Bab 9
Begitu pintu tertutup, kegelapan yang tidak berujung dan rasa takut seolah-olah mengalir masuk seperti gelombang, menelan dirinya sepenuhnya.
Wilma gemetar hebat, meringkuk di sudut dinding yang dingin. Dia menggigit bibir kuat-kuat agar tidak mengeluarkan satu pun suara memohon.
Ketakutan yang memuncak membuatnya tidak bisa mengendalikan diri. Kukunya mencakar lengannya sendiri dengan keras, meninggalkan goresan berdarah, seakan hanya rasa sakit fisik yang bisa sedikit meredakan siksaan batin.
Entah sudah berapa lama waktu berlalu, mungkin sehari, mungkin lebih, pintu ruang kurungan itu akhirnya terbuka.
Yoga berdiri di ambang pintu dengan cahaya di belakangnya. Saat melihat Wilma yang meringkuk di sudut, seberkas rasa sakit melintas sangat cepat di matanya, tetapi segera tenggelam oleh emosi yang jauh lebih rumit.
Pria itu melangkah masuk, membungkuk, dan mengangkatnya dalam pelukan.
Setibanya di kamar tidur, Yoga mengambil kotak P3K dan perlahan mengoleskan obat pada luka-luka di lengan Wilma.
"Sekarang, mau unggah klarifikasinya?" tanya pria itu pelan, suaranya mengandung serak yang hampir tidak terdengar.
Wilma mendongak, memandang wajah tampannya yang begitu dekat, lalu tiba-tiba tersenyum. Senyuman yang rapuh dan menyedihkan. "Kalau aku tetap nggak mau, gimana?"
Gerakan tangan Yoga terhenti. Dia mengangkat pandangan, menatapnya lama. Tatapannya dalam, gelap, tanpa sepatah kata pun, tetapi tekanan diam itu jauh lebih menyesakkan daripada ancaman apa pun.
Saat jeda sunyi itu, hati Wilma hancur sepenuhnya.
"Baik." Suaranya terdengar begitu tenang, sampai menyeramkan. "Aku unggah."
Yoga tampak mengembuskan napas lega. Dia menyerahkan ponsel Wilma sekali lagi. "Aku ingin lihat kamu unggah sekarang."
Wilma menerimanya. Jemarinya bergetar saat membuka Twitter.
Tepat ketika gadis hendak mulai mengetik, asistennya kembali mengetuk dan masuk tergesa-gesa. "Pak Yoga, Nona Mia melihat komentar-komentar di internet, suasana hatinya hancur, dia menangis sampai pingsan!"
Wajah Yoga berubah. Dia seketika berdiri, hanya melemparkan satu kalimat pada Wilma, "Aku harus menemui Mia dulu. Jangan lupa, unggah klarifikasi itu."
Tanpa menoleh lagi, Yoga pergi dengan langkah cepat.
Wilma menatap punggungnya yang menjauh tanpa ragu sedikit pun, lalu tersenyum tipis.
Saat itu, ponsel Wilma berdering. Ayahnya menelepon.
[Dokumen perceraian sudah selesai. Keluarga Saputra sangat kooperatif. Kamu ini ... kehilangan suami sebaik Yoga, nanti kamu pasti menyesal! Wajah keluarga kita benar-benar ... ]
Wilma mendengarkan tanpa ekspresi. Sebelum ayahnya selesai bicara, dia langsung memutus telepon, lalu dengan cepat memblokir dan menghapus semua kontak ayah, ibu, dan adiknya.
Dia masuk ke ruang pakaian, mengambil koper, dan mulai membereskan barang-barangnya.
Setelah semua beres, dia menyeret koper ke dapur, menyalakan kompor gas, lalu melempar selembar kertas yang sudah dinyalakan api ke atas karpet wol mewah di ruang tamu.
Api jingga langsung menyala, dan menjalar dengan cepat.
Sekarang dia sudah bercerai. Rumah pernikahan ini ... tidak perlu ada lagi.
Sambil membawa koper, Wilma melangkah keluar dari vila itu tanpa menoleh, menghentikan taksi, dan langsung menuju bandara.
"Pak, ke bandara."
Di tempat lain, Yoga berada di sisi Mia berjam-jam, sampai wanita itu akhirnya tertidur.
Asisten yang sejak tadi gelisah melihat waktu, akhirnya tidak tahan lagi. "Pak Yoga, rapat proyek akuisisi 100 triliun itu benar-benar tidak bisa ditunda lagi. Pimpinan dan kantor cabang luar negeri sudah menunggu lama. Anda sudah menunda terlalu banyak waktu karena urusan Nona Mia hari ini ... "
Yoga mengusap pelipisnya, melihat jam, lalu akhirnya bangkit. "Baik, kita ke kantor."
Dalam ruang rapat besar berisi lima ratus orang, suasananya tegang dan formal.
Seorang manajer proyek yang baru saja bergabung berbisik pada karyawan senior di sampingnya, "Ini pertama kalinya aku ikut rapat yang dipimpin Pak Yoga. Aku tegang sekali. Aku dengar Pak Yoga sangat tegas ... "
Karyawan senior itu menepuk bahunya. "Jangan khawatir. Walaupun tuntutannya tinggi, Pak Yoga orangnya disiplin dan sangat stabil secara emosi. Kami sudah mengikutinya bertahun-tahun, nggak pernah melihat dia kehilangan kendali. Kamu hanya perlu mempersiapkan diri dengan baik dan laporanmu jujur."
Begitu kata-kata itu selesai, pintu ruang rapat terbuka, dan Yoga masuk disertai para petinggi perusahaan.