Bab 5
"Cari orang? Siapa?"
Annie tampak bingung, suaranya mengandung rasa penasaran.
"Seorang putri dari narapidana hukuman mati," jelas Dreya. "Ibunya pernah selamatin nyawaku saat di penjara. Aku ingin balas kebaikannya. Sebelum dia dieksekusi, dia minta tolong untuk merawat putrinya setelah aku bebas."
Annie bertanya dengan hati-hati, "Nama anak itu siapa? Umurnya berapa?"
"Elina Sovita, enam tahun."
Suara Dreya sangat lembut, dan wajahnya mulai tampak sedikit lebih segar.
"Oke. Surat perjanjian cerai akan segera aku siapkan." Annie merapikan selimut di sisi Dreya, lalu lanjut berkata dengan pelan, "Soal gadis kecil itu, aku akan minta orang untuk mencarinya. Mungkin nggak langsung ada hasil, tapi kalau ada kabar, aku akan beri tahu kamu secepatnya."
"Makasih, Anni ... "
Dreya tersenyum tipis, senyum yang tampak dipaksakan di wajah yang masih pucat.
Melihat senyum itu, rasa khawatir pun muncul di mata Annie.
Dia menepuk lembut punggung tangan Dreya. "Yang terpenting sekarang itu kamu kembali sehat. Urusan lain jangan dipikirin dulu, apalagi soal Javi dan Yovano."
Begitu mendengar dua nama itu, senyum lembut di bibir Dreya langsung memudar.
Annie melihatnya diam, lalu melanjutkan, "Sebenarnya, kalau saja waktu itu Javi dan Yovano nggak gegabah, langsung beri kesaksian tanpa periksa rekaman CCTV, mungkin kamu nggak akan masuk penjara. Saat ini, kamu nggak akan ... "
Annie tidak melanjutkan kalimatnya.
Namun, dari nada dan kata-katanya, jelas dia sangat menyayangkan nasib Dreya.
Dreya hanya tersenyum lagi, tidak menanggapi.
Sebelum dia keluar dari penjara dan bertemu dengan mereka satu per satu, dia sudah memikirkan semuanya.
Sekalipun saat itu rekaman CCTV ditemukan dan membuktikan kebenaran, Javi dan Yovano mungkin tetap akan berpura-pura tidak tahu, dan berusaha mencari kambing hitam.
Pada akhirnya, dia mungkin tetap akan masuk penjara.
Bagaimanapun, Dreya bisa dianggap sudah pernah "mati" sekali. Menggali masa lalu hanya akan menambah luka baginya.
"Dreya ... "
Annie memanggilnya pelan.
Dreya tersadar, hendak menjawab, tetapi suara dering ponsel yang tiba-tiba menginterupsi percakapan mereka.
Panggilan telepon dari kantor polisi.
Pihak polisi mengatakan bahwa patung singa penjaga rumah telah ditemukan, dan meminta Dreya segera datang.
Setelah menutup telepon, Dreya langsung bangkit dari tempat tidur.
"Apa yang terjadi? Kenapa buru-buru begitu?"
Annie menahan pergelangan tangan Dreya yang kurus, tampak khawatir.
Dreya segera mengenakan sandal, wajahnya kini tampak jauh lebih dingin. "Polisi bilang patung singa penjaga rumah sudah ditemukan. Aku harus segera ke sana."
"Tapi kamu masih demam tinggi, baru saja minum obat. Tubuhmu nggak akan kuat." Annie mencoba menahan.
"Tenang saja." Dreya membalikkan tangan dan menggenggam lengan sahabatnya. "Aku bisa tahan."
Melihat Dreya bersikeras, Annie pun tidak bisa menghentikannya lagi, jadi dia mengantar Dreya sampai turun ke bawah.
Setengah jam kemudian.
Saat Dreya melangkah masuk ke kantor polisi, dari kejauhan dia langsung melihat tiga sosok yang sangat tidak asing.
Sekilas, mereka benar-benar tampak seperti satu keluarga.
"Nona Dreya, patung singa penjaga rumah kamu memang ditemukan di depan rumah Nona Yevani. Karena ukurannya besar dan sulit dipindahkan, kami mohon kamu mengecek foto ini untuk memastikan."
Saat polisi memperlihatkan foto padanya, Dreya mengernyit.
Memang itu adalah patung miliknya.
"Benar, itu milikku."
"Dreya, patung itu sudah aku berikan pada Yevani. Nggak ada tindakan pencurian sama sekali. Kamu jangan buat keributan terus. Cepat jelaskan pada polisi."
Suara yang rendah dan menyakitkan telinga terdengar dari belakang Dreya.
Dreya menoleh dan menatap wajah Javi yang tampak masam.
"Ayah benar!" Yovano ikut bicara, wajah kecilnya ikut berubah dingin. "Itu Ayah yang kasih ke Tante Yevani. Lagi pula, itu milik keluarga kita, kenapa dibilang mencuri?"
Dreya tidak menanggapi ucapan putranya. Dia hanya mengangkat wajah dan menatap Javi dengan dingin, lalu berkata, "Patung itu adalah harta milikku sebelum menikah. Kamu nggak punya hak untuk memberikannya ke orang lain, apalagi tanpa izin dariku."
"Sebut saja harganya. Anggap aku membelinya. Cukup?"
Javi memilih untuk mengalah.
Ucapan itu membuat Dreya mengernyit.
Dia baru saja keluar dari penjara, belum punya pekerjaan, dan memang sangat membutuhkan uang.
Javi melanjutkan ucapannya secara blak-blakan, "Kamu terus bilang patung itu adalah harta pribadimu sebelum menikah, tapi mana buktinya?"
Yevani yang berdiri di sampingnya tampak ingin meredakan suasana, "Nona Dreya, sebenarnya Javi nggak sepenuhnya salah. Kalian sudah menikah, semua harta jadi milik bersama. Mana bisa dibedakan lagi antara sebelum dan sesudah menikah, bukan?"
"Ibu." Yovano mengernyit dan tiba-tiba menyela, "Patung singa itu nggak lucu sama sekali. Kamu ambil kembali pun nggak ada gunanya, jadi untuk apa bersikeras ... "
Dreya mendengarkan mereka bertiga bicara bergantian, seolah sedang mengeroyoknya.
Memang luar biasa ...
Dreya tersenyum dingin. "Yang pahat patung itu aku, 'kan? Kalian nggak bisa menyangkal hal ini, 'kan?"
Begitu kata-kata itu keluar, Javi dan Yovano langsung terdiam.
Di samping, Yevani menggigit bibirnya, matanya mulai memerah saat menatap Javi. "Kak Javi, ini semua salahku, tapi patung itu sudah pernah muncul di acara TV. Bukan aku nggak mau kembalikan, tapi ... "
Begitu dia mengembalikannya, label "pencuri" otomatis akan melekat padanya.
Mendengar itu, Javi langsung berkata dengan nada dingin kepada Dreya, "Sudah cukup! Cuma sepasang patung singa, 'kan? Berapa harganya, aku yang ganti rugi untuk Yevani."
Ganti rugi?
Mendengar itu, Dreya tersenyum sinis. "Kamu mau bayar untuknya? Oke. Enam miliar."
Patung singa itu tidak ternilai harganya.
Enam miliar bukanlah angka yang berlebihan.
"Enam miliar? Kak Dreya, kamu benar-benar mematok harga seenaknya!" Wajah Yevani memerah karena marah.
Javi pun menyindir dengan nada tajam, "Pada akhirnya, kamu cuma peduli uang."
Dreya terlalu malas untuk meladeni mereka lagi.
Dia baru keluar dari penjara dan harus membangun kembali hidupnya. Enam miliar itu akan menjadi titik awal kebangkitannya.
"Berikan nomor rekeningmu, aku transfer sekarang."
Javi berkata dengan nada tidak sabar, matanya penuh rasa jijik dan meremehkan.
"Demi melampiaskan amarah, dia nggak mau kembali ke Keluarga Boris. Dan sekarang, dia malah membuat keributan seperti ini," pikir Javi.
"Wanita ini, cara-caranya memang menjijikkan," lanjutnya dalam benak.
Jika bukan karena kakeknya, dia sudah lama ingin menceraikan Dreya.
Dreya sama sekali tidak menoleh. Dia dengan santai menulis nomor rekening yang sudah sangat dia hafal, lalu segera melemparkan kertas itu ke Javi.
...
Keluar dari kantor polisi, Dreya hendak langsung pergi. Namun, suara yang akrab memanggil dari belakang, "Tunggu."
Dia berhenti, lalu menoleh dengan tatapan dingin. "Ada apa lagi?"
Javi menatapnya sekilas, lalu berkata dengan nada dingin, "Kakek sangat merindukanmu. Selain itu, lusa Om Rafael akan pulang, jadi akan ada jamuan keluarga di rumah lama. Pastikan kamu pulang sore itu."
Awalnya, Javi tidak berniat mengundangnya.
Baginya, wanita yang pernah dipenjara hanya akan membuat malu.
Namun, waktu keluarnya Dreya dari penjara terlalu pas, tepat saat pamannya pulang.
Javi tahu, kakek pasti akan marah padanya jika Dreya tidak hadir.
Terlebih lagi, pamannya itu sangat berkuasa. Jika Dreya tidak hadir, pasti akan meninggalkan kesan buruk.
Mendengar itu, Dreya sempat terdiam.
Dalam benaknya, tiba-tiba terlintas wajah menawan Rafael Boris.
"Kamu dengar nggak aku ngomong apa?"
Melihat Dreya tidak merespons, Javi bertanya dengan meninggikan suaranya sambil mengernyit.
Dreya tersentak dari lamunannya.
Setelah beberapa saat, dia menjawab pelan, "Ya, aku dengar."
Namun, di dalam hatinya, muncul satu pertanyaan yang tidak bisa dia abaikan.
Kenapa Rafael tiba-tiba pulang?