Bab 3
Begitu melihat Brianna, ekspresi lembut di wajah Carlo langsung digantikan dengan amarah.
"Brianna! Siapa yang mengizinkanmu datang ke sini?!" Carlo melangkah maju dengan cepat, lalu berkata dengan dingin dan jijik, "Pergi dari sini! Kamu nggak berhak menemuinya!"
Brianna perlahan-lahan berdiri sambil memegang batu nisan, dia berkata dengan suara yang serak dan rongga mata yang memerah, "Aku ... merindukan Carmella, jadi aku datang ...."
"Merindukannya?" Carlo seperti sehabis mendengar sebuah lelucon yang sangat konyol, dia tiba-tiba mengulurkan tangan untuk mencengkeram leher ramping Brianna dengan kuat sampai hampir mematahkan tulangnya. "Beraninya kamu merindukannya? Carmella begitu memercayaimu dan kasih kesempatan untuk melarikan diri padamu, tapi apa yang kamu lakukan? Kamu kabur! Kamu meninggalkannya sendirian bersama binatang-binatang itu! Apakah kamu tahu betapa tragis kematiannya? Hah?!"
Brianna langsung merasa tercekik, udara di paru-parunya langsung menghilang, pandangannya juga perlahan-lahan menggelap.
Dia sama sekali tidak meronta, bahkan memejamkan matanya.
Baguslah jika dia mati seperti ini ....
Mati di tangan pria ini dan di depan batu nisan Carmella bisa dianggap sebagai sebuah penebusan dosa dan terbebaskan dari perasaan bersalah.
Hanya saja saat Brianna hampir kehilangan kesadaran, pria itu tiba-tiba melepaskan tangannya.
Brianna terjatuh ke tanah dengan lemas, lalu terbatuk sambil memegang tenggorokannya dan menarik napas dalam-dalam.
Begitu mendongak, Brianna bisa melihat tatapan penderitaan dan perjuangan yang rumit di mata pria itu dengan jelas.
Hatinya tercekat.
Tidak disangka pria itu masih memiliki sedikit rasa belas kasihan.
"Carlo ...." Firlia menghampiri mereka pada saat ini, lalu memeluk lengan Carlo dan mengeluh dengan suara yang lembut. "Mataharinya terik sekali, ayo kita segera temui Carmella. Sebaiknya jangan buang-buang waktu dengan orang yang nggak berguna."
Carlo memejamkan matanya. Begitu dibuka kembali, matanya sudah kembali terlihat dingin dan datar.
Pria itu mengambil bunga dari tangan Firlia, lalu meletakkannya dengan lembut di depan batu nisan Carmella tanpa melirik Brianna yang terjatuh di lantai.
"Ayo pergi," ujarnya pada Firlia dengan rendah.
Setelah berjalan beberapa langkah, Firlia mengatakan bahwa kakinya sakit.
Carlo segera berlutut di depan Firlia, lalu menggendongnya dengan lembut di punggungnya. Setelah itu, menuruni tangga batu di pemakaman dengan langkah yang mantap.
Hati Brianna seperti ditusuk oleh pisau saat melihat sosok mereka yang menjauh.
Dulu pria itu juga pernah menggendongnya seperti itu.
Waktu itu saat mereka sedang mendaki gunung, Brianna menolak untuk berjalan lagi. Pria itu tersenyum tidak berdaya, tapi tetap berjongkok di depannya, lalu berkata dengan lembut, "Naiklah."
Punggungnya sangat lebar, selain itu samar-samar juga bisa tercium aroma pinus dari tubuhnya.
Brianna sangat suka digendong olehnya dan tidak ingin turun. Brianna meminta Carlo mengatakan bahwa dia akan menggendongnya seumur hidup.
Carlo terkekeh, lalu berkata dengan penuh kasih sayang, "Baik, aku akan gendong Anna seumur hidupku."
Pada saat itu, Carmella bahkan mengeluh dari samping. "Kakak, Kakak Ipar, tolong jangan bermesraan di depanku lagi!"
Cahaya mataharinya sangat indah, anginnya juga sangat lembut.
Hanya saja, semuanya sudah tidak bisa kembali seperti semula sekarang.
Brianna menahan perasaan tidak nyaman di tenggorokannya, lalu diam-diam mengikuti di belakang mereka.
Saat melewati samping mobil, Carlo meliriknya dengan dingin. "Cepat masuk ke dalam."
Brianna tertegun sejenak.
"Kalau kamu tinggal di sini sedetik lebih lama, kamu akan mengotori tempat peristirahatan adikku," ujar pria itu dengan kasar.
Brianna membuka pintu mobil dalam diam, lalu masuk ke dalam.
Lain kali ... dia juga tidak akan bisa datang ke tempat ini lagi.
Mobil melaju di jalan pegunungan yang berkelok-kelok.
Firlia sengaja menempelkan tubuhnya dengan Carlo. Dia bahkan sengaja menyentuh paha Carlo, lalu menempelkan bibirnya di telinga pria itu.
Jakun Carlo bergerak, suaranya juga menjadi sangat serak. "Lia, jangan main-main. Aku lagi menyetir."
"Nggak mau ...." Firlia berkata dengan manja, bahkan mulai mencium telinganya. "Aku menginginkannya ... lagi pula kita belum pernah melakukannya di dalam mobil ...."
Tatapan Carlo menggelap, dia langsung memutar kemudi dan menghentikan mobil di jalan darurat.
Dia menoleh, lalu menatap Brianna yang sedang duduk di belakang dengan dingin. "Keluar."
Wajah Brianna memucat, dia mencengkeram ujung pakaiannya dengan erat.
"Kamu nggak ngerti bahasa manusia? Cepat keluar!" Carlo mengulang ucapannya dengan tidak sabar, bahkan sama sekali tidak terdapat tatapan lembut di matanya.
Brianna membuka pintu dengan tangan yang gemetar. Begitu menuruni mobil, pintu mobil langsung ditutup dengan keras.
Setelah itu, badan mobil mulai bergoyang dengan hebat dan berirama, bercampur dengan teriakan menawan seorang wanita dan desahan tertahan seorang pria.