Bab 8
Di kamar, Kirana tidak makan malam. Dia mengurung diri sambil membereskan barang terakhirnya.
Farhan dan Monica mengira dia hanya mengambek, mereka mengomel dari luar pintu.
"Sekarang emosimu sudah makin menjadi-jadi ya! Hanya beberapa karya saja. Memangnya kamu perlu kasih muka masam ke kakakmu?"
"Betul, kamu sudah makin nggak tahu diri!"
Di tengah suara-suara yang saling menyalahkan, Harvey mengetuk pintu kamarnya dengan pelan.
"Kirana, jangan marah lagi, keluar makan sedikit, ya?"
Kirana menoleh ke arah pintu, hatinya terasa sangat sesak, tapi matanya tetap kering.
Ternyata, dia sudah terlalu banyak menangis, sampai sekarang bahkan menangis pun tidak bisa lagi.
Di luar, George menarik Harvey dengan tidak kesal. "Paman, jangan pedulikan dia. Dia memang suka pura-pura. Aku mau lihat dia bisa tahan nggak makan berapa kali."
Kirana tertawa.
Sekali saja.
Karena besok dia akan pergi.
Keesokan paginya, dia sengaja bangun sangat pagi, tapi tidak disangka Keluarga Limanta sudah tidak ada.
Saat membuka ponsel barulah dia tahu, ternyata dini hari tadi mereka sudah membawa Grace ke Gunung Halibu untuk berdoa dan memohon berkah.
Katanya kuil di sana cukup manjur, tapi harus didatangi dengan berjalan kaki dan harus menggantung papan harapan sebelum matahari terbit.
Pantas mereka berangkat begitu pagi, rupanya demi memohon berkah untuk Grace.
Di media sosial, masing-masing dari mereka mengunggah sebuah unggahan. Orang dalam foto, juga isi tulisan di papan permohonan itu, semuanya tanpa kecuali untuk Grace.
Farhan, [Semoga Grace selalu sehat dan bahagia selamanya!]
Monica, [Anak kesayanganku, semoga semua yang kamu inginkan akan terkabul!]
George, [Semoga Grace hidup damai, bahagia, dan tanpa beban seumur hidupnya!]
Harvey tidak mengunggah foto Grace, hanya foto tulisan di papan harapan.
[Semoga selamat dan bahagia selalu!]
Di kehidupan sebelumnya, Harvey pernah menggantung banyak papan harapan di pohon itu.
Dia yang biasanya tidak percaya hal-hal seperti itu, hampir setiap tahun pergi ke kuil itu untuk memohon berkah.
Hanya karena pada papan harapan itu selalu ada satu kata harapan, kirana selalu mengira orang yang ada di hati Harvey adalah dirinya.
Sampai sebelum kematiannya barulah dia tahu, ternyata di balik setiap papan harapan itu tertulis nama Grace.
Ternyata, selama bertahun-tahun dia hanya terharu oleh perasaan dirinya sendiri yang sepihak. Semua itu tidak lebih dari sebuah lelucon belaka.
Untungnya, Tuhan memberinya kesempatan untuk memulai kembali dan kini dia sudah benar-benar sadar, tidak akan mengulang kesalahan yang sama lagi.
Ponselnya berbunyi, sebuah pesan masuk.
"Nona Kirana, selamat datang di pulau. Silakan segera menuju bandara, akan ada staf yang menjemput Anda. Semoga setiap hari Anda di Pulau dipenuhi keberuntungan dan ketenangan."
Dia menutup ponsel sambil tersenyum, lalu meletakkan dokumen pemutusan hubungan orang tua anak yang sudah lama dia siapkan di meja.
Sebelum keluar, dia teringat sesuatu, berhenti, dan melepas kalung di lehernya.
Itu adalah pusaka keluarga yang diberikan Harvey setelah dia menyatakan perasaannya pada Harvey.
Harvey bilang, wanita yang memakai kalung itu akan menjadi istrinya kelak, nyonya masa depan Keluarga Gunawan.
Tapi sekarang, dia tidak sudi lagi menjadi istri Harvey atau nyonya Keluarga Gunawan.
Dia meletakkan kalung pusaka itu di atas dokumen pemutusan hubungan, menarik kopernya dan pergi.
Pada saat ini, ponselnya tiba-tiba bergetar.
Dia tertegun, tapi tetap mengeluarkan ponsel.
Layar menampilkan belasan panggilan tak terjawab, Farhan, Monica, George, dan Harvey.
Dia membuka grup keluarga dan puluhan pesan yang menyebut namanya langsung muncul.
"Kirana, Grace nggak sengaja terpeleset dan jatuh dari bukit. Dia mengalami pendarahan hebat, kamu segera datang ke rumah sakit buat donor darah!"
"Aku kasih kamu setengah jam, cepat datang ke rumah sakit!"
"Kalau terjadi sesuatu pada Grace, kamu harus tanggung jawab!"
Kirana terdiam sejenak, lalu tanpa ekspresi menekan tombol keluar grup dan memblokir mereka satu per satu.
Mulai sekarang, dia bukan lagi kantong darah Grace, bukan lagi putri kedua Farhan dan Monica, bukan lagi adik George, dan bukan lagi tunangan Harvey.
Dia adalah Kirana, hanya Kirana.
Dia menoleh dan untuk yang terakhir kalinya melihat tempat yang sudah dia tinggali lebih dari dua puluh tahun. Lalu menarik kopernya dan naik ke mobil yang menjemputnya tanpa menoleh lagi.
Mobil itu melaju menjauh, menyisakan kartu telepon yang patah di tanah ....