Bab 14
"Katanya antara bulan Juni hingga Agustus."
Kevin melirik pria di kursi belakang melalui kaca spion tengah.
Ujung mata Rafael sedikit terangkat. "Mulai selidiki dari klien terakhirnya. Mungkin itu akan mempercepat pencarian."
"Baik, Pak Rafael."
Setelah kembali ke Kompleks Azalea, Dreya mengirim pesan kepada Kakek Arian, menyatakan bahwa keputusan untuk bercerai sepenuhnya berasal darinya, dan memohon agar sang kakek tidak menyulitkan Javi dan Yovano.
Dia mengatakan hal itu bukan untuk membela mereka, melainkan agar Javi segera menandatangani surat cerai, sehingga dia bisa cepat-cepat terbebas dari mereka.
Setengah jam kemudian, Kakek Arian hanya membalas dengan satu kalimat singkat.
[Kakek hanya punya satu harapan sekarang, semoga kalian bisa hidup baik-baik.]
Dreya menatap ponselnya, terpaku pada kalimat itu.
Baik-baik.
Dia pernah ingin hidup baik-baik bersama mereka. Namun, sejak ayah dan anak itu bekerja sama menjebloskannya ke penjara, segalanya sudah tidak mungkin baik-baik seperti dulu.
Cahaya lampu kuning hangat jatuh dari atas kepala, membuat kalimat itu tampak semakin menyakitkan.
Terdengar suara ketukan pintu yang membuyarkan pikirannya.
Dia bangkit dan membuka pintu, lalu mendapati Annie berdiri di depan pintu.
"Anak bernama Elina Sovita itu benar-benar sulit ditemukan. Mungkin karena latar belakangnya yang rumit."
Annie menyerahkan sebuah berkas kepadanya, lalu masuk ke dalam.
Dreya mengikutinya, lalu menunduk dan membuka berkas yang ada di tangannya.
Isinya adalah catatan utang ayah kandung Elina.
Ada utang judi, utang belanja di toko kelontong, dan utang makan di beberapa restoran ...
"Maksudmu, ayahnya banyak utang dan selama ini membawa anaknya berpindah-pindah tempat?"
"Benar. Ayahnya benaran nggak bertanggung jawab. Selain utang di sana sini, kabarnya juga sering memukul anaknya. Kita harus segera menemukan anak itu ... "
Annie menuangkan segelas air untuk dirinya sendiri, lalu menatap Dreya dengan serius.
"Tapi firasatku bilang kemungkinan anak itu masih bersama ayahnya sangat kecil. Bisa jadi setelah dibawa pergi, dia malah dimasukkan ke panti asuhan lagi, 'kan?"
"Memang ada kemungkinan itu. Seorang penjudi nggak mungkin punya rasa tanggung jawab besar, selalu bawa anak ke mana-mana, itu nggak realistis."
Wajah Dreya tampak semakin serius. "Tempat tinggal terakhir mereka di mana?"
"Bentar." Setelah mengeluarkan ponsel, Annie dengan cepat menggulir layar ponselnya sebelum menatap kembali Dreya dan berkata, "Di dekat Jalan Mutiara."
"Panti asuhan terdekat dari sana? Sudah kamu periksa?"
"Tadi sore, kamu bilang anak itu sudah dibawa pergi ayahnya, jadi aku fokus menyelidiki si ayah. Belum sempat lanjut selidiki panti asuhan."
Dreya mengangguk pelan. "Kalau begitu, aku akan cek malam ini. Kalau memang ada di panti asuhan, besok aku akan ke sana."
"Oke."
Setelah hening sejenak, Annie menatapnya dan bertanya, "Kapan kamu kembali kerja?"
"Maksudmu mengukir giok?" tanya balik Dreya.
"Ya." Annie tersenyum. "Belakangan banyak kenalan mencariku, minta perbaiki giok mereka yang retak. Aku sudah menolak enam orang," ujarnya.
"Biaya produksi giok tinggi. Untuk sekarang aku belum punya cukup dana. Aku berencana buka klinik pengobatan tradisional dulu. Setelah itu baru buka toko giok lagi. Tapi kalau klinik sudah jalan, mungkin aku akan mulai terima pesanan giok juga."
"Bagus! Akhirnya kamu kembali ke dunia kerja. Melihatmu penuh ambisi, rasanya hatiku ikut senang. Ini baru Dreya yang aku kenal."
Dreya menatapnya, senyumnya semakin merekah.
Keesokan harinya, sore.
Dreya mencari alamat yang diberikan Annie di peta, dan benar saja, dia menemukan sebuah panti asuhan yang cukup dekat.
Setelah naik taksi dan tiba di lokasi, dia melihat beberapa mobil mewah berwarna hitam terparkir di depan gerbang panti.
Setelah menjelaskan maksud kedatangannya kepada petugas keamanan, dia pun diizinkan masuk.
Dreya duduk menunggu di kantor kepala panti.
Menurut staf yang menyambutnya, CEO sebuah perusahaan hari ini berkunjung langsung ke panti asuhan, untuk meninjau dan mempercepat pembangunan serta pengadaan fasilitas. Kepala panti sedang melakukan koordinasi langsung, dan akan menemui dia setelah urusan dengan CEO itu selesai.
Dreya menunggu hampir setengah jam, tetapi kepala panti belum juga datang.
Saat hendak berdiri dan berjalan-jalan, tiba-tiba dia mencium bau menyengat.
Seperti kayu yang terbakar ...
Segera, terdengar suara percakapan panik dari luar.
"Bu Ida, gudang di lantai dua terbakar! Kayaknya karena korsleting! Ada tiga anak terjebak di dalam, tapi apinya cukup besar ... "
"Segera matikan listrik dan hubungi damkar! Aku sekarang panggil satpam untuk bantu padamkan api dulu!"
Sebagai seorang ibu, begitu mendengar ada anak-anak terjebak dalam kebakaran, naluri keibuannya langsung bangkit.
Saat masuk tadi, dia melihat sebagian besar anak-anak berusia lima atau enam tahun. Dalam situasi kebakaran, mereka jelas tidak mampu menyelamatkan diri.
Dreya segera membuka pintu dan berlari keluar.
Asap tebal sudah menyebar ke koridor.
Dia mengikuti arah bau, menuju ujung koridor panti asuhan.
Saat menatap ke arah tangga, asap di sana sangat pekat.
Tanpa ragu, dia melangkah menuju tangga.
Sementara itu, di depan gerbang panti asuhan.
"Pak Rafael, terima kasih atas kunjungan Anda hari ini. Kalau ada kesempatan, saya ingin mengundang Anda makan bersama."
Kepala panti, seorang wanita, tersenyum ramah dan mengulurkan tangan kepada pria di depannya.
Rafael hendak menyambut tangan itu ketika suara nyaring terdengar dari belakangnya. "Kebakaran! Gudang lantai dua terbakar! Cepat padamkan api!"
Rafael menoleh, menatap gedung panti asuhan.
Asap tebal mengepul dari sisi kanan lantai dua.
Sebuah sosok berlari di koridor, tiba-tiba masuk dalam pandangannya.
Seorang wanita bergaun putih panjang, rambutnya berkibar ke belakang karena sedang berlari. Wajahnya tampak jelas di sela-sela tiang putih yang dilewatinya. Sosok wanita itu seperti angin yang melesat menuju lantai dua.
Meskipun jaraknya jauh, Rafael tidak pernah lupa wajah orang yang pernah dia temui.
Terlebih lagi, wanita itu pernah berinteraksi dekat dengannya.
Hanya saja ...
Kenapa dia muncul di sini?
Saat Dreya tiba di lokasi kebakaran, api sudah sangat besar.
Beberapa staf wanita berdiri di depan pintu, tetapi tidak satu pun berani masuk.
"Tolong! Tolong kami! Siapa pun, tolong selamatkan kami ... "
"Apinya besar sekali, aku takut!"
Terdengar suara tangisan anak-anak dari dalam, penuh kepanikan dan keputusasaan.
Dreya menggigit bibirnya, lalu menerjang masuk tanpa ragu.
Dua anak kecil terjebak di bawah meja besar, cukup dekat dengan pintu.
Dia segera mendekat dan membawa mereka keluar dengan selamat. Namun, saat tiba di ambang pintu, masih terdengar suara anak kecil minta tolong dari dalam.
"Tante, masih ada satu teman di dalam ... "
Anak yang baru diselamatkan menunjuk ke arah gudang yang terbakar hebat, tangisnya semakin keras.
"Nggak bisa masuk lagi! Kalau masuk, pasti mati!"
"Benar! Sudah terlalu berbahaya."
"Kalau nggak masuk, siapa yang akan selamatkan anak itu?"
Suara panik para staf wanita terdengar di telinga, suasana semakin kacau.
Di tengah keributan itu, Dreya kembali menerjang ke dalam kobaran api.
Agar tidak menghirup asap, dia menahan napas sepanjang jalan. Saat wajahnya mulai memerah karena kekurangan oksigen, dia terpaksa menarik napas.
Namun, yang terhirup hanyalah asap tebal yang menyengat.
Anak itu mungkin berada di bagian paling dalam, suara tangisnya terdengar jauh.
Dia mengikuti sumber suara, menelusuri jalan di tengah kepulan asap tebal.
Tiba-tiba, terdengar suara keras dari atas kepala.
Dreya refleks berhenti dan menatap ke atas.
Lampu gantung besar berbentuk bulat, yang sudah terlepas dari langit-langit kayu karena terbakar, jatuh tepat ke arahnya.
Dreya menatap lampu itu dengan mata yang memerah karena asap, hatinya dipenuhi rasa tidak rela. Dia belum membalas dendam, belum membuat mereka yang telah menyakitinya mendapat ganjaran yang setimpal. Namun, dia sudah akan mati?
Dia tidak rela!
Dia tidak ingin mati!