Bab 4
Marselia membawa Yosfian berkeliling restoran sambil memperkenalkan.
"Ingat nggak, waktu SMP aku bilang impian terbesarku adalah membuka restoran barat?"
"Hmm. Kamu bilang dekorasi dalamnya harus gaya pesisir, dindingnya penuh lukisan impresionis, meja kursi berwarna hitam putih, dan pengharum ruangannya akan kamu pesan khusus supaya tiap hari wangi bunganya beda."
Mendengarnya mengulangi kata-kata lamanya sampai satu pun tidak meleset, Marselia sampai tercengang.
"Kamu bahkan mengingatnya lebih jelas daripada aku? Kalau begitu kamu ingat nggak ...."
"Tentu. Kamu bilang mau kasih aku tiga puluh persen saham dan mengajakku jadi bartender restoran ini. Janji itu masih berlaku, 'kan?"
Mata Marselia berbinar dan terlihat malu.
"Waktu itu hanya bercanda, mana mungkin benaran. Lagi pula meski kamu nggak jadi kapten lagi, kamu masih punya warisan triliunan, jadi bartender untukku terlalu menyia-nyiakan bakatmu."
Cahaya di mata Yosfian meredup sedikit, bibirnya bergerak, tapi akhirnya memilih diam.
Semua itu disaksikan Hestiana tanpa suara dan dadanya terasa sesak.
Dia tahu, kata-kata Yosfian itu diucapkan dengan tulus.
Yosfian benar-benar ingin selalu berada di sisi Marselia. Bahkan jika hanya jadi bartender yang bisa melihatnya dari jauh, dia pun sudah puas.
Bagaimanapun juga dia pernah merasakan betapa menyakitkannya kehilangan, jadi ketika mendapatkannya kembali, dia akan menggenggam setiap kesempatan.
Sama seperti sekarang, mata Yosfian terus tertuju pada Marselia, tidak pernah sekalipun menoleh ke belakang.
Sementara Hestiana tertinggal sendirian di belakang, tidak seorang pun menyadarinya.
Setelah sampai di ruang VIP, Yosfian mengambil menu seperti biasanya.
Marselia duduk di sampingnya dan sengaja berkata saat mendengar menu yang dipilihnya.
"Yosfian, kenapa semua yang dipesan makanan kesukaanku? Istrimu suka apa? Kamu harus perhatikan dia juga."
Yosfian berhenti sejenak saat memegang menu, melirik Hestiana, lalu dengan tenang menyerahkan menu padanya.
"Aku nggak tahu kamu suka makan apa, jadi pesannya seadanya. Kamu mau makan apa, pesan sendiri saja."
Melihat sikapnya yang acuh dan ekspresi puas di wajah Marselia, napas Hestiana tersendat. Sepuluh jarinya menekan telapak tangan sampai dalam.
Hestiana tahu, Yosfian adalah orang yang dingin pada segala hal. Jadi setelah menikah, meski dia tidak ingat hari perayaan, tidak menyiapkan kejutan romantis, tidak pernah memedulikan perasaannya, Hestiana tetap bisa menahan diri.
Tapi setelah melihat sendiri betapa pedulinya dia pada Marselia, lalu membandingkannya dengan sikap acuhnya pada dirinya, Hestiana hanya merasa sedih dan tidak berdaya.
Dia tidak menerima menu itu. Wajahnya pucat dan berdiri, mengatakan ingin ke toilet.
Marselia mengikutinya dengan alasan ingin menunjukkan jalan, sambil minta kontak dan mengatakan hal-hal yang samar.
"Nona Hestiana, jangan salah paham, aku dan Yosfian sudah kenal belasan tahun, kami sangat dekat. Dia ingat siklus menstruasiku, juga tahu aku akan sakit perut sewaktu haid. Beberapa waktu lalu sengaja pergi ke kota sebelah mencarikan tabib pengobatan tradisional untukku. Beberapa tahun aku di luar negeri, setiap perayaan besar, dia selalu membawakan hadiah untukku ...."
Nada suaranya terdengar seperti penjelasan itu sebenarnya adalah pamer. Dada Hestiana terasa sesak, hingga sulit bernapas.
Dia berhenti melangkah, menoleh ke arah Marselia dan suaranya terdengar buru-buru.
"Terus? Kamu mau bilang apa sebenarnya?"
Ekspresi Marselia sedikit berubah, tapi bibirnya terangkat membentuk senyum tipis.
"Bukankah sudah sangat jelas? Aku hanya mau bilang, meskipun kamu istri Yosfian, kamu tetap nggak akan pernah bisa menggantikan posisiku di hatinya. Cepat atau lambat, Yosfian akan kembali ke sisiku. Kalau kamu tahu diri, kamu harusnya mundur dari hubungan ini. Itu lebih baik buat kita bertiga. Bukankah begitu?"
Hestiana tahu semua yang dikatakan Marselia adalah fakta yang tidak bisa dia bantah.
Dia menunduk menarik napas panjang, baru hendak bicara, tapi tiba-tiba terjadi sesuatu.
Lampu gantung mewah di atas kepala mereka tiba-tiba terlepas, lalu jatuh tepat ke arah tempat mereka berdiri.
Para pengunjung di sekitar berteriak, suasana langsung menjadi kacau.
Mereka berdua belum sempat memahami apa yang terjadi. Saat mendongak melihat bayangan besar yang meluncur turun dengan cepat, mata mereka langsung ketakutan,
Saat lampu besar itu hampir menimpa mereka, Yosfian berlari dari beberapa meter jauhnya, menarik Marselia, membawa wanita itu berlari ke tempat aman.
Sementara Hestiana tertinggal sendirian di sana, tertimpa lampu gantung itu sehingga tubuhnya berlumuran darah dan terjatuh dalam genangan darah.
Rasa sakit hebat menjalar ke seluruh tubuh, menusuk sarafnya tanpa henti.
Darah mengalir dari dahinya dan menodai pandangannya. Dia memaksa diri membuka mata dan melihat kerumunan orang mengelilingi Marselia, sang pemilik restoran itu, menuntut penjelasan.
Yosfian berdiri melindungi Marselia seperti seorang ksatria, menahan semua makian dan serangan, membawa wanita itu menjauh dari pusat keributan.
Melihat kedua sosok itu semakin menjauh, Hestiana akhirnya t tidak kuat lagi. Penglihatannya gelap dan pingsan ....
Saat sadarkan diri, Hestiana mendapati dirinya sudah berada di rumah sakit.
Seluruh tubuhnya dibalut perban, bergerak sedikit saja sudah membuatnya kesakitan.
Ruang rawat itu kosong, tidak ada seorang pun yang menemaninya.
Dia terdiam lama. Lalu menahan sakit mengambil tas di meja, mengeluarkan lembar tabel poin itu dan mengurangi sepuluh poin lagi.
Setelah selesai dan hendak menaruhnya kembali, kertas itu terjatuh ke lantai dan dipungut oleh perawat yang kebetulan masuk untuk pemeriksaan.
Perawat muda itu melihat sekilas dan tampak penasaran.
"Ini tabel apa? Kenapa banyak poin yang dikurangi? Apa yang terjadi kalau poinnya habis dipotong?"
Sorot mata Hestiana sedikit menajam, mengambil kembali kertas itu dan suaranya datar.
"Ini tabel poin pernikahan. Total seratus poin. Kalau habis dipotong maka semuanya selesai."
"Selesai? Maksudnya mau cerai? Tapi tinggal sepuluh poin lagi!"
Perawat itu berseru kaget dan detik berikutnya pintu ruang rawat terbuka.
Yosfian masuk sambil mengerutkan alis, pandangannya langsung tertuju pada Hestiana.
"Sepuluh poin apa?"