Webfic
Open the Webfic App to read more wonderful content

Bab 7

Winda malah menyeringai kejam. "Nia, apa kamu sudah melihat semua unggahanku di Facebook? Ck ck, kukira kamu ini baik, tapi rupanya dulu kamu sangat ingin melihatku mati. Sekarang, kamu bahkan rela menahan segalanya agar bisa menikah dengan putra Keluarga Gunardi." Tatapan Nia hanya tertuju pada kalung di tangan Winda. Dia mengepalkan erat tangannya sambil berkata, "Kembalikan kalung itu!" Winda malah makin menyodorkan kalung tersebut ke luar jendela. Dia juga balas berkata, "Kalau kamu mau kalung ini, kamu harus mengaku betapa hina dan rendahannya dirimu. Kamu cuma pura-pura baik." "Nggak!" Nia sampai gemetar saking marahnya. "Winda, jangan keterlaluan!" Winda malah tertawa angkuh, dia berkata, "Apa kamu baru tahu kalau aku memang keterlaluan? Nia, aku paling benci melihatmu yang keras kepala begini. Kalau saja dulu kamu langsung berlutut minta maaf padaku, aku nggak akan mengganggumu selama bertahun-tahun." "Kamu juga sudah melihat sendiri seperti apa posisiku di hati Toni dan Satya. Begini saja, asal kamu mau berlutut dan memohon padaku, aku bukan hanya akan mengembalikan kalung ini. Aku juga akan membantu menguatkan posisimu di Keluarga Gunardi." "Aku nggak akan berlutut!" Nia mengepalkan erat tinjunya. Dia mendekati Winda selangkah demi selangkah. "Winda, kamu dulu nggak bisa mengalahkanku, sekarang dan di masa depan pun, jangan harap bisa mengalahkanku! Aku nggak akan pernah tunduk pada orang sejahat dirimu!" "Kamu!" Winda balas berteriak, lalu tertawa gila saking marahnya. Dia kemudian berkata, "Baiklah, sepertinya kamu sudah nggak mau kalung ini, kalau begitu, kubuang saja." Sambil mengatakan hal itu, dia mengarahkan ujung jarinya ke bawah. Kalung liontin perak itu pun terjatuh ke bawah. "Kembalikan!" Nia berteriak sambil mencoba meraih kalungnya. Tapi tidak sempat. Kalung itu sudah lebih dulu terjatuh dari lantai sepuluh tepat, di depan matanya. Kedua mata Nia memerah, dia baru saja mau balik badan dan turun tangga. Tapi Winda malah menarik bajunya. Dengan suara terisak, Winda memohon padanya, "Maafkan aku, Nia ... aku nggak akan mendekati Toni lagi. Jangan dorong aku ke bawah ... " Di saat yang sama, dari arah pintu masuk terdengar suara dua pria yang marah, "Nia! Apa yang kamu lakukan!" Sebuah tangan sudah mencengkeram erat pergelangan tangan Nia. Cengkeraman itu begitu kuat dan nyaris menghancurkan tangan wanita itu. Detik berikutnya, tubuh Nia didorong hingga terlempar jauh. Nia jatuh terduduk dengan keras, wajahnya pucat pasi menahan sakit. Keringat dingin sudah mengalir deras dari keningnya. Toni dan Satya bergegas menghampiri Winda. Mereka memastikan kondisinya dengan cemas, "Winda, kamu baik-baik saja, 'kan?" Winda menangis sedih. "Maafkan aku, ini semua salahku. Toni, sebaiknya kita nggak perlu berhubungan lagi setelah ini ... " "Bicara apa kamu ini!" Toni memeluknya dan melanjutkan, "Jangan cemas, aku nggak akan membiarkanmu kenapa-kenapa." Dia mengatakannya sambil melirik marah ke arah Nia. "Bicara apa kamu ini!" Toni memeluknya dan melanjutkan, "Jangan cemas, aku nggak akan membiarkanmu kenapa-kenapa." Dia mengatakannya sambil melirik marah ke arah Nia. "Nia, sudah bertahun-tahun berlalu, kamu masih saja menindas Winda!" Nia pucat pasi menahan sakit, keringat dingin terus mengucur dari keningnya. Dengan suara bergetar dia membalas, "Bukan aku ... Dia yang sengaja membuang kalungku, aku ... " "Cukup!" Toni memotong ucapannya sambil menatapnya tajam. Tatapan pria itu penuh dengan kekecewaan. "Nia, kamu masih saja mau menggelak! Winda dari kecil itu anak yang lembut dan pemalu, mana mungkin dia menindas orang lain? Malah kamu yang menindasnya! Dia yang jadi sasaran penindasan orang lain! Kamu ini selalu saja melampiaskan kemarahanmu ke Winda!" Nia mengerjapkan mata tidak percaya, tapi kini dia paham. "Nggak! Malah dia yang sudah menindasku! Dia yang selama ini selalu menindasku, dia yang ... " Sebelum bisa menyelesaikan kalimatnya, Nia sudah lebih dulu ditampar. Pipi kanannya sampai mati rasa, bibirnya juga berdarah karena tamparan barusan. "Kamu masih saja nggak menyesali perbuatanmu!" Toni menatapnya tajam. Tatapan pria itu dipenuhi amarah serta kebencian saat berkata, "Nia, hari ini kamu berani mau mendorongnya agar jatuh ke lantai bawah, kalau nggak segera dihukum, besok-besok kamu malah bisa sampai membunuh orang, hah?" Setelah itu, Toni dan Satya memegangi tangan kiri dan kanan Nia. Mereka menyeretnya keluar dengan paksa. "Mau apa kalian?" Nia sontak panik, wajahnya makin pucat saat berusaha berontak melepaskan diri. Tapi tidak ada yang peduli padanya. Mau sekuat apa pun dia berusaha melepaskan diri, kedua pria itu tetap menariknya keluar. Toni dan Satya terlihat benar-benar marah. Saat menoleh ke ruang perawatan Winda, Nia bisa melihat betapa sombong dan benci wanita itu padanya.

© Webfic, All rights reserved

DIANZHONG TECHNOLOGY SINGAPORE PTE. LTD.