Bab 3
Gwen sebenarnya ingin menolak. Namun, dia teringat kesepakatan mereka sebelumnya, yaitu memenuhi kewajiban sebagai suami dan istri. Saat ini, dia masih istri sah Juan. Oleh karena itu, Gwen terpaksa menyanggupinya.
"Boleh."
Juan membungkuk dan mencium bibir istrinya. Gerakannya jauh lebih kuat dibandingkan sebelumnya.
Gwen tidak bisa menahan diri untuk mengeluarkan suara desahan. Jari-jarinya menggenggam erat seprai di bawahnya.
Juan tersenyum melihatnya. Dengan suara pelan dan serak, Juan bertanya, "Nggak tahan, ya? Aku akan melakukannya lebih lembut."
Gwen memejamkan mata dan menjawab dengan suara pelan, "Terima kasih."
"Sama-sama." Juan tersenyum. Kemudian, pria itu mencium Gwen lebih dalam.
Ketika Gwen terbangun, kamarnya sudah kosong.
Gwen bangun dan pergi mandi. Setelah berpakaian rapi, dia turun ke bawah. Entah sejak kapan, Juan sudah pergi. Di ruang makan, dia hanya melihat Amira yang sedang sarapan.
Gwen berjalan ke samping meja, lalu bertanya dengan sopan, "Apa kamu bisa tidur semalam? Kamu suka dengan sarapan hari ini?"
Amira tidak menjawab, bahkan tidak mengangkat kepalanya sedikit pun, seolah-olah Gwen sama sekali tidak ada.
Gwen menghela napas panjang, lalu berpikir, "Dibandingkan Juan, Amira sangat nggak sopan."
Gwen tidak berkata apa-apa lagi, dia duduk dan sarapan.
Namun, saat mengambil sepotong roti panggang dan baru saja menggigitnya, tiba-tiba Gwen merasakan mual di perutnya.
Gwen tiba-tiba berdiri, bergegas menuju ke kamar mandi. Sambil memegang wastafel, Gwen muntah.
Ketika keluar dari kamar mandi, dia melihat Amira berdiri di depan pintu dengan wajah muram.
Tatapan tajamnya bagaikan pisau yang hendak menusuk Gwen, lalu Amira bertanya dengan sinis, "Kamu hamil?"
Gwen tertegun. Sebelum sempat menjelaskan, Amira sudah bertanya duluan.
Amira berkata dengan marah, "Aku sudah menoleransi kalian menikah, aku menoleransi kalian tidur satu ranjang, tapi aku nggak terima kalau kamu mengandung anak Kakak."
Setelah itu, Amira berbalik dan berteriak kepada pengawal di depan pintu, "Tahan dia!"
Kemudian, Amira menyuruh pelayan, "Ambilkan obat aborsi."
Pelayan dan pengawal terkejut mendengarnya. Mereka tidak berani bergerak dan hanya saling memandang.
Mata Amira memerah. Kemudian, Amira menjerit, "Sebelum Kakak pergi, bukankah Kakak suruh kalian melayaniku dengan baik? Sekarang kalian nggak patuh dengan perintahku, apa seperti ini cara kalian melayaniku?"
Pengawal dan pelayan saling memandang, akhirnya mereka tetap tidak berani menentang perintahnya dan maju untuk menahan Gwen.
Gwen akhirnya tersadar dan membantah, "Kamu salah paham. Aku nggak hamil, hanya sakit lambung ... "
Namun, Amira sudah kehilangan akal sehatnya. Saat melihat pelayannya belum juga datang, Amira langsung pergi mengambil obat dari kotak obat, lalu segera kembali ke hadapan Gwen.
"Kamu masih berani mengelak? Aku nggak akan biarkan kamu melahirkan anak Kakak, nggak akan pernah!"
Amira menjerit seperti orang gila. Jari-jarinya mencengkeram dagu Gwen dengan erat, kemudian Amira memasukkan obat ke dalam mulut Gwen dengan paksa.
Gwen menggelengkan kepalanya dengan kuat, tetapi obat itu sudah tertelan di tenggorokannya.
Tidak lama kemudian, Gwen merasakan perutnya bergejolak, rasa sakit yang hebat membuatnya hampir tidak bisa berdiri.
Dahi Gwen penuh dengan keringat dingin dan pandangannya mulai gelap. Dia ingin berteriak, tetapi menyadari bahwa suaranya tidak keluar. Akhirnya, dia hanya bisa terjatuh lemas ke lantai dan jatuh pingsan.
Saat terbangun lagi, Gwen sudah berbaring di ranjang rumah sakit.
Dalam kondisi setengah sadar, Gwen mendengar suara dokter yang kebingungan.
"Pak Juan, istri Anda nggak hamil, buat apa minum obat aborsi? Untungnya, dia dibawa ke rumah sakit tepat waktu dan dibersihkan lambungnya. Kalau nggak, sebagian besar lambungnya harus diangkat."