Webfic
Open the Webfic App to read more wonderful content

Bab 2

Dokter Ahli? Axel sedikit mengerutkan kening dan berkata, "Maaf, kamu salah sambung. Aku bukan Dokter Ahli." Setelah berkata demikian, Axel langsung menutup telepon. Sementara itu, di rumah orang terkaya di Kota Jermada, Ketua Grup Warsana, Ari Warsana. Pria yang sudah memasuki usia paruh baya, yang biasanya sangat berwibawa di depan orang, saat ini terlihat gelisah menatap ponselnya. "Salah sambung?" "Pak Bima, apa kamu yakin nomor ini benar?" Pria yang dipanggil Pak Bima itu menatap Ari dengan penuh hormat, lalu berkata, "Nggak mungkin salah, Pak Ari. Aku sampai harus mengeluarkan banyak biaya hanya untuk mendapatkan nomor ini. Bahkan aku juga harus memanfaatkan koneksimu, dan baru bisa mendapatkannya dari tangan Pak Cahya. Jadi, nggak mungkin salah." "Ngomong-ngomong, waktu itu Pak Cahya bilang, Dokter Ahli hanyalah sebutan orang lain untuk Pak Axel. Pak Axel sendiri nggak pernah mengakuinya. Selain itu, Pak Axel jarang mau membantu. Bagaimana kalau kita coba lagi?" Ari mengangguk pelan dan berkata, "Aku paham, orang-orang berbakat seperti ini memang punya sifat yang aneh. Tapi penyakit ayahku benar-benar nggak bisa ditunda lagi." "Kalau ayahku bisa sembuh, kamu akan menjadi penyelamat seluruh Keluarga Warsana. Apa pun permintaan Dokter Axel, aku akan menurutinya." Ari menekan nomor telepon itu lagi. Agar Axel tidak menutup telepon, dia cepat-cepat menambahkan, [Dokter Axel, tolong selamatkan ayahku. Apa pun syaratnya, aku akan menyetujuinya.] [Aku tahu kamu orang yang rendah hati, tapi kamu kenal Pak Cahya, 'kan? Dialah yang memberiku nomormu. Tolong beri aku kesempatan sekali ini saja.] Saat itu, Axel duduk di hotel. Mendengar nama Cahya, alisnya sedikit mengerut, lalu dia menghela napas. "Kalau Pak Cahya bisa memberikan nomorku padamu, berarti kamu sudah mengeluarkan biaya besar, atau kamu memiliki hubungan yang dekat dengannya." "Tapi sebenarnya, Cahya nggak berutang apa pun kepada kalian, karena saat dia menyerahkan nomor itu, dia justru berutang satu nyawa kepadaku." "Aku bisa membantu, tapi aku nggak menjamin bisa menyelamatkannya. Ini harus aku jelaskan sejak awal." Mendengar ucapan Axel, Ari tidak bisa menahan kegembiraannya hingga gemetar di ujung telepon. [Baik, baik. Selama kamu mau datang, semua bisa dibicarakan. Sekarang Pak Axel di mana? Aku akan menyuruh orang menjemputmu, oke?] Mendengar itu, Axel berkata, "Aku masih ada urusan beberapa hari ini. Kirimkan saja alamatnya. Dalam tiga hari, aku akan datang sendiri ke sana." Setelah itu, Axel langsung menutup telepon. "Akhirnya, aku sudah bebas dari penjara. Apa yang harus terjadi, pasti akan terjadi." Axel menundukkan kepala, memandang ke luar jendela kaca, melihat orang-orang yang seperti semut, lalu berkata pelan, "Clara, apa aku benar-benar nggak layak untukmu?" "Dulu demi cinta, aku rela masuk penjara untukmu." "Bahkan di dalam penjara, aku bertemu dengan banyak orang penting, meminta mereka diam-diam menjagamu dan membantumu. Tiga tahun kemudian, saat kamu menjadi presdir cantik yang dikagumi semua orang, kamu hanya menganggapku seperti debu dan semut?" "Tapi aku bukan semut." Axel menatap langit dan berkata dengan suara lembut, "Kalau aku mau, aku bisa menjadi naga yang terbang di angkasa, membuat banyak orang memandangku dengan kagum, atau menjadi dewa yang duduk di atas awan, memandang manusia seperti memandang semut." "Kamu sebenarnya bisa berdiri bersamaku di puncak dunia, menikmati penyembahan dari ribuan orang. Tapi kamu malah menendangku jauh-jauh, membuangku seperti sampah. Clara, ketika kamu tahu semua yang kamu miliki sebenarnya berasal dariku, ketika kamu sadar bahwa kamu nggak akan bisa menyusulku meski berusaha selama sepuluh ribu tahun, apakah kamu akan menangis?" "Aku nggak tahu. Jadi, aku ingin melihat, bagaimana perasaanmu saat hari itu tiba!" Sementara itu, Clara dan Jessi sudah meninggalkan hotel. Saat duduk di dalam mobil, Clara terdiam sejenak sebelum menatap Jessi dan berkata, "Jessi, apakah aku melakukan kesalahan?" Mendengar itu, Jessi langsung menggelengkan kepala dan berkata dengan tegas, "Nggak, Bu Clara, kamu nggak salah. Pilihanmu benar, dan inilah yang terbaik untuk kalian berdua." "Kalau Axel cuma orang biasa, itu mungkin masih bisa dimaklumi. Tapi sayangnya dia pernah dipenjara. Meskipun itu untukmu, kamu sudah memberikan kompensasi yang cukup. Kamu nggak berhutang apa-apa padanya. Kalau harus disalahkan, salahkan dia karena terlalu biasa, hingga yang dilakukannya hanyalah menjadi penghalang bagimu." "Bu Clara, jangan terlalu dipusingkan. Dia nggak pantas dipikirkan, apalagi kalian sudah bercerai." Clara menghela napas pelan dan mengangguk. "Aku dan Axel memang sudah nggak berada di level yang sama lagi. Keberadaannya hanya akan membebaniku, bahkan merusak citraku." "Selama bertahun-tahun, perjalanan bisnisku selalu lancar. Banyak orang membantu dan melindungiku. Kalau mereka tahu aku memiliki suami yang pernah dipenjara, pasti itu akan berdampak buruk padaku." "Ditambah beberapa alasan lain, sepertinya aku juga nggak punya pilihan. Tapi kamu benar, kompensasi untuk Axel sudah aku berikan. Aku nggak berhutang apa-apa padanya. Kalau harus menyalahkan, salahkan dia karena terlalu biasa dan pernah dipenjara." Saat ini, Clara sudah meyakinkan dirinya sendiri, dan tidak ada lagi kesedihan di hatinya. Beruntung Axel tidak mendengar percakapan mereka saat ini. Kalau tidak, entah dia akan tertawa atau menangis. Jelas-jelas dia dipenjara demi Clara, tapi malah dianggap biasa saja dan merusak citra. Apa maksudnya? Padahal dialah yang meminta orang lain untuk membantu dan melindungi Clara, tapi justru itu dijadikan alasan bagi Clara untuk bersikap tinggi hati dan tak tersentuh? Kalau dipikir-pikir, bukankah ini lelucon yang sangat konyol? Tepat pada saat itu, adik laki-laki Clara menelepon. [Kak, apa kamu sudah bercerai dengan penjahat itu? Apa dia masih mengganggumu dan ingin merebut lebih banyak hartamu? Jangan takut, adikmu ini punya kemampuan untuk melindungimu. Akan kupermalukan Axel si bodoh itu.] Mendengar itu, Clara sedikit mengerutkan kening dan berkata, "Kevin, Axel sudah menandatangani surat cerai. Jangan bertindak sembarangan. Selain itu, aku tahu kamu dekat dengan Pak Bima dari Keluarga Warsana di dunia bawah tanah, tapi ingat, jangan membuat masalah. Paham?" Kevin langsung bersemangat begitu mendengar Axel telah menandatangani surat perceraian, tapi tak lama kemudian dia menggerutu, [Kakak, apa kamu memberikan kompensasi besar ke Axel? Miliaran? Puluhan miliar?] [Nggak boleh, aku nggak setuju. Aku adik kandungmu, kamu belum pernah memberiku uang puluhan miliar. Ini semua kekayaan keluarga kita, aku nggak akan membiarkannya jatuh ke tangan Axel yang bodoh itu. Pokoknya, aku pasti akan membuat Axel mengembalikan uang itu.] Setelah berkata begitu, Kevin langsung menutup telepon. Clara menghela napas pasrah, lalu berkata pada Jessi, "Pergilah temui Kevin. Jangan biarkan dia menimbulkan masalah lebih jauh." Clara memang benar-benar memanjakan adiknya. Jadi, meski Kevin ingin mencari masalah dengan Axel, bagi Clara itu hanyalah urusan sepele. Dia cukup menyuruh Jessi untuk menasihatinya saja. Hidup atau mati Axel tampak jauh kurang penting dibanding kebahagiaan adiknya.

© Webfic, All rights reserved

DIANZHONG TECHNOLOGY SINGAPORE PTE. LTD.