Bab 2
Tubuh Nara menegang seketika. Dia perlahan menoleh ke belakang.
Di sana Arkan berdiri, dan entah sejak kapan sudah berada di samping sofa privat mereka.
Dia mengenakan setelan jas hitam dengan potongan sempurna, posturnya tegap. Aura dingin dan terkontrol yang melekat padanya membentuk kontras tajam dengan hiruk-pikuk bar yang remang dan riuh, bagaikan sosok dewa yang tersesat ke dunia fana, membuat segala sesuatu di sekelilingnya seketika kehilangan cahaya.
Kinan menarik napas tajam, kesadarannya langsung kembali setengahnya. Dia melirik Nara dengan tatapan "semoga beruntung", meraih tasnya, lalu kabur tanpa menoleh lagi.
Dalam sekejap, yang tersisa hanyalah Nara dan Arkan, saling menatap dalam keheningan yang menyesakkan.
Sementara itu, tangan Nara yang "tertangkap basah" masih kaku tertahan di dagu sang model pria.
Tatapan Arkan jatuh ke sana, dan seketika sorot matanya menggelap, dingin hingga terasa mencekik.
Dia melangkah maju, menggenggam pergelangan tangan Nara dengan keras. Lalu, dengan pandangan sedingin es, dia menyapu mata ke arah model pria itu dan hanya mengucapkan satu kata, "Pergi."
Tekanan aura yang terpancar dari tubuhnya membuat wajah sang model langsung pucat. Tanpa berani menunda sedetik pun, dia bersama yang lain langsung kabur dan menghilang dalam sekejap.
Nara dengan kasar melepaskan tangannya, dan sambil mengusap pergelangan yang memerah, dia menatap Arkan dengan marah. "Arkan! Apa sebenarnya yang ingin kamu lakukan?"
"Seharusnya aku yang menanyakan kalimat itu." Suara Arkan terdengar sedingin es. "Kenapa kamu datang ke tempat seperti ini?"
"Ya terserah aku," jawab Nara acuh tak acuh, jelas penuh provokasi. "Apa urusannya denganmu?"
Arkan menatapnya. Sikap keras kepala dan liarnya itu justru membuat sorot matanya semakin gelap.
Detik berikutnya, di tengah seruan kaget Nara, Arkan tiba-tiba membungkuk dan langsung mengangkat tubuh Nara ke atas bahu tanpa peringatan.
"Arkan! Apa yang kamu lakukan, lepaskan aku! Dasar bajingan!"
Antara kaget dan marah, Nara menghantam punggung Arkan sekuat tenaga, dan kedua kakinya terus memberontak.
Namun Arkan seolah tak merasakan apa pun. Dia tetap menggendongnya di bahu, mengabaikan tatapan terkejut di sekeliling, dan melangkah cepat keluar dari bar, lalu langsung memasukkan Nara ke dalam Rolls-Royce hitam yang sudah menunggu di pinggir jalan.
"Jalan."
"Baik, Tuan Arkan."
Mobil melaju mulus. Nara yang diliputi amarah meraih gagang pintu, berniat melompat keluar.
"Nara!" Arkan langsung mencengkeram lengannya dan menariknya kembali ke kursi. "Sampai kapan kamu mau membuat keributan?"
Dia menatapnya tajam, kata demi kata terucap jelas dan dingin. "Sebentar lagi kamu akan menikah dengan Keluarga Jintara. Aku sudah memberimu buku aturan keluarga. Salah satunya, pukul sepuluh malam harus sudah di rumah, dan dilarang keras masuk ke bar, klub malam, atau tempat hiburan semacam ini. Apa kamu nggak membacanya?"
"Mulai sekarang, kamu dilarang datang ke tempat seperti ini lagi. Soal hari ini, setelah pulang, tulis laporan introspeksi sepuluh ribu kata. Renungkan dengan sungguh-sungguh!"
Sepuluh ribu kata?
Aturan keluarga?
Nara begitu marah sampai hampir tertawa. Dadanya naik turun hebat.
Di kehidupan sebelumnya, dia terbelenggu oleh ribuan aturan itu seumur hidup layaknya boneka yang digerakkan benang.
Di kehidupan ini, dia tak mungkin mengulang kesalahan yang sama.
"Siapa yang mau menulis omong kosongmu itu?" teriaknya tanpa menahan diri. "Aturan keluargamu nggak ada hubungannya denganku! Aku nggak akan menikah denganmu!"
Setelah kata-katanya selesai, suasana di dalam mobil langsung menjadi sunyi senyap.
Arkan menoleh tajam. Sepasang mata gelap itu mengunci Nara erat-erat, dipenuhi keterkejutan dan emosi rumit yang tak terbaca.
Dia menatap Nara lama, sebelum akhirnya mengeluarkan dua kata dengan amarah tertahan, "Apa maksudmu?"
Nara menatap ekspresinya. Dorongan untuk membeberkan semuanya tiba-tiba mereda, digantikan ketenangan dingin.
Pria ini jelas tidak pernah menyukai tunangan yang liar dan sulit diatur sepertinya. Kalau sekarang dia memberi tahu bahwa tunangannya akan diganti dengan perempuan sempurna yang paling sesuai dengan seleranya, bukankah itu justru terlalu menguntungkan baginya?
Mengingat pengekangan di kehidupan sebelumnya, Nara menarik napas dalam-dalam.
Justru kali ini dia ingin membuat Arkan menelan kepahitan, membiarkannya merasakan penderitaan karena harus menikah dengannya, setidaknya untuk beberapa hari.
Dengan pikiran itu, Nara memaksa diri menekan emosi yang bergolak. Dia memalingkan wajah ke arah jendela, suaranya terdengar tertahan. "Nggak ada apa-apa. Tadi cuma kata-kata emosi."
Arkan mengamatinya sejenak. Kegelapan di matanya tampak mereda sedikit, namun nada suaranya tetap tegas dan tak memberi ruang bantahan. "Duduk yang benar."
Nara meliriknya. Bahkan dalam amarah, postur tubuhnya tetap tegap seperti cemara, setiap helai rambut tertata tanpa cela. Mengingat kembali aturan-aturan menyesakkan dari kehidupan lalu, kebencian lama dan baru berbaur, meluap di dadanya.
Dia tidak mau.
Nara sengaja bersandar miring di kursi, menendang sepatu hak tingginya, menapak telanjang kaki di karpet wol mahal, lalu menurunkan jendela mobil, membiarkan angin malam mengacak-acak rambut panjangnya yang sudah dia tata rapi.
Dia ingin bersikap seenaknya, bersinar, dan acuh tak acuh pada penampilan.
Inilah Nara yang sesungguhnya!
Dengan alis berkerut, Arkan menatap gadis di sampingnya yang begitu kontras dengan kesan mewah dan rapi di dalam mobil, namun pada akhirnya dia tetap diam.
Mobil berhenti di depan vila Keluarga Yalvaro.
Nara membuka pintu, bersiap turun.
"Nara." Suara Arkan terdengar dari belakang, dingin dan tegas, "Serahkan padaku laporan sepuluh ribu kata itu besok."
Setelah itu, dia memerintahkan sopir untuk melaju meninggalkan tempat itu.
Nara menatap lampu belakang mobil yang perlahan menjauh, lalu menendang keras batu di tepi jalan.