Webfic
Open the Webfic App to read more wonderful content

Bab 3

Di kehidupan sebelumnya, Grace menggunakan alasan yang sama untuk menunda pernikahan setahun demi setahun. Selama Grace belum mengizinkan, Harvey tidak akan pernah menikahinya. Memikirkan hal itu, Kirana tersenyum getir. "Boleh, aku boleh kapan saja." Apa yang tidak boleh? Lagi pula pada akhirnya mereka memang tidak akan pernah menikah. Dia meletakkan sumpit dan berkata, "Aku sudah selesai makan." Lalu dia naik ke lantai atas tanpa menoleh sedikit pun. Melihat punggungnya yang tegas, Harvey untuk pertama kalinya merasa Kirana sepertinya sudah berubah. Dia tidak tahu apa yang aneh, tapi jelas berbeda dengan yang dulu. Hari-hari berikutnya, karena pernikahan ditunda tanpa batas waktu, mereka berdua tidak perlu lagi mengurus persiapannya. Harvey punya banyak waktu untuk menemani Grace bepergian. Grace bahkan mengajak Farhan, Monica, dan George, hanya Kirana yang tidak diajak. Alasannya karena Kirana baru donor darah, harus istirahat. Tentu saja. Mereka barulah keluarga yang harmonis. Kalau Kirana ikut, bukankah dia hanya akan menjadi duri di mata mereka? Untuk apa dia menyiksa dirinya sendiri? Untuk berbagi kebahagiaan itu, setiap kali Grace berfoto saat berlibur, dia akan mengirimkannya pada Kirana. Dengan latar belakang pemandangan indah, dia berdiri di tengah, tersenyum bahagia menerima kasih sayang semua orang. "Kirana, sayang sekali kamu nggak bisa datang. Pemandangan di sini sangat indah!" "Ayah dan Ibu bilang kalau aku suka tempat ini, mereka akan belikan rumah di sini supaya aku bisa sering mampir." "Kirana, Kakak bilang ke mana pun aku mau pergi, dia akan selalu menemaniku." "Paman juga kasih aku hadiah besar, kamu mau tahu apa itu?" Kirana menghapus semua foto yang dikirimkan Grace, lalu mematikan ponsel dan mulai merapikan barang-barangnya. Dia hanya perlu bertahan sedikit lagi, lalu dia akan benar-benar terbebas. Pada saat inilah, dari lantai bawah tiba-tiba terdengar suara samar. Gerakan tangan Kirana langsung berhenti dan beberapa potongan ingatan dari kehidupan sebelumnya terlintas di kepalanya. Dia ingat, pada kehidupan sebelumnya, pada waktu ini, seorang penjahat masuk ke rumah. Penjahat itu tidak hanya mencuri perhiasan bernilai fantastis, tapi juga menghancurkan semua karya lukisannya. Dalam sekejap saja, alarm bahaya di hatinya berbunyi. Uang dan harta adalah hal luar, tapi karya-karyanya adalah darah dan air matanya sendiri. Saat memikirkan itu, dia buru-buru menyelamatkan semua karyanya, kemudian menelepon polisi. Setelah itu, dia mengambil sebilah pisau dan bersembunyi di balik pintu. Dengan pengalaman kehidupannya yang sudah pernah mengalaminya sekali, kali ini, dia berhasil membantu polisi menangkap penjahatnya. Hanya saja, perbedaan kekuatan mereka terlalu besar. Meskipun dia tahu apa yang akan dilakukan penjahat selanjutnya, dia tetap tidak mampu menahan kekuatannya. Kali ini, bukan hanya tubuhnya terluka di banyak tempat, bahkan dia terpeleset jatuh dari tangga. Wajahnya berlumuran darah. Ketika Keluarga Limanta dan Harvey pulang, mereka hanya melihat mobil polisi pergi dan Kirana duduk di sofa dengan keadaan sangat berantakan, sementara seluruh ruangan porak-poranda. Farhan dan Monica tertegun, suara mereka sampai terbata-bata. "Kamu ... kamu menangkap penjahat itu sendirian?" "Kenapa kamu nggak telepon kami? Penjahat yang masuk ke rumah sangat kejam! Kamu nggak sayang nyawamu?" George yang biasanya paling dingin pun tampak terkejut. "Benar! Ada penjahat masuk tapi kamu nggak telepon keluarga! Apa maksudmu? Mau membuat seolah kita semua suka menindasmu?" Kirana terlalu lelah, bahkan tidak punya tenaga untuk bicara. Dia duduk di sofa, tangan yang tadi memegang pisau masih bergetar hingga kini. Saat melihat itu, Harvey buru-buru maju dengan cemas dan menggenggam tangannya. "Kirana, bagaimana kondisimu? Ada yang terluka nggak? Perlu ke rumah sakit?" "Kamu ini terlalu bodoh, kenapa nggak menelepon kami?" Kirana menarik tangannya kuat-kuat dari genggamannya, lalu balik bertanya dengan suara lemah, "Kasih tahu kalian ada gunanya? Memangnya kalian akan pulang demi aku?" Ekspresi semua orang berubah kaku. Jelas merasa bersalah tapi tetap mempertahankan sikap. "Kenapa nggak!" Kirana mentertawakan dirinya sendiri. Di kehidupan lalu, dia percaya mereka akan kembali menolongnya, jadi menelepon mereka satu per satu. Tapi pada akhirnya, tidak ada satu pun yang mengangkat teleponnya. Kemudian, karena ketahuan menelepon, dia hampir mati disiksa penjahat itu. Kemudian, dia baru tahu kalau malam itu, semuanya sedang menemani Grace menyalakan kembang api. Mereka bersenang-senang di tempat lain, sementara dia hampir mati malam itu. Jadi, kali ini dia tidak butuh siapa pun. Melihat sikapnya yang begitu tenang, Harvey refleks mengerutkan alis. Dia kembali merasa kalau Kirana benar-benar sudah berubah. Dulu, saat menghadapi hal seperti ini, Kirana pasti akan menangis kencang, lalu mengeluh karena mereka tidak pulang. Tapi sekarang dia begitu tenang, seakan semuanya tidak ada hubungannya dengan dirinya. Saat Harvey hendak berbicara, George tiba-tiba melihat koper yang terbuka di lantai. "Kamu beres-beres barang sebanyak ini, kamu mau ke mana?"

© Webfic, All rights reserved

DIANZHONG TECHNOLOGY SINGAPORE PTE. LTD.