Webfic
Open the Webfic App to read more wonderful content

Bab 7

Talita menghentikan sebuah mobil di tepi jalan, dan pulang ke rumah dengan susah payah. Siapa sangka, begitu masuk rumah, dia akan melihat pemandangan yang menyakitkan. Kania meringkuk di sofa, tubuhnya terbalut selimut. Dia terlihat seperti kucing kecil yang terluka. Raka berjaga di sampingnya. Pria itu menyuapkan sup obat, sesendok demi satu sesendok. Sudut mata Raka melirik ke arah Talita. Dia lalu menatapnya dengan tatapan setajam pisau. Dia merasa jijik melihat wanita itu. "Kamu masih berani pulang ke sini?" Bimo langsung maju, dia mengangkat tangannya dan menampar keras Talita! Talita merasa dunianya berputar, dan hampir tidak bisa berdiri dengan stabil. "Aku tahu kamu nggak suka melihat Kania pulang. Tapi dia itu tetap kakakmu. Beraninya kamu membuat lelucon macam ini. Apa kamu nggak takut kalau sampai terjadi sesuatu padanya?" "Kalau saja bukan karena Raka segera datang menyelamatkannya, entah masalah sebesar apa yang akan kamu timbulkan!" Kania merasa senang melihatnya. Tapi dia pura-pura berkata, "Ayah, jangan memukulnya. Aku baik-baik saja." "Jangan membela makhluk terkutuk ini!" Bimo marah besar, napasnya sampai terengah-engah. Talita berdiri kaku di tempatnya, kedua telinganya berdengung. Detik berikutnya, Raka yang sedari tadi hanya diam, akhirnya angkat bicara. "Minta maaf ke Kania." Suara pria itu terdengar sangat dingin, seperti bisa membekukan es. Talita menggertakkan gigi. Entah dapat keberanian dari mana, dia membantah, "Aku nggak akan minta maaf." Dia sudah paham saat para penculik itu mulai menyiksanya. Penculikan ini adalah ulah Kania sendiri. Wanita itu sengaja ingin menjebak Talita agar dianggap sebagai saudara yang jahat. Talita tidak bersalah, jadi untuk apa dia meminta maaf? Kania menghela napas dan pura-pura berlapang dada. "Sudahlah, Raka, adikku mungkin nggak sengaja. Aku nggak mau merusak tali persaudaraan kami ... " "Dia hampir membunuhmu. Apa minta maaf saja berlebihan?" Raka menatap tajam Talita. Kebenciannya makin menjadi-jadi. Sejak kapan Talita menjadi liar dan sulit diatur begini? Bimo juga marah melihat sikap keras kepala Talita. Dia meraih lengan Talita dan menariknya ke depan Kania seperti menarik anak ayam. Talita bahkan sampai mendengus kesakitan, dan akhirnya ayahnya baru menyadari kalau lengan putrinya penuh dengan bekas luka bakar. Bimo pun mengernyitkan kening. Dia baru mau menanyakan apa yang terjadi, tapi sudah lebih dulu mendengar suara dingin Raka. "Talita, kamu sampai tega melukai dirimu sendiri demi menjebak Kania. Kamu benar-benar menghalalkan segala cara untuk mencapai tujuanmu." Bimo yang sempat bingung, kini akhirnya paham usai mendengar ucapan barusan. Dia jadi lebih marah lagi. Dia mencengkeram bahu Talita, menekannya paksa hingga lutut anaknya lemas, dan jatuh berlutut dengan keras di lantai. "Tubuh dan kulit kita itu pemberian orang tua! Sepertinya, kamu memang nggak menyayangi keluarga ini. Aku sudah nggak kamu anggap ayah lagi, hah!" Talita mendongak dengan wajah yang sudah pucat. Tatapannya bertemu pandang dengan tatapan dingin Raka. Raka memeluk Kania, dan menatap Talita seperti melihat seorang tahanan hina. Talita sendiri masih berlutut malu. Harga dirinya sudah hancur berkeping-keping. Raka tidak nyaman melihat tatapan Talita yang keras kepala. Raka kembali berkata, "Talita, asal kamu mau minta maaf pada Kania, aku akan melupakan kejadian ini." Talita tertawa mendengarnya. Kedua matanya yang sudah memerah itu pun menatap tajam Raka. Dia lalu dengan tegas berkata, "Biar aku ulangi sekali lagi. Aku nggak akan minta maaf. Terserah kamu mau menyiksa atau membunuhku." Raka tertegun, sebersit rasa iba di matanya pun sirna seketika. Selanjutnya, Bimo memukul sambil terus memaki Talita. Talita yang sudah lemas dari awal, langsung jatuh ke lantai. Bagai hewan yang hilang kekuatannya, dia langsung kehilangan seluruh kesadarannya. ... Entah sudah berapa lama Talita pingsan. Saat terbangun lagi, sudah tidak ada orang di ruang tamu. Dia menahan rasa sakit di sekujur tubuhnya. Dia berpegangan pada sofa sambil berusaha berdiri, lalu melangkah gontai ke dalam kamarnya. Dia memeriksa kembali barang-barang bawaannya. Sebelum menutup koper, terdengar suara Kania dari belakangnya. "Apa kamu suka dengan hadiah perpisahan yang kusiapkan untukmu?" Kania bersandar di pintu. Dia mengulas senyum menghina. "Sebenarnya, tadinya aku mau membiarkanmu tinggal sampai acara pertunanganku. Supaya kamu bisa langsung memberi restu padaku dan Raka. Sayangnya, Ayah menolak. Katanya, kamu sudah mempermalukan Keluarga Wijaya. Dia bahkan nggak mau melihatmu di rumah ini lebih lama lagi." "Talita, setelah kepergianmu kali ini, jangan pernah kembali lagi. Keluarga ini baru bisa dianggap utuh tanpa kehadiranmu." "Oh ya, terima kasih juga karena sudah jadi mainan gratis calon suamiku selama dua tahun. Dia jadi nggak kesepian karena nggak ada aku." Talita menutup rapat bibirnya tanpa mengatakan sepatah kata pun. "Klak!" Terdengar suara koper ditutup. Bersamaan dengan itu, sisa perasaan terakhirnya untuk keluarga ini juga ikut terkubur. Keesokan paginya, sebelum matahari terbit, Talita sudah naik pesawat dan berangkat ke luar negeri. Dia melangkah tegas tanpa penyesalan. Sebelum naik ke pesawat, dia menghapus semua kontak Raka dari ponselnya. Pesawat pun terbang membelah langit luas, meninggalkan jejak putih tipis di belakang. Ini juga pertanda berakhirnya masa lalunya yang penuh luka.

© Webfic, All rights reserved

DIANZHONG TECHNOLOGY SINGAPORE PTE. LTD.