Bab 9
Minta maaf.
Dua kata itu masuk ke telinga Dreya, membuat tangannya yang berada di depan tubuh seketika mengepal erat.
Dia mengangkat pandangannya dan menatap wajah Rafael.
Garis rahang pria itu tampak lebih lembut di bawah cahaya temaram.
Rafael hanya tersenyum kecil, tidak bersuara.
Jamuan keluarga malam ini memang diadakan untuk menyambut kepulangannya, dan memang berakhir dengan kekacauan.
"Maaf, Om Rafael ... " Javi mengernyit sebelum lanjut berkata, "Semua ini salahku. Seharusnya aku biarkan dia merusak jamuan malam ini. Apalagi jarang-jarang sekeluarga besar bisa kumpul lengkap seperti ini. Entah kapan lagi baru ada kesempatan seperti ini."
Rafael menaikkan pandangannya, menatap dingin Javi sekilas.
Setelah hening sesaat, dia berkata dengan pelan, "Seingatku, Nona Dreya bilang bukan dia pelakunya. Aku sarankan kamu selidiki lagi lebih teliti. Jangan karena emosi sesaat, kamu menuduh orang yang nggak bersalah."
Mendengar itu, Dreya menatap Rafael dengan ekspresi tidak percaya.
Rafael tetap menatap lurus ke depan, tidak menoleh ke arahnya
Orang seperti Rafael bahkan percaya padanya.
Sementara suami dan anak yang hidup bersamanya bertahun-tahun, justru selalu membela wanita itu ...
Javi juga tertegun sejenak setelah mendengar ucapan Rafael.
Jika dia tidak salah ingat.
Malam ini adalah kedua kalinya pamannya membela Dreya.
"Itu karena Om nggak tahu sifat aslinya. Tiga tahun lalu dia pernah mencelakai Yevani, makanya dia masuk penjara. Sekarang, dia bahkan tega menyakiti anaknya sendiri. Apa lagi yang perlu diselidiki? Jelas-jelas dia pelakunya!"
Jemari Dreya mengepal semakin kuat.
Kuku-kukunya nyaris menembus kulit, tampak sangat menyakitkan.
Rafael tersenyum dingin. "Begitu, ya?"
"Benar, Om Buyut!" timpal Yovano yang berdiri di samping Javi. Dengan ekspresi cemberut, dia lanjut berkata, "Ibu memang pernah mencelakai Tante Yevani, padahal Tante Yevani sangat baik. Aku nggak tahu kenapa Ibu malah mencelakainya."
"Tentu karena dia cemburu. Dia memang nggak senang lihat orang lain bahagia. Sudah tiga tahun di penjara pun, masih saja nggak berubah. Baru keluar sudah mencelakai anak sendiri! Dia nggak pantas jadi ibu ... "
Suara Javi meninggi karena tersulut api amarah.
Meskipun tampak hanya sedang mengeluh ke Rafael, kata-katanya penuh dengan penghinaan terhadap Dreya.
Di bawah meja, Dreya mendengarkan semuanya dan amarahnya mulai meluap.
Dulu, kata-kata seperti itu akan membuatnya menangis putus asa.
Kini, selain marah, tidak ada lagi emosi lain.
Ternyata, ketika hati seseorang sudah mati, rasa kecewa di hati pun akan lenyap.
Tangan Dreya yang mengepal itu perlahan mengendur.
Mungkin karena terlalu marah, tubuhnya secara naluriah bergerak sedikit.
Ruang di bawah meja tidak luas, jadi begitu dia bergerak, siku tangannya secara tidak sengaja menyentuh meja.
Suara benturan kecil memecahkan ketegangan.
"Apa itu?" Javi refleks menggenggam tangan anaknya lebih erat. "Om, kayaknya suaranya dari bawah meja kerja."
Rafael menunduk sedikit, menatap Dreya dengan tenang.
Dreya kebetulan menengadah, mata mereka pun saling bertemu.
Hanya dalam dua detik, Dreya segera menundukkan kepalanya. Kemudian, cepat-cepat menarik tangannya, tidak berani bergerak lagi.
Saat ini, dia merasa jantungnya seperti akan keluar melalui tenggorokannya.
Situasi saat ini membuatnya merasa seolah-olah sedang "berselingkuh".
Rafael bersandar santai di kursinya, lalu mengalihkan pandangannya setelah Dreya kembali menunduk.
Senyuman samar muncul di ujung bibirnya.
"Ada kucing kecil yang gelisah di bawah meja," ujarnya dengan santai.
Dreya menelan ludah, gugup.
Reaksi pria ini ...
Sungguh cepat.
"Ada kucing kecil?" Mata Yovano bersinar. "Di rumah Om Buyut ada anak kucing?"
"Ya." Rafael mengangguk pelan. "Baru aku pungut hari ini."
"Aku boleh lihat? Aku suka kucing, tapi Ayah dan Ibu nggak bolehin aku pelihara ... "
"Hari ini belum bisa." Nada bicara Rafael samar-samar melembut. "Dia masih belum terbiasa dengan lingkungan baru. Agak galak. Bisa-bisa kamu diserangnya."
"Kalau lain hari?" tanya Yovano dengan hati-hati.
Rafael hanya mengangguk pelan, tidak menjawab lagi.
Javi menyadari ketidaknyamanan di mata Rafael, segera menarik tangan anaknya dan berpamitan, "Om, sudah malam. Aku bawa Vano pulang dulu. Kalau ada waktu, kita makan bersama lagi."
"Ya."
Rafael menjawab singkat, lalu melihat mereka pergi.
Setelah suara langkah menjauh, Dreya baru perlahan mengangkat kepalanya.
"Keluarlah! Kucing kecil ... "
Saat suara yang dalam dan merdu masuk ke telinganya, tubuh Dreya menegang sesaat.
Dalam ingatannya, Rafael adalah sosok yang berkuasa, berpengaruh, dan banyak koneksi. Di ranah bisnis di kota ini, nyaris tidak ada yang bisa berdiri sejajar dengannya.
Setiap kali tampil di depan publik, Rafael selalu tampak dingin dan berjarak.
Tidak ada yang menyangka dia memiliki sisi seperti ini.
Setelah Rafael menggeser kursi, Dreya dengan cepat merangkak keluar dari bawah meja.
Gerakan kecil saat Rafael meletakkan tangannya di tepi meja, ditangkap oleh mata Dreya.
"Terima kasih untuk hari ini, Pak Rafael."
Dreya membungkuk sedikit, lalu tersenyum kecil.
"Bukan apa-apa." Rafael kembali tampak dingin seperti biasanya. "Lagi pula kita satu keluarga, nggak perlu terlalu sungkan."
"Bentar lagi bukan," kata Dreya dengan tegas, sorot matanya dipenuhi keteguhan. "Aku akan bercerai dengan Javi, ini bukan sekadar omongan saja."
Rafael mengernyit sebelum bertanya, "Aku dengar dari Javi, kamu pernah masuk penjara?"
"Benar," jawab Dreya tanpa ragu.
Rafael mencondongkan tubuhnya sedikit, menyilangkan tangannya di atas meja. Ujung jarinya yang mengenakan cincin hitam mengetuk pelan punggung tangan kirinya. Dia mengangkat matanya yang berkilau, menatap Dreya dengan tenang.
"Kamu tahu, setelah pernah masuk penjara, hidup yang kamu jalani akan berat. Kenapa kamu memilih bercerai dengan Javi sekarang?"
Suara Rafael pelan, dan tidak menunjukkan emosi apa pun.
Dreya menunduk, menatap balik Rafael.
Pupil mata Rafael terlalu dalam, hitam seperti kolam dingin yang tidak berdasar.
"Dulu aku bodoh, hanya mengejar cinta. Sekarang aku sudah sadar. Kalau masih nggak bercerai, kebodohanku nggak tertolong lagi. Masuk penjara hanyalah bagian dari pengalamanku. Itu nggak menghalangi masa depanku. Aku nggak akan biarkan pernikahan menjadi belenggu yang menahan langkahku!"