghindari tatapan Theo. Di saat yang sama, muncul kekesalan di matanya. Orang ini kenapa menyebalkan sekali? Memangnya dia tidak bisa lihat kalau dia sengaja tidak mau menjawab? Namun, saat ini Raina tidak berani menunjukkan kekesalannya. Setelah sekian lama tidak mendapatkan jawaban, rasa aneh di hati Theo kembali muncul. Dia sengaja menyindir, "Kamu takut Reynald nggak mengakuinya? Kamu tenang saja, ada aku di sini, kamu pasti bisa menikah dengan Reynald." Raina memainkan jarinya dengan gelisah, seakan-akan sedang memikirkan kata-kata Theo. Setelah sekian lama, Raina akhirnya menghela napas. Dia menunduk tak berdaya lalu bergumam, "Anak ini punya Reynald, tapi Reynald nggak tahu. Malam itu dia mabuk, jadi ...." Theo langsung mengangguk tanda mengerti. "Aku mengerti, hilang ingatan setelah mabuk. Tapi ini bukan berarti dia boleh nggak bertanggung jawab. Aku ke sana sekarang juga meminta mereka cerai!" Theo berbicara sambil berdiri hendak mencari Reynald lagi. Adiknya mana boleh ditindas Reynald begitu saja? Melihat Theo mau mencari Reynald lagi, Raina langsung memeluk lengan Theo. Di saat yang sama, dia memutar bola matanya. Si bodoh ini masa tidak bisa melihat kalau dia tidak ingin Reynald tahu? "Kak Theo." Raina memanggil Theo dengan nada sedih. "Reynald itu pria yang sangat bertanggung jawab. Sekarang Kak Kezia sudah hamil, jangan minta mereka cerai, aku nggak mau Reynald kesusahan. Sedangkan anakku ini ...." Raina mengelus perutnya dan melihat perutnya dengan tatapan tidak rela. Setelah beberapa saat, Theo menghela napas. "Jadi apa yang mau kamu lakukan?" Raina pun tersenyum. "Aku mau melahirkan anak ini, mulai sekarang, dia anakku seorang." "Nggak boleh!" Theo terus menggelengkan kepalanya. Kalau sampai Ayah dan Kak Joseph tahu, dia pasti akan dibunuh mereka. Namun, mata Raina mulai berkaca-kaca, membuatnya tidak rela menolak. Akhirnya, dia menghindari tatapan Raina, nada bicaranya juga jadi tidak seyakin tadi. "Melahirkan anak itu sangat susah, apalagi badanmu lemah sekali. Kalau kamu suka anak-anak, bagaimana kalau kamu merebut anak si pembawa bencana itu?" Meski si pembawa bencana bersalah, anak itu memang milik Reynald. Kalau merebut anak itu, Raina tidak perlu mengalami penderitaan melahirkan, juga bisa memutuskan hubungan si pembawa bencana dan Reynald. Muncul kebencian di mata Raina, tapi di luar dia tetap memasang muka polos. "Anak ini bisa terlahir jadi anak Kak Kezia juga nggak mudah. Sudahlah, aku menghormati keputusan Reynald." Mendengar kata-kata ini, Theo semakin kasihan padanya. Dia mengelus rambut Raina sambil berkata, "Kalau kamu mau melahirkan anak ini, aku harus menyiapkan tempat yang tenang untukmu. Sebelumnya ibuku memberiku sebuah pulau. Dulu bukannya kamu sangat suka tempat itu? Aku kasih ke kamu." Mendengar itu, muncul kegembiraan di mata Raina. Namun, dia menggeleng sambil berkata, "Itu peninggalan Bibi untukmu, aku nggak bisa terima." "Ini hadiah dariku untukmu. Kalau Ibu tahu, dia pasti juga senang." Tanpa menunggu Raina menolak lagi, Theo sudah berlari keluar untuk mengurus dokumen pindah nama. Melihat sosok Theo yang menjauh, Raina tersenyum angkuh. Seperti yang sudah dia tahu, Theo adalah orang yang paling mudah dibohongi di Keluarga Hartono. Di sore hari. Kezia sedang menggambar di lantai atas, sebuah mobil Bentley berhenti di depan vila. Raina berjalan masuk. Pak Thomas pun melihatnya dengan ekspresi ragu. "Nona Raina, Nona datang kenapa nggak bilang dulu? Biar aku bisa minta koki menyiapkan makanan yang Nona suka." Raina tersenyum lembut pada Thomas, lalu melihat ke ruang tamu. Kemudian, dia tiba-tiba mengernyit. "Pak Thomas, Kak Kezia nggak di sini?" Mendengar Raina datang mencari Kezia, Thomas semakin merasa kesusahan. Melihat ini, Raina tidak marah, melainkan tetap tersenyum. "Pak Thomas tenang saja, aku bisa tahu Kak Kezia ada di sini pasti karena Kak Theo yang kasih tahu. Hari ini aku datang untuk bicara dengan Kak Kezia, untuk memperbaiki hubungan mereka." Setelah mendengar alasan ini, Thomas langsung menghela napas lega. Dia menunjuk ruangan baca di atas. Setelah mendapat jawaban memuaskan, Raina langsung naik ke atas. Dia tidak mengetuk pintu, melainkan langsung berjalan masuk. Sementara Kezia sedang fokus pada karyanya, sama sekali tidak menyadari keberadaan Raina. Sampai ketika gambar desainnya dirampas. "Heh ...." Raina tiba-tiba mencibir. "Kak Kezia, memangnya ada yang beli gambar sampahmu ini?" Kezia mendongak, melihat sikap Raina yang angkuh, dia mengernyit. "Kembalikan." "Kalau aku nggak mau?" Raina melambaikan kertas itu, lalu membungkuk melihat Kezia. Tiba-tiba, muncul kebencian di mata Raina. Dia mencengkeram dagu Kezia lalu memperingatkan Kezia sambil menggertakkan giginya, "Keluarga Hartono itu punyaku, Reynald juga punyaku. Kamu beraninya mengandung anak Reynald. Kak Kezia, kamu beneran pantas mati." Melihat kebencian di mata Raina, Kezia refleks melindungi perutnya. Dia menatap Raina dengan penuh waspada. "Aku sudah memutuskan cerai dengan Reynald, aku juga nggak akan merusak pesta pernikahan kalian. Apa lagi yang kamu mau?" "Heh!" Raina lagi-lagi mencibir. Dia merobek gambar desain itu lalu menghela napas. "Selama kamu masih hidup, aku nggak akan senang. Bagaimana kalau kamu mati saja?" Begitu selesai bicara, Raina menepuk kepalanya. "Benar juga, kamu dan ibumu yang pendek umur itu sama, sudah mau mati." Setelah itu, Raina lagi-lagi tertawa. Muncul kilatan kebencian di mata Kezia. Dia mengepalkan tangannya, matanya berubah serius. "Raina, bagaimanapun juga, ibuku itu orang yang pernah membantumu. Kamu jangan keterlaluan." Namun, Raina sama sekali tidak ada rasa hormat terhadapnya, kata-katanya selanjutnya membuat orang semakin kecewa. "Aku bahkan merasa dia hidup terlalu lama, membuatku hidup menderita lebih lama."

© Webfic, All rights reserved

DIANZHONG TECHNOLOGY SINGAPORE PTE. LTD.