Bab 4
Baru setelah operasi Nadya selesai, Luna akhirnya dibawa masuk ke ruang operasi.
Saat dia sadar, luka di punggungnya terasa perih dan panas.
"Nona Luna, dengan sangat menyesal kami harus memberi tahu Anda ... " Dokter itu ragu sejenak. "Karena operasi tertunda, luka bakar di punggung Anda akan meninggalkan bekas permanen."
"Jika Anda khawatir suami Anda keberatan, Anda bisa mempertimbangkan operasi plastik rekonstruktif ... "
Luna tersenyum kecil, dan gerakan itu membuat luka di wajahnya tertarik. "Nggak perlu. Suamiku nggak pernah menyentuhku, dia nggak akan peduli dengan bekas luka ini."
Dia terdiam sejenak, sorot matanya tenang dan perlahan berubah menyeramkan. "Lagi pula, sebentar lagi dia sudah bukan suamiku."
Pintu kamar pasien tiba-tiba terbuka.
"Apa maksudmu?" Charlie berdiri di ambang pintu, alisnya mengerut tajam.
Dokter itu langsung tahu diri dan keluar, menutup pintu dengan hati-hati.
Luna menutup matanya dengan lelah, tidak ingin bicara.
Tatapan Charlie akhirnya jatuh pada tubuhnya yang penuh perban, suaranya jarang sekali terdengar lunak. "Hari itu ... aku pikir kamu sudah dievakuasi dengan selamat dari pusat perbelanjaan."
Jakunnya bergerak. "Aku nggak menyangka lukamu separah ini."
"Begitu mendengar kabarnya, aku langsung datang melihatmu."
Luna membuka mata, menatapnya dengan tenang. "Nggak apa-apa, aku sudah terbiasa."
Suaranya datar tanpa emosi. "Bagaimanapun juga, di saat-saat aku paling membutuhkanmu, kamu nggak pernah ada."
"Jadi kali ini pun nggak masalah."
Kerutan di alis Charlie makin dalam. Dia terdiam sejenak, lalu mengeluarkan sebuah kartu hitam dari saku jasnya. "Ini kompensasi."
Luna tidak menerima kartu itu, hanya menatap lurus ke mata Charlie.
"Aku mau seratus miliar. Transfer sekarang."
Charlie jelas tertegun, seolah tak menyangka Luna akan meminta sebanyak itu sekaligus.
Namun dia tidak bertanya lebih jauh. Dia hanya menggumam pelan sambil membuka aplikasi bank di ponselnya. "Apa yang sedang terjadi padamu?"
Luna baru hendak membuka mulut ketika ponsel Charlie berdering.
"Nadya?" Suaranya seketika menjadi lembut. "Baik, aku segera ke sana."
Setelah menyelesaikan transfer, dia cepat-cepat menyimpan ponselnya. "Aku akan menemuimu lagi nanti."
Luna menatap punggungnya dan berkata pelan, "Uang itu, anggap saja sebagai pembagian harta gono-gini."
"Saat surat cerai keluar ... " Suaranya sangat lembut, namun tiap kata terdengar jelas, "Kita selesai."
...
Hal pertama yang dilakukan Luna setelah keluar dari rumah sakit dan pulang adalah membereskan semua benda yang berkaitan dengan Charlie.
Di ruang kerja, dia membuka lemari penyimpanan yang sudah lama tertutup debu. Di dalamnya tersusun rapi hadiah-hadiah yang dia berikan pada Charlie selama ini.
Pulpen edisi terbatas yang belum pernah dibuka, sepasang kancing manset khusus yang tetap terbungkus rapi, dan syal kasmir dengan label yang belum pernah dipotong.
"Turunkan semuanya," ucapnya pelan kepada para pembantu. "Yang nggak berguna, bakar saja. Yang masih bisa dipakai, kalian ambil."
Para pembantu memeluk barang-barang mahal itu dengan antusias, berkali-kali berterima kasih.
Menjelang senja, Charlie pulang dan kebetulan melihat kepala pelayan sedang dengan hati-hati mengelap pulpen Montblanc yang belum pernah dia gunakan.
"Ada apa ini?" tanyanya sambil mengerutkan alis.
Kepala pelayan menjawab ketakutan, "Itu pemberian Bu Luna untuk kami."
Ada suatu getaran di hati Charlie.
Dia langsung naik ke lantai atas, membuka pintu kamar, dan melihat Luna sedang merapikan lemari pakaian.
"Kenapa kamu memberikan barang-barangku ke orang lain?" tanyanya dengan suara dalam.
Luna tidak menoleh, suaranya datar. "Kamu nggak pernah menggunakannya. Dibiarkan pun hanya berdebu. Lebih baik diberikan pada yang butuh, supaya ada gunanya."
Charlie menatap wajahnya dari samping. Ada sesuatu yang terasa berbeda, namun pria itu tidak bisa memastikan apa.
Sampai dia kembali ke ruang kerja, dan menyadari kotak kayu cendana itu sudah tidak ada.
Itu adalah kancing manset safir pemberian Nadya, yang selalu dia simpan di bagian terdalam laci.
"Luna." Dia menerobos masuk kamar, wajahnya gelap dan menakutkan. "Kembalikan mansetku!"
Luna menatapnya dengan alis berkerut. "Manset apa?"
Dengan wajah dingin, Charlie membuka album foto di ponselnya. "Ini. Kamu berikan ini pada siapa? Temukan dalam satu jam. Kalau nggak, tanggung sendiri akibatnya."
Luna menatap foto itu selama tiga detik. Dia langsung tahu, hanya sesuatu yang berkaitan dengan Nadya yang bisa membuatnya kehilangan kendali seperti ini.
Dia yakin tidak mengambil kotak itu, namun tetap khawatir ada yang terlewat, sehingga mulai menggeledah seluruh vila.
Yang mengejutkan, Charlie juga ikut mencari.
Pria dengan obsesi kebersihan berat itu, saat ini bajunya berdebu, sepatu mahalnya masuk ke tumpukan sampah, dan jari-jarinya mengais kantong plastik kotor.
Luna berdiri di samping, tiba-tiba merasa sesak.
Enam tahun menikah, baru kali ini dia melihat pria itu mengabaikan dirinya sendiri demi sebuah barang.
Ternyata hadiah dari Nadya memang sebegitu berharganya bagi dia.