Bab 2 Membuat Hardy Marah
Susan tahu pria itu sudah dengar, jadi dia mengulanginya. "Kita cerai saja."
Hardy menyalakan keran pancuran dan hanya berkata, "Alasannya."
"Sudah nggak cinta lagi. Ini bisa dianggap sebagai alasan, 'kan?" Susan berdiri, lalu mengambil jubah mandi di lantai, dan memakainya.
"Dulu kamu yang mati-matian mau menikah. Sekarang kamu juga yang bilang mau cerai," kata Hardy sambil tersenyum sinis. "Susan, kamu anggap aku ini apa?"
"Susan, tarik kembali kata-katamu. Aku bisa berpura-pura nggak terjadi apa-apa."
Suara air berhenti. Hardy mengulurkan tangan ke Susan. "Jubah mandi."
Biasanya, hal kecil seperti menyiapkan jubah mandi selalu dilakukan Susan.
Susan mundur selangkah, lalu berkata dengan suara berat, "Aku mau cerai."
"Cerai? Dengan apa kamu bercerai? Jangan lupa, biaya pengobatan ibumu ditanggung oleh Keluarga Juwanta."
Hardy melepaskan tangannya, lalu melewati Susan untuk mengambil jubah mandi dan memakainya.
Tali terikat dengan longgar. Ekspresi wajahnya malas dan tampak mengejek.
"Kamu kira gajimu yang nggak seberapa itu bisa digunakan untuk apa?"
Hardy mengeluarkan sebatang rokok, lalu menaruhnya di mulut, dan menyalakannya.
Dalam kepulan asap, Susan tidak bisa melihat wajah pria itu dengan jelas.
"Cukup jadi Nyonya Juwanta saja."
Ini pertama kalinya mereka membahas tentang perceraian, tetapi berakhir dengan ketidaksepahaman.
Namun, Hardy benar. Gajinya tidak cukup untuk membayar biaya pengobatan ibunya yang tinggi.
Keluarga Kidarsa dan Keluarga Juwanta bisa disebut sebagai teman lama, tetapi setengah tahun setelah Susan menikah dengan Hardy, ayahnya mengalami kecelakaan mobil dan meninggal di tempat.
Ibunya menjadi pasien koma. Biaya per bulannya cukup tinggi. Berdasarkan pekerjaannya saat ini, Susan tidak akan mampu menanggung pengeluaran sebesar itu.
Masalah sial datang bertubi-tubi. Dia ingin mencari Hardy untuk meminta bantuan, tetapi malah diberi tahu bahwa Hardy sedang menemani pacar kecilnya bermain kembang api.
Malam itu, langit di Kota Jinggara dipenuhi warna-warni yang memukau.
Sekaligus menyinari hatinya yang hancur berkeping-keping.
Susan duduk dengan tidak berdaya di koridor rumah sakit. Dia berulang kali menelepon Hardy, tetapi pria itu tidak mau menjawab.
Malam itu, tidak seorang pun tahu mata Susan bengkak karena menangis dan juga tidak seorang pun tahu penyebab bekas luka di pergelangan tangannya.
Hardy suka sekali memeluknya dari belakang, lalu memaksanya mengerang saat dia terangsang. Setelah itu, baru mengusap bekas luka di pergelangan tangan kirinya.
Pria itu bertanya, kenapa bisa terluka.
Susan bilang karena tidak sengaja terjatuh.
Setelah itu, pria itu tidak pernah menanyakannya lagi.
Susan meringkuk di tempat tidur. Dia mendengar suara mobil yang datang dari lantai bawah.
Dia membuat Hardy marah.
Dia menengadah dan mengedipkan matanya beberapa kali, tetapi air matanya tetap saja jatuh.
Ponsel di sampingnya berdering beberapa kali. Ternyata ibunya Hardy, Riana Kinaryo, yang menelepon.
"Bu, kenapa meneleponku selarut ini? Ada apa?" Nada bicara Susan langsung tenang dan tidak terlihat ada yang aneh.
Riana berkata dengan cemas, [Perempuan jalang itu sudah berani datang ke rumah, tapi kamu masih tenang-tenang saja. Apa kamu ingin Hardy direbut perempuan jalang itu?]
Susan ingin berbicara, tetapi tidak tahu harus mengatakan apa.
Riana dengan sabar menasihati, [Susan, kalau kamu nggak mau bersaing dan nggak mau berebut, bagaimana nasibmu nanti?]
Susan menunduk dan tersenyum pahit. Kalau dia berebut, Hardy mungkin akan makin membencinya.
"Bu, aku mengerti. Aku akan berusaha sebaik mungkin."
Setelah sekadar menjawab Riana, Susan merasa lelah secara fisik dan mental.
Kalau saja dua tahun lalu dia tahu menikahi Hardy akan berakhir seperti ini, mungkin dia tidak akan gegabah dari awal dan berhubungan badan dengan Hardy meski tahu itu salah.
Bisa terpuruk dalam situasi seperti sekarang ini juga termasuk balasan dari perbuatannya sendiri.
Belum dua menit Susan memejamkan matanya, dering ponsel yang mendesak kembali memecah kesunyian.
[Bu Susan, proposal kita ditolak.] Suara asistennya, Kenny Sentosa, terdengar panik.
Susan seketika tersadar. Dia langsung bangkit dan bertanya, "Apa yang terjadi?"
[Pihak klien merasa proposal kita kurang bagus. Mereka minta kita mengerjakan ulang.] Suara Kenny terdengar kesal.
Mereka menghabiskan waktu setengah bulan bekerja lembur untuk membuat proposal ini. Apalagi, mereka menyelesaikannya sesuai dengan kebutuhan pihak klien.
Kalau ada masalah, seharusnya sudah diberi tahu dari awal dan bukannya ditolak setelah draf selesai dikirim.
"Apa mereka ada bilang masalahnya di mana?" Susan dengan gesit berganti baju, lalu mengambil tas, dan turun untuk memanggil taksi.
[Justru karena mereka nggak bilang apa-apa. Bikin kesal saja!] seru Kenny.
Susan menghibur Kenny. "Aku akan segera ke sana."
Dalam perjalanan ke kantor, Susan menelepon penanggung jawab klien untuk menanyakan masalah proposal, tetapi penanggung jawab proyek malah berkata, [Maaf, Nona Susan. Sebenarnya aku sangat puas dengan proposalmu, tapi sayangnya, penanggung jawab proyek ini sudah diganti.]
Susan akhirnya mengerti. Sepertinya penanggung jawab baru tidak puas dengan proposal ini.
Ini berarti kerja keras mereka selama beberapa saat ini telah sia-sia.
Susan meminta nomor ponsel penanggung jawab baru dan menelepon, "Halo, Nona Milana, saya penanggung jawab proyek Nusa Biru. Nama saya Susan ... "
[Saya tahu. Kita bicarakan besok saja. Saya perlu istirahat sekarang.] Wanita itu menyela Susan dengan nada dingin dan langsung menutup telepon.
Mendengar nada sibuk yang terdengar dari ujung telepon sana, Susan tertegun sejenak.
Mendadak dia merasa suara itu agak familier, seolah dia pernah mendengarnya di suatu tempat.