Bab 4

Arman terpaku di tempat. Ternyata, dia sudah melakukan kesalahan selama ini. Rupanya, ada jepit rambut lain yang sama persis. Ternyata, gadis baik hati saat itu bukanlah Thalia. "Kenapa? Aku benar, 'kan?" Melihat reaksi Arman, Thalia mengira dugaannya memang benar. Tatapan mata Thalia menjadi makin merendahkan. Arman merasa kepalanya berdengung. Dia sama sekali tidak bisa mendengar apa yang dikatakan Thalia. "Bicaralah. Tadi kamu nggak bisa berhenti bicara. Kenapa sekarang jadi pura-pura bisu?" Thalia mengerutkan kening dan menjadi makin agresif. "Bagaimana bisa aku bersama orang sepertimu selama lima tahun ini? Aku beri tahu kamu ya, Arman. Kalau hari ini kamu nggak memberiku kompensasi atas kerusakan mentalku, masalah ini nggak akan pernah selesai!" "Kamu orang gila dan bejat! Katakan padaku, sudah berapa lama kamu mengincar sahabatku?" "Bisakah kamu menutup mulutmu?" Arman yang sudah kembali ke akal sehatnya, menatap Thalia dengan muram. "Aku nggak mencuri apa pun dari sahabatmu." Suasana hati Arman sedang kacau saat ini. Selain itu, masih saja terus terdengar suara-suara yang mengganggu di telinganya. Thalia tertegun. Pria ini ... berani-beraninya dia membentak dirinya? Perlu diketahui. Selama lima tahun menikah, tidak ada satu pun hari, di mana Arman tidak mau patuh kepada Thalia. "Argh!" Makin memikirkannya, makin Thalia merasa marah. Dia pun berteriak pada Arman, "Dasar nggak berguna! Apa yang kamu makan dan kamu pakai selama ini, semuanya itu dariku. Apa hakmu menghardikku seperti ini?" "Bisakah kamu berhenti berteriak? Apa kamu tahu kalau kamu itu sangat berisik?" Arman menatap Thalia dan merasa agak kesal. "Sudah kubilang. Aku nggak mencuri apa pun dari sahabatmu." "Kamu nggak mencurinya? Kalau begitu, katakan padaku dari mana kamu mendapatkan jepit rambut itu?" Thalia menggertakkan giginya yang mengilap dan terlihat kesal. "Apa urusannya denganmu?" Tatapan mata Arman terlihat dingin. "Kamu!" Dengan satu kalimat saja, Arman langsung membuat Thalia merasa begitu marah, hingga wajahnya menjadi merah padam. "Oke, Arman. Setelah bercerai, kamu memperlakukanku seperti ini? Dulu, aku benar-benar buta hingga tertarik pada pria sepertimu. Bukan hanya bergantung hidup padaku, kamu juga seorang psikopat. Benar-benar memuakkan!" "Hari ini, kalau kamu nggak memberikan kompensasi atas kerusakan mental yang kualami selama bertahun-tahun, aku akan ... " "Berapa banyak yang kamu inginkan? Aku akan memberikannya padamu." Suara Arman yang dalam langsung memotong kata-kata Thalia. Dia sedang tidak berminat untuk bicara panjang lebar dengan wanita ini sekarang. Arman hanya ingin menemukan pemilik asli dari jepit rambut itu sesegera mungkin! Persetujuan Arman yang tiba-tiba membuat Thalia tertegun untuk sesaat. Namun, dengan pemahamannya mengenai diri Arman, Thalia pun langsung menunjukkan ekspresi merendahkan yang begitu tajam di matanya. "Dua miliar! Berikan kompensasi dua miliar untuk kerusakan mental yang kualami!" Thalia meminta dua miliar kepada Arman. Dua miliar tidak ada artinya bagi Thalia sekarang. Namun, Thalia tahu. Dua miliar adalah angka yang luar biasa bagi Arman. Arman yang sudah meninggalkan rumah tanpa membawa apa pun itu, jangankan dua miliar, dua ratus ribu saja mungkin dia tidak punya. Thalia berkata seperti itu, tidak lain hanya karena dia ingin Arman mempermalukan dirinya sendiri di hadapan Thalia, menunjukkan keadaannya yang memalukan itu! Siapa yang sudah memberi Arman keberanian, hingga dia berani bersikap seperti itu pada Thalia! "Oke. Aku akan memberikannya padamu." Arman juga tidak mau banyak bicara. "Dengar baik-baik, dua miliar!" Nada bicara Thalia begitu kejam. "Aku nggak tuli!" Arman berkata dengan dingin. Dia tahu niat Thalia. Akan tetapi, apakah wanita ini benar-benar mengira jika dirinya masih Arman yang sama seperti sebelumnya? "Oke. Kalau begitu, cepat siapkan uangnya. Aku mau sekarang juga!" Melihat sikap Arman yang arogan, Thalia pun buru-buru membuka mulutnya. Dia ingin melihat ke mana Arman akan pergi untuk mendapatkan uang itu. Arman terlihat dingin. Dia mengeluarkan ponselnya dan langsung menghubungi Hadi. "Hadi, minta seseorang mengirimkan dua miliar uang tunai ke perusahaan. Aku membutuhkan uangnya segera!" "Baik, Pak. Aku akan segera meminta Pak Alvaro menyiapkannya untuk Pak Arman." Setelah menutup telepon, Arman menatap Thalia dengan acuh tak acuh. "Tunggu dua menit. Aku sudah menyuruh orang untuk mengirimkan uangnya." "Hehehe!" Thalia tertawa setelah mendengarnya. Tatapan matanya penuh ejekan. "Hanya dengan sekali menelepon saja, kamu bisa menyuruh orang mengirimkan uangnya? Kamu pikir kamu itu siapa? Orang terkaya di Kota Setala atau tuan muda dari keluarga kaya?" "Lagi pula, aku tadi nggak salah dengar, 'kan? Kamu menelepon Hadi? Kamu tahu siapa Hadi? Dia orang terkaya di dunia! Lain kali, tolong ciptakan nama yang belum pernah kami dengar sebelumnya. Jangan sampai menjadi bahan tertawaan!" Arman tidak menghiraukannya. Thalia merasa begitu marah, hingga menggertakkan giginya. Orang miskin, tetapi sok-sokan di depannya. Tik tak. Tik tak. Waktu berlalu. Lebih dari satu menit sudah berlalu dengan cepat. Namun, tidak ada pergerakan sama sekali di perusahaan. Thalia menunggu dengan tidak sabar dan mendesak. "Dua menit lagi. Mana orangnya?" Arman hanya diam saja. Dia menghitung waktu dalam hati. Masih ada waktu setengah menit lagi. "Kamu mau pura-pura bisu lagi ya?" Thalia tersenyum menghina. "Hehehe." Chris yang melihat semua itu akhirnya tidak bisa menahan diri untuk tidak mencibir dan menggelengkan kepalanya. "Lupakan saja, Thalia. Kamu sendiri juga tahu kalau dia nggak mampu memberikan uang itu. Jadi, kita nggak perlu membuang-buang waktu untuk orang seperti ini. Jangan lupa, kita masih ada kencan." "Anak muda, aku akan membayarkan dua miliar ini untukmu. Anggap saja sebagai balas jasa atas kerja kerasmu menjaga Thalia selama ini untukku. Ingat, jangan sok jagoan kalau nggak punya kemampuan." Setelah berkata demikian, Chris memeluk pinggang Thalia di depan Arman dengan sikap penuh kemenangan. "Sayang, kamu benar-benar murah hati." Thalia memeluk lengan Chris dengan mesra. Kemudian, dia sengaja mencium pipi Chris untuk memanas-manasi Arman. Arman terlihat dingin. Setelah mengetahui jika jepit rambut tersebut bukan milik Thalia, Arman hanya menganggap Thalia tidak lebih dari sekadar orang asing di matanya. Lalu, bagaimana Arman bisa marah pada orang asing? "Arman, kali ini kamu beruntung. Kamu harus berterima kasih pada Tuan Muda Chris!" Thalia tidak mengetahuinya. Setelah berbicara pada Arman, dia dan Chris berbalik. Lalu, mereka berdua pergi meninggalkan perusahaan dengan perasaan bangga. Ting. Tidak lama setelah keduanya pergi, pintu lift di lantai satu perlahan terbuka. Tiba tepat dalam dua menit. Seorang pria paruh baya dengan perut buncit dan berjas hitam berdiri di dalam lift. Keringatnya bercucuran. Dia mendesak dua pria di belakangnya, "Kalian berdua cepatlah! Kalau Pak Arman terlambat mendapatkan uangnya, kita semua akan kehilangan pekerjaan!" "Baik, Pak Alvaro!" Dua anak buahnya menyeret kantong besar di tangannya dengan langkah berat. Pria paruh baya itu keluar dari lift. Ketika menengadah, dia melihat Arman tengah berdiri di pintu perusahaan. Segera saja, dia mempercepat langkahnya dan berlari sambil berteriak, "Pak Arman!"

© Webfic, All rights reserved

DIANZHONG TECHNOLOGY SINGAPORE PTE. LTD.