Bab 6
Kezia membuka matanya dengan susah payah, bulu matanya yang basah karena air mata bergetar.
Dia ingin menjelaskan, tapi belum sempat membuka mulut, rasa amis di mulutnya semakin banyak.
Melihatnya tidak berbicara, Reynald mengernyit. Suhu di dalam mobil yang sempit ini pun semakin dingin.
Merasakan tekanan ini, Kezia tanpa sadar gemetar.
Setelah berhasil menelan kembali cairan amis itu, sebelum dia sempat berbicara, Reynald tiba-tiba menyuruh sopir menghentikan mobil.
"Keluar."
Dia melihat Kezia dengan penuh kebencian.
Kezia melihat ke luar jendela dengan panik, di sekitar hanya ada kegelapan, tasnya masih ada pada Alva, dia sama sekali tidak punya uang untuk naik taksi.
Bahkan ponselnya juga tidak di tangannya.
Melihat Kezia tidak bergerak, Reynald langsung membuka pintu lalu menarik Kezia keluar dari mobilnya.
Kemudian, dia melempar Kezia ke jalanan, dan berkata sambil melihatnya, "Jangan mengotori mobilku."
Melihat Reynald mau pergi, Kezia refleks memeluk kakinya.
Dia mendongak lalu berkata ketakutan,
"Reynald, maafkan aku. Jangan tinggalkan aku di sini, di sini nggak ada taksi, aku ...."
Reynald menarik kakinya dengan jijik, lalu berkata dengan sangat ketus,
"Ada taksi atau nggak apa hubungannya denganku?"
Setelah itu, dia mencibir lagi.
Kalau bukan karena takut Kezia melakukan sesuatu yang merusak nama baik Keluarga Geraldi dengan pria itu, dia mana mungkin peduli sama wanita jalang ini.
Reynald masuk ke mobil tanpa melihat Kezia lagi. Maybach hitam itu langsung melaju pergi, meninggalkan Kezia di jalanan.
Angin dingin berembus, Kezia pun gemetar kedinginan.
Dingin sekali.
Lambungnya juga terus berdenyut sakit, seperti ditarik-tarik oleh tangan-tangan yang tak terlihat.
Namun, di sekitar sama sekali tidak ada siapa-siapa, dia bahkan tidak bisa meminta bantuan.
Brummm ....
Tiba-tiba terdengar suara motor dari kejauhan.
Setelah itu, sinar terang menyilaukan mata Kezia.
Kezia pun refleks menutup matanya.
Tak lama kemudian, beberapa motor berhenti di depannya, lalu beberapa preman kecil dengan rambut warna-warni menghalangi jalannya.
Pria berambut biru yang berdiri paling depan bersiul sambil melihat Kezia.
"Wah, adik cantik sendirian saja?"
Merasakan tatapan yang mesum itu, Kezia tanpa sadar gemetar.
Dia berdiri sambil berusaha menahan rasa sakit, lalu mencoba mengancam para preman dengan suara yang bergetar.
"Kalian sebaiknya segera pergi, suamiku itu Reynald Geraldi, aku ini istrinya."
"Heh!"
Pria berambut biru itu meludah ke jalanan.
"Adik cantik, jangan takut, Kakak ini orang baik. Kamu sendirian di sini pasti takut, bagaimana kalau Kakak temani kamu?"
Saat berbicara, dia sudah mengulurkan tangannya mau menyentuh Kezia.
Kezia refleks melangkah mundur.
Dia melipat tangannya di depan dada, matanya yang berkaca-kaca menatap para preman di depannya dengan penuh waspada.
Saat dia mendongak, pria berambut biru itu seketika terpesona.
Kemudian, dia menjilat bibirnya dengan mesum.
"Kelihatannya kali ini kita untung, dapat gadis secantik ini. Biasanya seenggaknya harus habis banyak duit untuk main sama yang beginian."
"Benar, Bos. Kualitas seperti ini cuma pernah kulihat di klub, biasanya mereka matre sekali, mau pegang tangan saja nggak boleh."
"Hehe .... Kalau begitu, bukannya hari ini kita untung besar?"
Tatapan orang-orang itu semakin mesum.
Seakan-akan mereka sudah melihatnya telanjang.
Tubuh Kezia bergetar semakin hebat.
Dia berbalik hendak lari, tapi rambutnya ditarik oleh pria berambut biru itu.
Pria itu melemparnya ke tanah, lalu menendang perutnya dengan sangat kuat.
"Cih! Beraninya mau lari? Hari ini bakal kuperkosa kamu di sini, biar kamu menunduk sepenuhnya kepadaku."
Mendengar kata-katanya yang semakin tidak disaring, keringat dingin di kening Kezia semakin banyak.
Melihat tangan mesum pria itu mau menyentuhnya lagi, Kezia kembali mengancam,
"Aku ini istrinya Reynald Geraldi, kalian nggak boleh menyentuhku."
"Hehe ...." Pria berambut biru itu berbalik melihat teman-temannya. "Kalian dengar? Dia bilang dia itu istrinya Reynald Geraldi."
Orang-orang itu tidak hanya tidak takut, malah semakin bersemangat.
Bahkan ada satu pria yang sangat kurus sudah semangat sampai matanya berbinar-binar.
"Kebetulan sekali, yang mau kami tiduri itu memang istrinya Reynald Geraldi."
Mereka datang dengan tujuan?
Tanpa menunggu Kezia berpikir, pria berambut biru sudah mengulurkan tangannya mau melepas baju Kezia.
Ukh ....
Muntahan darah langsung menyemprot tangan pria berambut biru itu.
Pria itu berteriak lalu langsung menendang Kezia dengan jijik.
"Wanita jalang, kamu menjijikkan sekali!"
Lambungnya memang sudah sakit dari tadi, sekarang ditendang lagi oleh pria ini, darah di mulut Kezia pun semakin banyak.
Kesadarannya juga semakin kabur.
Akhirnya, matanya berubah gelap, dia sudah kehilangan kesadaran, terkapar di tanah.
Melihat dia pingsan, pria berambut hitam itu langsung mundur ketakutan.
Para preman yang lain juga sama.
Seorang preman yang tadinya mau merekam langsung melihat ke pria berambut biru itu.
"Bos, kita gagal? Gimana kalau sampai wanita ini mati?"
"Diam kamu!"
Pria berambut biru itu memelototi temannya, lalu melihat Kezia dengan kesal.
Samar-samar, bisa terlihat keengganan di matanya.
Setelah berpikir sejenak, pria itu akhirnya memutuskan pergi.
"Ayo, uang segitu saja, nggak layak untuk kita dituduh membunuh."
Di kediaman Keluarga Hartono.
Raina yang sudah diantar pulang oleh sopir melempar ponselnya ke dinding.
Dia melihat ke luar jendela dengan tatapan marah sambil menggertakkan giginya.
"Sial! Wanita jalang itu kenapa nggak langsung mati saja!"
Reynald bisa-bisanya mengabaikannya demi si Kezia jalang itu, terus sekarang para preman itu membiarkan Kezia hidup.
Kezia!
Sialan! Sudah mau mati kenapa masih saja menghalangi jalannya!
Tok, tok ....
Terdengar suara ketukan pintu dari luar. Kebencian di wajah Raina seketika menghilang, digantikan dengan ekspresi polos.
Keesokan paginya.
Kezia mendengar suara alat yang familier, lalu perlahan-lahan membuka matanya.
Melihat langit-langit berwarna putih, dia tersenyum pahit sambil bangun.
Dia mengira dirinya akan mati.
Melihat dia menangis, perawat yang sedang mengatur mesin di sampingnya menghela napas.
"Nona Kezia, kamu sendiri juga tahu kondisimu sekarang. Menurutku, kamu sebaiknya tinggal di rumah sakit, jangan ke mana-mana lagi."
Kezia melihat ke sekeliling kamar yang kosong, lalu melihat perawat dengan ekspresi penasaran.
"Siapa yang mengantarku ke sini?"
"Nggak tahu," ujar perawat sambil menggeleng.
Kezia menunduk lalu berkata pada dirinya sendiri, "Orang baik ini mungkin malah memperburuk keadaan, kalau ...."
"Kezia!" Tiba-tiba terdengar suara penuh amarah dari pintu.
Setelah itu, seorang pria tampan memakai jas abu metalik berjalan masuk.
Wajah pria itu agak mirip dengan Kezia, tapi kebencian di matanya sama seperti Reynald.
"Kamu kenapa nggak mati saja di luar? Setiap hari tahunya menindas Raina!"
Mendengar ini, Kezia tidak hanya tidak marah, malah tertawa.
Dia sendiri bahkan tidak tahu kapan dia menindas putri kesayangan Keluarga Hartono ini.
Melihat Kezia tidak bersuara, pria itu langsung melempar sebuah surat perjanjian cerai ke kasur.
"Jangan pura-pura lagi. Kalaupun kamu mati sekarang, kami juga nggak bakal meneteskan air mata. Raina sudah hamil anak Reynald, kamu cerai sekarang juga dengannya."