Webfic
Open the Webfic App to read more wonderful content

Bab 10

Di rumah sakit, setelah pemeriksaan awal, dokter membantunya duduk di kursi roda sambil memberikan serangkaian lembaran pemeriksaan. "Setelah keluarga membayar di lantai bawah, kamu bisa langsung dibawa ke lantai dua untuk pemeriksaan. Setelah selesai, kembali ke sini agar aku bisa melanjutkan diagnosis." Chelsea berbaring di ranjang sambil memegang lembaran pemeriksaan, tapi tidak bergerak. Dokter pun bertanya, "Keluargamu ada di mana?" "Maaf, aku nggak punya keluarga di Kota Yuven." Wanita itu menunduk, rambut yang basah karena hujan masih meneteskan air. Suaranya serak terdengar sangat kasihan. Tiba-tiba, pegangan kursi roda digenggam seseorang dan mendorongnya menuju lift. Chelsea menoleh heran dan pandangannya bertabrakan dengan sepasang mata yang dalam. Pria itu menatapnya sekilas tanpa bicara, satu tangan mendorong kursi roda, satu lagi memegang ponsel, sedang berbicara di telepon. Dia mengenakan mantel hitam panjang, di dalamnya jas abu-abu tua dengan potongan rapi dan mahal, membuat sosoknya tampak tegap berwibawa. Saat merasakan tatapan Chelsea, dia menutup telepon dan memasukkannya ke dalam mantel. Aura dewasa penuh ketegasan menguar darinya. Chelsea menggerakkan bibir, matanya penuh kekagetan dan kikuk. "Pak Alfred ... kenapa kamu ada di sini?" Alfred tidak menjawab. Pandangannya berkeliling sejenak, lalu kembali tertuju pada dirinya. Detik berikutnya, mantel hitam besar itu sudah menutupi kepalanya. "Jadi ini yang Nona Chelsea maksud, kamu akan berjaya di Kota Yuven dan punya banyak pengikut setia?" "..." Chelsea buru-buru menarik mantel itu, wajahnya kaku seketika. Itu adalah kalimat penuh keyakinan yang pernah dia ucapkan di depan kakaknya, ketika bersikeras menolak warisan Keluarga Wirawan demi tetap tinggal di Kota Yuven. Tidak disangka, bisa sampai ke telinga Alfred. Pipi Chelsea terasa panas dan menunduk malu. Mungkin tidak tahan dengan diamnya, Alfred kembali bertanya. "Mana pengikutmu itu?" "..." Dia menunduk semakin dalam. Lift berhenti di lantai dua. Di depan setiap ruang pemeriksaan, sudah banyak orang yang menunggu. Alfred mendorongnya menunggu di lorong. Selang waktu itu, ponselnya berdering terus, isi percakapan semua urusan kerja. Enzo datang membawa bukti pembayaran. Alfred pun menjauh ke tempat sepi untuk menelepon. Chelsea menerima kertas itu dan berterima kasih. Enzo mengibaskan tangan, sambil terus melirik Chelsea, jelas ingin bertanya banyak, tapi ragu. Chelsea merasa malu dan tidak ingin berbicara. Dalam hati berdoa semoga dia tidak membuka mulut. Suasana jadi aneh dan hening. Di saat ini juga, Jason menunduk menatap hasil pemeriksaan di tangannya, berjalan keluar dari ruang USG bersama Jesslyn. Chelsea mendongak, tersenyum sinis dan jarinya meremas kertas pemeriksaan sampai kusut. Dia mengeluarkan ponsel, menelepon Jason Tidak jauh darinya, Jason melihat layar dan alisnya langsung mengerut. Jesslyn mendekat, saat telepon dari Chelsea, dia berkata lembut. "Kamu angkat saja, siapa tahu Kak Chelsea ada perlu?" Alis Jason yang semula berkerut akhirnya mengendur, lalu dia angkat telepon. "Aku lagi sibuk di kantor, ada apa?" Chelsea menggenggam ponselnya erat-erat, suaranya dingin. "Sejak kapan kantor Grup Jimino pindah ke rumah sakit?" Suara kecilnya terdengar jelas di lorong. Enzo segera bergeser, membiarkan Jason melihatnya. Tubuh Jason menegang, rasa bersalah melintas di matanya. Jesslyn langsung bergeser menjauh darinya, kedua tangan diletakkan di depan tubuh dan berkata dengan sopan, "Kak Chelsea, jangan salah paham, Pak Jason ...." Chelsea bahkan tidak meliriknya, hanya menatap Jason. Saat Jason melihatnya duduk di kursi roda, dia sempat terkejut, tapi cepat pulih dan buru-buru berjalan mendekat. "Kamu cedera?" Dia bertanya sambil melihat baju pasien di tubuhnya, juga rambutnya yang masih basah dengan ekspresi penuh perhatian. Chelsea melihat ekspresi paniknya, walau tahu jawaban akhirnya pasti bohong, dia tetap bertanya. "Apa yang kamu lakukan di sini?" "Tadi di kantor aku merasa jantung agak berdebar, jadi datang periksa. Aku nggak bilang supaya kamu nggak khawatir." Kebohongan itu membuat hati Chelsea terasa sesak. Dia hanya menatapnya, lalu tersenyum miris, tidak melanjutkan bicara. Dokter di ruang periksa memanggil nama Chelsea. Jason refleks mendorong kursi rodanya masuk. Sebelum masuk, Chelsea melihat Alfred baru selesai telepon. Dia berdiri tidak jauh dari sana dan menatapnya dengan dingin. Chelsea buru-buru menunduk, menarik kembali pandangan. Dia sebenarnya paling tidak mau orang yang tahu latar belakang keluarganya melihat dirinya dalam keadaan seperti ini. Apa pun niat orang itu menolongnya, tetap membuatnya merasa malu dan rendah diri. Pintu ruang periksa tertutup. Alfred berjalan ke arah lift. Enzo buru-buru mengikuti dan bertanya. "Kita langsung pergi begitu saja?" Alfred terlihat dingin, "Kalau nggak, mau apalagi?" Enzo adalah sepupu jauh Alfred dan pernah mendengar soal Alfred yang pernikahannya dibatalkan putri kedua Keluarga Wirawan. Hanya saja Keluarga Santino selalu tutup mulut, jadi dia juga tidak bisa pastikan. Merasa gagal mendapatkan gosip, Enzo agak kecewa, lalu bergumam. "Lalu apa tujuan kita ke rumah sakit?" Tatapan Alfred sekilas melirik pintu ruang periksa yang tertutup, lalu menarik kembali pandangannya. "Supaya Kezia berutang budi padaku." Enzo berdecak, "Tapi nggak seharusnya sampai membuat Anda membatalkan rapat sepenting itu, 'kan?" Keluarga Wirawan sudah berada di jalan menurun dan utang budi Kezia padanya belum tentu bisa dibayar kembali. Enzo jelas tidak percaya kata-katanya, terus mengejar ingin tahu isi hati Alfred. Alfred hanya meliriknya dengan tenang. "Kamu sepertinya lagi banyak waktu kosong. Kebetulan perusahaan ada proyek di Afrikano. Mau aku kirim ke sana?" Wajah Enzo langsung kaku, buru-buru tersenyum menjilat, "Jangan begitu, Kakak Sepupu." Sementara itu, Jesslyn menggenggam hasil pemeriksaan kehamilannya, wajahnya pucat. Barusan omongan Alfred dan Enzo semuanya masuk ke telinganya. Chelsea sepertinya sudah mengenal Alfred sejak lama. Mampu mengenal orang sebesar Alfred, jelas asal-usul Chelsea tidak sesederhana yang dikatakan orang-orang di sekelilingnya. Jason terus bertanya soal kondisi Chelsea ke dokter. Begitu tahu tulang kakinya retak dan harus rawat inap, dia sibuk mengurus semua keperluan, sampai membuat para perawat muda iri. Setelah semua beres, Jason duduk di tepi ranjang Chelsea, lalu ragu-ragu berkata dengan gaya seolah semuanya demi dia. "Chelsea, kita akan segera menikah. Sekarang kamu cedera dan harus dirawat, bagaimana kalau kita undur dulu tanggal pernikahannya?"

© Webfic, All rights reserved

DIANZHONG TECHNOLOGY SINGAPORE PTE. LTD.